Di Mana Setya Novanto Bersembunyi Saat Diburu KPK?
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Ketua DPR Setya Novanto ternyata bersembunyi di salah satu hotel di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat, saat dia dalam pengejaran oleh KPK. Lokasi persembunyian Novanto tersebut terungkap dalam dakwaan jaksa terhadap mantan pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, yang disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2).
Jaksa pada KPK mendakwa Fredrich bersama-sama dengan salah seorang dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo, merintangi penyidikan terhadap Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el).
Dalam persidangan itu, jaksa KPK, Fitroh Rohcahyono, mendakwa Fredrich bersama Bimanesh Sutarjo pada 16 November 2017 di RS Medika Permata Hijau, Jakarta Barat, telah sengaja merintangi pemeriksaan tersangka korupsi, Novanto. Saat itu, Novanto akan diperiksa KPK sebagai tersangka korupsi pengadaan KTP-el tahun anggaran 2011-2012 dan Fredrich menjadi pengacara Novanto.
Fitroh mendakwa Fredrich telah melakukan rekayasa agar Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau sehingga dapat menghindari pemeriksaan penyidik KPK. Upaya merintangi itu telah dilakukan Fredrich sejak Novanto dipanggil KPK untuk diperiksa pada 31 Oktober 2017.
Sebagai advokat, Fredrich malah memberikan saran kepada Novanto untuk tak memenuhi panggilan penyidik KPK dengan alasan pemanggilan pemeriksaan anggota DPR itu harus ada izin dari Presiden.
Untuk menghindari pemanggilan penyidik itu, Fredrich pun akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait pemanggilan pemeriksaan anggota DPR yang harus melalui izin Presiden. Atas saran Fredrich itu, Novanto pun menunjuknya sebagai penasihat hukumnya pada 13 November 2017.
Saat penyidik KPK akan menangkap Novanto karena tak kunjung memenuhi pemanggilan pemeriksaan pada Rabu, 15 November 2017, Fredrich tetap mengaku tak mengetahui keberadaan Novanto.
Bahkan, saat KPK menggeledah rumah Novanto di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, sejak Rabu sore hingga Kamis (16/11/2017) dini hari, Fredrich masih mengaku tak mengetahui keberadaan Novanto.
Padahal, sebelumnya Fredrich telah menemui Novanto di Gedung DPR. Saat penyidik datang menggeledah rumah Novanto, diketahui mantan Ketua Umum Partai Golkar itu telah meninggalkan rumahnya.
Novanto pergi menuju Bogor sebelum penyidik KPK sampai di rumahnya. Di Bogor, Novanto menginap di salah satu hotel di kawasan Sentul bersama ajudannya, Azis Samual dan Reza Pahlevi.
Keesokan harinya, 16 November 2017, Fredrich menghubungi Bimanesh, yang telah dikenalnya dan praktik sebagai dokter di RS Medika Permata Hijau, agar Novanto dapat dirawat di RS Medika Permata Hijau. Fredrich meminta Bimanesh memberikan diagnosis bahwa Novanto menderita sejumlah penyakit, salah satunya tekanan darah tinggi.
Fredrich pun menyerahkan foto data rekam medik Novanto di RS Premier Jatinegara kepada Bimanesh. Menanggapi permintaan Fredrich, Bimanesh pun menyanggupinya untuk membuat diagnosis terkait kesehatan Novanto dan merawatnya di RS Medika Permata Hijau. Padahal, RS Premier tak memberikan rujukan agar Novanto dirawat inap di rumah sakit lain.
Selain itu, Bimanesh juga mengetahui bahwa Novanto sedang disidik terkait perkara korupsi di KPK. Namun, ia malah membuat diagnosis bahwa Novanto menderita tekanan darah tinggi yang berat. Sementara Bimanesh belum pernah memeriksa kesehatan Novanto.
Sebaliknya, Bimanesh memberitahukan dokter lain di RS Medika Permata Hijau bahwa Novanto perlu dirawat. Hal itu dia sampaikan kepada salah seorang dokter, Alia, dengan mengklaim hasil pemeriksaan Novanto telah dikonsultasikan dengan sejumlah dokter lain.
Namun, rencana untuk merawat Novanto dengan diagnosis tekanan darah tinggi itu berubah pada sore hari. Dengan alasan mengalami kecelakaan lalu lintas, Bimanesh melaporkan, Novanto akan masuk ke Instalasi Gawat Darurat RS Medika Permata Hijau.
Dia pun meminta agar surat rawat inap di ruang VIP yang telah dipesan untuk memeriksa kesehatan Novanto terkait tekanan darah tinggi diubah dengan keterangan rawat inap untuk korban kecelakaan.
