Pelanggaran Hakim Didominasi Kasus Suap dan Gratifikasi
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik suap dan gratifikasi merupakan jenis pelanggaran yang paling banyak menjadi alasan digelarnya sidang Majelis Kehormatan Hakim. Sejak sidang MKH digelar tahun 2009, Komisi Yudisial mencatat ada 49 kali sidang MKH, dan 22 sidang MKH di antaranya digelar karena hakim menerima suap dan gratifikasi.
Juru Bicara KY Farid Wajdi, Kamis (4/1) di Jakarta, mengatakan, isu suap dan gratifikasi belum bisa dilepaskan dari profesi hakim dan aparat peradilan pada umumnya karena sejumlah faktor. Upaya pembinaan dan pengawasan terus dilakukan oleh MA ataupun KY, tetapi hal itu pada akhirnya berpulang kepada ketahanan diri dan moralitas tiap hakim dalam memaknai profesinya. Di sisi lain, masih ada kekurangan dalam pemantapan kode etik di kalangan hakim.
”Ada tren yang sedikit bergeser sebenarnya dari rentang waktu 2009-2017. Dari 49 kali sidang MKH sepanjang waktu itu, suap dan gratifikasi mendominasi pada masa sebelum tahun 2012, yakni ketika belum ada kenaikan tunjangan dan remunerasi bagi hakim. Selanjutnya, setelah tahun 2012, yakni tahun 2013 dan 2014, pelanggaran terbesar justru karena perselingkuhan atau tindak asusila,” kata Farid.
Kendati demikian, laporan mengenai pelanggaran karena penerimaan suap dan gratifikasi selalu ada setiap tahun. Hal ini pun menjadi perhatian serius KY karena dalam dua tahun terakhir, yakni 2016 dan 2017, sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyasar kepada hakim dan aparat peradilan.
Dari 49 kali sidang majelis kehormatan hakim sepanjang 2009-2017 itu, suap dan gratifikasi mendominasi pada masa sebelum tahun 2012, yakni ketika belum ada kenaikan tunjangan dan remunerasi bagi hakim.
Berdasarkan data KPK, sejak 2012 hingga saat ini atau selama kepemimpinan Hatta Ali sebagai Ketua MA terdapat 14 hakim dan 7 panitera pengganti terjerat kasus korupsi. Khusus pada 2016, 7 hakim dan 7 pegawai pengadilan ditangkap KPK (Kompas, 29 Desember 2017).
Farid mengatakan, sekalipun tunjangan dan fasilitas ditingkatkan, pengawasan diperketat, dan sanksi diperberat, penerimaan suap dan gratifikasi tetap menjadi ancaman serius bagi profesi hakim. ”Moralitas diri hakim menjadi penentu. Penangkapan yang terus terjadi pada hakim menunjukkan mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap profesi, tidak adanya rasa malu, dan tidak mau belajar dari peristiwa-peristiwa terdahulu,” katanya.
Untuk memutus mata rantai suap dan gratifikasi di kalangan hakim, menurut Farid, harus dilakukan upaya sistematis, mulai dari penerimaan atau seleksi hakim dengan menelusuri rekam jejak calon hakim yang meliputi keluarga, sekolah, dan lingkungan pergaulannya.
”Pembinaan dan pengawasan atas setiap perilaku hakim harus pula mengingatkan profesi hakim adalah mulia sehingga harus dijaga semua tindakannya. Pemberian sanksi kepada hakim yang melanggar harus sesuai dan tidak diskriminatif,” ujarnya.
Sebagai mitra kerja, KY mengapresiasi langkah pembinaan dan pembenahan yang dilakukan MA. Namun, KY berharap agar MA lebih tegas terhadap ”oknum” yang telah mencederai kemuliaan lembaga peradilan.
Pembenahan sistematis
Wakil Ketua Ombudsman Ninik Rahayu memiliki pandangan berbeda mengenai tingginya suap dan gratifikasi di kalangan hakim dan aparat peradilan. Menurut Ninik, hal itu tidak bisa disalahkan pada hanya diri orang per orang hakim atau menyalahkan oknum.
”Kalau selalu berulang dari tahun ke tahun, itu bukanlah ’oknum’ orang per orang, melainkan suatu hal yang terjadi secara sistematis. Selama MA tidak melakukan perubahan secara sistematis, maka pelanggaran itu akan terus saja terjadi,” katanya.
Selama MA tidak melakukan perubahan secara sistematis, maka pelanggaran itu akan terus saja terjadi.
Ninik mengatakan, lemahnya pengawasan internal di MA menjadi penyebab masih terus terjadinya pungutan liar serta penerimaan suap dan gratifikasi di lembaga peradilan. Badan Pengawasan MA diisi oleh orang-orang yang berasal dari kalangan hakim sendiri. Kondisi itu membuat pengawasan internal oleh MA sendiri tidak optimal dan karena itu MA harus membuka diri untuk pengawasan eksternal.
Catatan akhir tahun Ombudsman beberapa waktu lalu juga menyoroti lembaga peradilan dan kepolisian sebagai institusi di bidang penegakan hukum dan pertahanan keamanan yang paling sering dilaporkan atau dikeluhkan oleh publik sepanjang 2017. Catatan terhadap badan peradilan, khususnya, hampir sama dari tahun ke tahun, antara lain karena banyaknya pungli dan keterlambatan pelayanan, termasuk dalam pengiriman berkas putusan.
Berhentikan 31 hakim
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan, tidak mudah untuk memprediksi perilaku orang atau hakim. Pengawasan eksternal peradilan pun fokus pada dua hal, yaitu pencegahan dan penindakan.
”Ke depannya kami berupaya memperkecil ruang gerak terjadinya kesalahan atau pelanggaran oleh hakim. Sinergi akan ditingkatkan dengan MA melalui pelatihan-pelatihan kepada hakim, jaksa, dan pengacara,” katanya.
Berdasarkan data KY, sejak 2009, terdapat 31 hakim diberhentikan tetap dalam sidang MKH. MKH merupakan forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian.
Selain itu, sebaran sanksi MKH menunjukkan sebanyak 16 hakim dijatuhi sanksi berupa nonpalu 3 bulan sampai dengan 2 tahun, 1 orang dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis dengan akibat pengurangan tunjangan kinerja sebesar 75 persen selama 3 bulan, dan 1 orang mengundurkan diri sebelum sidang MKH.
KPK akan terus melakukan kerja sama dengan MA dalam mewujudkan peradilan yang bersih.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK akan terus melakukan kerja sama dengan MA dalam mewujudkan peradilan yang bersih. ”Ada beberapa kerja sama yang sudah kami lakukan dengan MA, termasuk pertukaran informasi dengan pihak pengawasan internal di MA. Saya kira itu tugas kami, termasuk penguatan semacam inspektorat sehingga peradilan bisa terjaga. Kerja sama antara KPK dan KY juga akan menjadi hal penting dalam mewujdukan peradilan bersih,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Kamar Pengawasan MA Sunarto mengatakan, pengawasan melekat dan berjenjang serta whistleblowing system menjadi salah satu upaya MA memperketat pengawasan internal. Pimpinan MA dan tim khusus juga dikerahkan ke lapangan untuk melakukan pengintaian dengan metode mystery shopper guna mengetahui sejauh mana pelayanan di pengadilan dijalankan. Kerja sama dengan KPK berupa pertukaran informasi juga terus dilakukan untuk menindak aparat peradilan nakal.