Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Melonjak 120 Persen
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai kerugian negara akibat korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pada 2017 ditaksir mencapai Rp 1,5 triliun, melonjak 120 persen dibandingkan 2016 yang senilai Rp 680 miliar. Di luar itu, terdapat temuan sebesar Rp 85,3 triliun dalam anggaran belanja barang dan jasa pemerintah yang hilang dalam laporan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah.
Hasil itu diungkapkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam dalam acara ”Tren Kasus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Tahun 2017”, Minggu (25/2) di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan. ICW menyatakan, pada 2017 terdapat 241 kasus terkait pengadaan barang dan jasa dengan jumlah kerugian negara Rp 1,5 triliun. Jumlah itu mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya dengan 195 kasus dan kerugian negara Rp 680 miliar.
Kenaikan tren korupsi pengadaan barang dan jasa juga diikuti dengan tren korupsi secara umum. Pada 2017 terdapat 576 kasus korupsi yang ditangani penegak hukum dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun. Lonjakan kasus signifikan apabila dibandingkan tahun 2016 dengan 482 kasus dan kerugian Rp 1,5 triliun.
Peneliti Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah mengatakan, lonjakan signifikan kerugian negara itu disebabkan kasus-kasus besar yang diungkap tahun 2017. ”Seperti kasus kartu tanda penduduk elektronik, PT Trans Pacific Petrochemical Indotama, dan pemberian kredit BUMN PT Pengembangan Armada Niaga Nasional,” ucapnya pada acara itu.
Dari korupsi pengadaan barang dan jasa, sektor yang paling rentan adalah penyalahgunaan anggaran 67 kasus, penggelembungan anggaran 60 kasus, dan proyek fiktif 33 kasus. Sementara itu, pelayanan publik merupakan wilayah subur dalam korupsi itu.
Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri mengucapkan, pelayanan publik menjadi paling rawan. Pelaku korupsi bisa memanfaatkan penganggaran dana untuk sengaja mengadakan barang yang tidak dibutuhkan. Padahal, secara nilai ekonomis dan kebutuhan bukan prioritas, seperti kursi, meja, dan komputer yang sebetulnya tidak perlu diganti setiap tahun.
Penganggaran kebutuhan itu dijadikan celah untuk praktik korupsi. Caranya dengan menggelembungkan harga dari alat tersebut. ”Itu sering dimanfaatkan untuk celah korupsi pengadaan barang jasa,” ujar Febri.
Hadir pada acara itu, Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP Setya Budi Arijanta. Menurut dia, peluang korupsi pada pengadaan barang sangat besar. Harga barang bisa naik jadi 10 kali lipat jika tidak didampingi.
”Saya pernah mendampingi pembelian buku. Awalnya pengajuan buku itu satunya Rp 90.000. Namun, setelah dipantau dan dicarikan percetakan harganya bisa jadi Rp 9.000. Dengan pendampingan, bisa sangat memperkecil biaya,” ucapnya.
Untuk itu, menurut Budi, sangat penting bagi Kementerian Lembaga dan Pemerintan Daerah untuk memuat Rencana Umum Pengadaan ke LKPP. Hal itu dapat mencegah penggelembungan dan praktik korupsi. Pemuatan RUP itu merupakan hal wajib karena diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
Dipertanyakan
Pada situs monev.lkpp.go.id, terdapat selisih Rp 85,3 triliun pada total belanja barang dan jasa pemerintah selama 2017. Total anggaran yang tercantum adalah Rp 994 triliun, sedangkan yang dilaporkan hanya Rp 908,7 triliun.
”Pertanyaannya, mengapa selisih itu tidak dilaporkan? Padahal itu kewajiban dalam perpres. Anggaran itu rawan dikorupsi karena tidak transparan,” sebut Febri.
Berdasarkan jumlah itu, selisih anggaran terbanyak berasal dari Kementerian Keuangan sebesar Rp 18 triliun, Kementerian Kesehatan Rp 6 triliun, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta senilai Rp 5 triliun. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat, Kementerian Kelautan dan Perikanan sama sekali tidak membuka anggaran ke publik.
Menurut Febri, hal itu menimbulkan potensi korupsi yang sangat besar karena permainan pengadaan barang dan jasa sudah direncanakan dalam penganggaran, seperti kasus KTP-el yang sudah dirancang terlebih dahulu sebelum pengadaan.
”Kalau hulunya sudah tidak transparan, hilirnya akan ikut juga. Volume dan spesifikasi barang bisa dimainkan dalam rancangan anggaran untuk mengejar keuntungan,” tuturnya.
Wana mengatakan, Badan Pemeriksa Keuangan semestinya mengawasi selisih anggaran Rp 86 triliun tersebut. Lewat selisih itu, kasus korupsi bisa terlacak jika ditemukan unsur kerugian negara.
Pilakada 2018
Dari 30 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, tiga di antaranya terkait pengadaan barang dan jasa. Ketiganya adalah Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno, Wali Kota Baru Eddy Rumpoko, mantan Bupati Sorong Selatan, Otto Ihalauw yang diduga korupsi untuk kepentingan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Wana menyarankan aparat penegak hukum untuk mewaspadai pergerakan kepala daerah. Apalagi, Pilkada 2018 yang melibatkan 171 daerah akan dilakukan pada 28 Juni 2018. Momentum itu dikhawatirkan menjadi alasan korupsi bagi pertahana yang kembali mencalonkan diri. ”Situasi jelang pilkada bisa dimanfaatkan bagi pertahana untuk kepentingan dana politik,” katanya.
Adapun, pada 2018, sudah delapan kepala daerah yang terjerat korupsi, antara lain Bupati Lampung Tengah Mustafa, Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latief, dan Bupati (nonaktif) Kukar Rita Widyasari. (DD06)