Hak Angket Bakal Jadi Pintu Masuk Pelemahan KPK
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan DPR mengajukan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi berpotensi melemahkan KPK dalam memerangi korupsi.
Meskipun dalam keputusannya MK mempertegas hak angket tidak berlaku terhadap fungsi yudisial. Namun, upaya pelemahan KPK dikhawatirkan bisa masuk lewat fungsi lainnya.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Anton Topan Husodo di Jakarta, Jumat (9/2), menyayangkan putusan MK yang menyatakan KPK bisa dikenai hak angket karena KPK dianggap menjadi bagian dari eksekutif. Padahal sebelumnya, KPK sebagai lembaga independen.
Posisi KPK yang tidak masuk ke dalam ranah eksekutif juga dinyatakan oleh salah satu hakim konstitusi, Maria Farida Indrati. Dalam pernyataan perbedaan pendapat atau dissenting opinion, ia berujar, KPK tidak bertanggung jawab langsung kepada presiden, tetapi kepada publik.
Pertanggungjawaban ini disampaikan secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan sehingga tidak seharusnya KPK menjadi obyek dari hak angket KPK (Kompas, 9/2).
Senada dengan Maria, Anton Topan menjelaskan, keseriusan pertanggungjawaban KPK terhadap publik terlihat dari laporan tahunan lembaga antirasuah ini sangat detail.
”Hal ini memperlihatkan KPK serius dalam melaporkan kepada publik. Bisa dilihat dari laporan tahunan mereka yang lebih detail dibandingkan kepolisian dan kejaksaan. Polisi saja hanya memperlihatkan angka kasus saja, tapi publik tidak mengetahui detail tiap kasusnya, hanya agregat saja. Publik tidak bisa mengawasi potensi penundaan kasus di kepolisian. Berbeda dengan KPK yang terbuka hingga ke detailnya sehingga publik bisa melihat perkembangan kinerja lembaga ini,” paparnya.
Anton menuturkan, meskipun hak angket tidak masuk ke dalam ranah yudikatif yang meliputi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, DPR berpotensi menggerus kewenangan KPK lewat kebijakan-kebijakan lain seperti fungsi pengawasan.
Potensi ini harus diwaspadai karena hak angket akan membuka celah bagi DPR untuk mengutak-atik KPK secara struktural.
”Memang, MK menekankan hak angket tidak bisa mengusik ranah yudikatif. Namun, hak angket yang disahkan ini bisa masuk ke ranah lain. Seperti kebijakan struktur kepegawaian, keuangan, kan bukan ranah yudikatif. Di sini ada celah bagi DPR untuk melemahkan KPK. Karena itu, manuver-manuver ini perlu diwaspadai,” ujarnya.
Tidak konsisten
Dihubungi terpisah, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, menyatakan, MK tidak konsisten dalam memandang KPK sebagai lembaga negara.
Tidak konsistennya keputusan ini bisa dilihat dari titik interpretasi MK terhadap KPK. Ia menjelaskan, saat diputuskan, MK memandang fungsi KPK sebagai pelaksana undang-undang sehingga masuk ke ranah eksekutif.
”Jika melihat batu uji dari fungsi ini saja, MK hanya menginterpretasi secara sempit. KPK tidak boleh hanya dipandang sebagai pelaksana undang-undang, tetapi juga dari posisinya dalam struktur kelembagaan negara. KPK tidak bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintah. Namun, KPK bertanggung jawab kepada publik melalui presiden,” ujarnya.
Namun, Fajri mengapresiasi keputusan MK yang menekankan kewenangan KPK dalam aspek yudisial. Berarti, lembaga antirasuah ini tidak bisa diganggu gugat dalam penegakan hukum, seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
”Hak angket merupakan alat paling powerful dalam ranah legislatif. Jadi, jika DPR diperbolehkan menggunakan hak angket, artinya lembaga tertinggi legislatif ini bisa mengubah kebijakan KPK. Hal ini tentu berbahaya jika kebijakan yudikatif dari KPK bisa diubah oleh lembaga lain,” katanya.
Pengawasan
Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, KPK menghormati keputusan MK atas wewenang hak angket DPR. Namun, ia menekankan adanya perbedaan pendapat dari para hakim konstitusi dalam memutuskan hal ini.
”Perlu dicatat, empat dari sembilan hakim memiliki dissenting opinion. Yang perlu dicermati lagi, dalam keputusan MK ditekankan kewenangan DPR tidak masuk dalam penegakan yudisial,” ujarnya.
Agus berujar, akan mendiskusikan kewenangan dari DPR terhadap KPK, seperti tata kelola keuangan, kepegawaian, atau mungkin aspek lainnya.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menambahkan, yang terpenting dalam keputusan tersebut adalah pedoman fungsi pengawasan DPR tidak masuk ke ranah yudisial.
”Pengawasan politik tidak boleh masuk ke ranah yudisial. Kita harap hal ini juga berlaku kepada pihak lain yang mendapatkan tugas pengawasan, seperti Badan Pengawas Keuangan (BPK),” katanya. (DD12)