Padahal, saat itu, Novanto masih berada di Gedung DPR bersama ajudannya dan seorang wartawan Metro TV, Muhammad Hilman Mattauch. Sementara Bimanesh terus berupaya meminta kepada Alia untuk menyediakan rawat inap untuk Novanto dengan alasan mengalami kecelakaan lalu lintas. Namun, permintaan itu ditolak oleh dokter lainnya, Michael Chia Cahaya.
Karena permintaannya tak dipenuhi, Bimanesh akhirnya membuat sendiri surat pengantar rawat inap bagi Novanto. Padahal, dia bukan dokter jaga IGD RS Medika Permata Hijau sehingga tak memiliki wewenang untuk membuat surat pengantar itu. Hingga akhirnya Novanto dirawat di rumah sakit tersebut.
Kepada wartawan, Fredrich menyampaikan keterangan yang jauh berbeda dari kondisi Novanto saat itu. Seolah-olah tak mengetahui peristiwa yang sesungguhnya dialami Novanto, Fredrich menyebutkan, Novanto perlu dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan lalu lintas.
”Terdakwa memberikan keterangan pers bahwa Novanto mengalami luka parah dengan beberapa bagian tubuh berdarah-darah dan benjolan pada dahi sebesar bakpao,” ujar Fitroh, jaksa pada KPK.
Terdakwa memberikan keterangan pers bahwa Novanto mengalami luka parah dengan beberapa bagian tubuh berdarah-darah dan benjolan pada dahi sebesar bakpao.
Dalam persidangan, protes juga terus-menerus disampaikan Fredrich setiap kali diberikan kesempatan bicara oleh majelis hakim. Fredrich pun mengklaim dakwaan jaksa sarat rekayasa.
Dalam persidangan itu, Fredrich menganggap dakwaan yang disusun jaksa pada KPK terhadap dirinya itu palsu.
”Saya sudah baca surat dakwaan. Diserahkan oleh pengacara kepada saya. Saya sudah baca dan dengar, dan dakwaan itu palsu dan rekayasa. Sekarang juga saya ajukan eksepsi. Saya sudah siapkan eksepsi,” katanya.
Namun, dalam menanggapi dakwaan, penasihat hukum Fredrich, Sapriyanto Refa, menunjukkan sikap berbeda. Kepada majelis hakim yang diketuai Saifudin Zuhri, Sapriyanto meminta waktu satu minggu untuk mengajukan eksepsi.
”Setelah kami mendengar dakwaan jaksa, yang perbuatan materiilnya sangat sederhana, kami merasa perlu ajukan eksepsi, dan kami minta waktu satu minggu ajukan eksepsi,” ucap Sapriyanto kepada majelis hakim.
”Saudara sudah mendengar penasihat hukum Anda yang mengajukan eksepsi, tetapi meminta waktu satu minggu? Apakah Saudara mau ajukan sekarang atau nanti bersama-sama dengan penasihat hukum?” tanya Saifudin.
Fredrich pun mengklaim dakwaan jaksa sarat rekayasa.
Menanggapi pertanyaan Saifudin, Fredrich tetap ingin mengajukan eksepsi saat itu juga. Ia mengatakan telah menyusun eksepsi itu dan siap dibacakan. ”Karena dasarnya saya advokat, saya mohon diberikan kesempatan. Selanjutnya saya serahkan kepada kebijaksanaan yang mulia,” ujarnya.
Merespons tanggapan Fredrich, Sapriyanto lantas meminta waktu dua menit kepada majelis hakim untuk berunding dengan kliennya, Fredrich. ”Mungkin kami perlu koordinasi dengan terdakwa,” lanjutnya.
Setelah dilakukan koordinasi, Sapriyanto menyebutkan, pihaknya dengan Fredrich sepakat untuk mengajukan eksepsi pekan depan, dengan catatan Fredrich akan menyampaikan eksepsi pribadinya terlebih dahulu. Setelah itu, akan dilanjutkan dengan eksepsi yang diajukan penasihat hukum. ”Eksepsi diajukan minggu depan,” ucapnya.
Namun, kemudian Fredrich kembali menyampaikan bahwa sesungguhnya dirinya sangat ingin menyampaikan eksepsi saat itu juga. ”Meskipun saya sangat ingin sekali menelanjangi penipuan yang dilakukan para jaksa, tetapi karena ada permintaan pengacara,” kata Fredrich yang langsung dipotong oleh majelis hakim.
”Terdakwa, dengarkan saya. Pertanyaan kami yang perlu terdakwa jawab, jangan ngomong ke sana-sini dulu. Jadi, betul eksepsi diajukan minggu depan?” tanya Saifudin.
Fredrich pun mengatakan, eksepsi pribadi akan diajukannya minggu depan bersama penasihat hukumnya. ”Saya tunda minggu depan dengan penasihat hukum saya,” ucapnya.