JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih menimbulkan persoalan mengingat sejumlah pasal yang berada di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi justru dimasukkan semua ke dalam draf perbaikan tersebut yang dapat berdampak pada upaya pemberantasan korupsi.
Berdasarkan draf rancangan regulasi tersebut, ada setidaknya enam pasal yang serupa dengan isi Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12 di Undang-Undang Tipikor. Padahal, sejak awal KPK sudah memberikan saran agar pasal-pasal tersebut tetap berada di dalam aturan yang bersifat lex specialis tersebut.
”Sikap KPK terkait RUU KUHP tetap sama. Kami meminta agar aturan tentang tindak pidana korupsi diatur secara khusus melalui revisi UU No 31/1999 dan UU No 20/2001. Jika saat ini norma tipikor tetap dipaksakan diatur di KUHP, hal tersebut dapat berimplikasi KPK tidak dapat menangani kasus korupsi ke depan,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo saat dijumpai di Gedung KPK Jakarta, Jumat (9/2).
Seperti diketahui, ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lembaga antirasuah menangani korupsi yang diatur di UU No 31/1999 dan perubahannya.
”Kami akan sampaikan lagi dan pelajari. Saat itu, KPK dan BNN meminta hal yang sama agar tindak pidana khusus ini tetap diatur dalam aturan khusus. Tapi kami harap sama-sama konsisten dan lebih serius jika tujuannya menguatkan pemberantasan korupsi,” kata Agus.
Secara terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji, menyampaikan, pemahaman secara umum jika pasal tipikor yang merupakan delik khusus dikodifikasikan ke dalam RKUHP, maka akan bermakna sebagai delik umum. Ujungnya akan berpotensi pada delegitimasi kewenangan KPK yang tidak bisa menangani korupsi sebagai delik umum.
”Kecuali dibuat pengaturan dalam RKUHP mengenai aturan peralihan yang menjamin kewenangan aparat penegak hukum, termasuk kejaksaan dan KPK tetap berwenang menangani delik tipikor yang ada kelak dalam RKUHP, sesuai komitmen terdahulu yang pernah dijanjikan dari pemerintah dan DPR,” ujar Indriyanto.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter berpendapat senada. ”Pada intinya, ICW menolak delik korupsi masuk ke dalam RKUHP karena kami khawatir pilihan untuk memasukkan delik korupsi dalam RKUHP akan berujung pada revisi UU KPK karena ada bunyi pada Pasal 1 UU KPK yang membatasi, dan bahkan menghilangkan sifat spesialis dari UU tipikor sendiri,” kata Lalola.
Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) DPR dari Fraksi PDI-P, Ichsan Soelistio, mengatakan, Panja DPR bersama pemerintah telah menyepakati inti dari tindak pidana di UU Tipikor dimasukkan dalam RKUHP. Begitu pula sejumlah pasal yang tertera dalam Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC). ”Hanya yang belum disepakati, dan masih perlu dibahas lagi adalah rumusan pasalnya,” katanya.
Menurut dia, pasal-pasal di UU Tipikor yang masuk dalam RKUHP hanya pasal-pasal intinya. Ini perlu karena RKUHP merupakan payung dari seluruh hukum pidana. Masuknya pasal itu di RKUHP tidak lantas menghilangkan sifat kekhususan UU Tipikor. Oleh karena itu, tidak akan melemahkan pemberantasan korupsi.
Bahkan pemberantasan korupsi akan lebih kuat karena sejumlah pasal dalam konvensi UNCAC yang belum disebutkan di dalam UU Tipikor akan dimasukkan di RKUHP.
Dalam rapat Tim Perumus DPR bersama Pemerintah, Senin (5/2), pihak pemerintah memaparkan sejumlah aturan di UNCAC yang dipertimbangkan untuk masuk di RKUHP. Aturan tersebut di antaranya menyangkut memperkaya diri sendiri secara tidak sah, kemudian soal memperdagangkan pengaruh, penyuapan pejabat publik asing, dan penyuapan di sektor swasta.