MK: Pasal Makar Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyatakan, pasal-pasal makar yang diajukan uji materi tidak bertentangan dengan konstitusi.
Mahkamah menilai, perbuatan makar tidak harus berupa serangan karena makar yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya memerlukan syarat niat dan permulaan pelaksanaan.
Itu artinya, penegak hukum tidak perlu menunggu adanya serangan kepala negara atau negara baru bisa mengambil tindakan terhadap perbuatan makar.
Pendapat MK itu dituangkan dalam putusannya yang dibacakan pada Rabu (31/1) di Jakarta.
Sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat itu menyebutkan, sejumlah pasal yang dimohonkan oleh pemohon, yakni Pasal 87, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139 b, dan Pasal 140 KUHP, tidak bertentangan dengan konstisusi.
Pasal-pasal tersebut dimohonkan oleh Institute of Criminal Justice Reform (ICJR).
Penegak hukum tidak perlu menunggu adanya serangan terhadap kepala negara atau negara baru bisa mengambil tindakan terhadap perbuatan makar.
Pemohon menginginkan MK agar memberikan pemaknaan terhadap pasal-pasal mengenai makar itu. Sepanjang tidak dimaknai sebagai suatu serangan, makar bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Sebab, pasal-pasal itu bisa dengan leluasa digunakan untuk memidanakan warga negara, termasuk yang ingin mengekspresikan kebebasan berpendapat.
Pasal utama tentang makar yang dimohonkan oleh pemohon dan kemudian menjadi landasan berpikir dan pertimbangan mahkamah ialah Pasal 87 KUHP.
Pasal itu berbunyi, ”Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam Pasal 53”.
Menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, berdasarkan Pasal 87 itu, bisa dipahami bahwa syarat suatu kegiatan bisa disebut makar apabila memenuhi syarat-syarat tertentu yang diatur di dalam Pasal 53.
Pasal 53 Ayat (1) berbunyi, ”Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri”.
Dengan memperbandingkan logika di dalam kedua pasal itu, menurut Palguna, suatu perbuatan tidak bisa dinamai makar apabila tidak ada niat dan tidak ada permulaan pelaksanaan, yang unsur-unsurnya diatur dalam Pasal 53. Pasal ini menguraikan tentang tindak pidana percobaan.
”Karena KUHP tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan, kami menggunakan pandangan ahli pidana mengenai hal ini. Para ahli sepakat bahwa permulaan pelaksanaan dari suatu kejahatan itu dibedakan menjadi persiapan dan perbuatan pelaksanaan,” tutur Palguna.
Sejak kapan ada persiapan dan perbuatan pelaksanaan itu, menurut Palguna, hal itu diserahkan pada penilaian hakim. Logika hukum yang dipakai dalam pasal makar itu pun dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi.
Mahkamah menilai tidak ada percobaan dalam makar. Sepanjang ada niat dan permulaan pelaksanaan, hal itu sudah bisa disebut makar.
Berpedoman pada pemaknaan itu, mahkamah tidak setuju dengan dalil pemohon yang menginginkan makar dimaknai sebagai suatu serangan.
Mahkamah menilai tidak ada percobaan dalam makar. Sepanjang ada niat dan permulaan pelaksanaan, hal itu sudah bisa disebut makar.
”Apabila negara hanya bersifat pasif ketika ada permulaan pelaksanaan perbuatan makar, negara lalai menjalankan kewajiban konstitusional melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia sebagaimana diamanatkan konstitusi,” ujar Palguna.
Ia menambahkan, negara juga lalai menerapkan prinsip untuk tidak melakukan intervensi terhadap negara lainnya manakala tidak bertindak jika ada permulaan pelaksanaan makar dirancang di Indonesia terhadap negara lain.
Menurut Hakim Konstitusi Suhartoyo, apabila makar dimaknai serangan seperti diinginkan oleh pemohon, ketika presiden telah terbunuh dan negara jatuh, baru bisa disebut makar telah terjadi.
Padahal, maksud dari Pasal 87 dan Pasal 53 itu ialah untuk melindungi negara dan mencegah hal itu terjadi.
”Mahkamah tidak setuju dengan pendapat pemohon. Norma Pasal 87 dan Pasal 53 secara konkret mengatur tentang perbuatan yang belum selesai. Artinya, makar cukup dimaknai terjadi apabila ada niat dan permulaan pelaksanaan. Tidak perlu adanya serangan,” ujar Suhartoyo.