Novel Baswedan, Aris Budiman, dan Masalah-masalah Pelik KPK
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku dan otak penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, masih juga belum terungkap oleh polisi. Sejumlah aktivis antikorupsi mendesak pemerintah membentuk tim gabungan pencari fakta untuk mengusut kasus ini. Namun, pimpinan KPK yang seharusnya mengusulkan pembentukan tim gabungan pencari fakta pun justru terbelah sikapnya.
Sebagian pimpinan setuju agar pemerintah membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF). Terlebih sejak terjadi teror penyiraman air keras terhadap Novel pada 11 April lalu, hingga saat ini polisi belum mengungkap siapa pelakunya. Namun, masih ada komisioner KPK lainnya yang enggan mengusulkan pembentukan TGPF.
Terbelahnya sikap pimpinan KPK soal usulan pembentukan TGPF untuk mengusut pelaku penyiraman air keras terhadap Novel hanya satu dari banyak masalah pelik yang kini dihadapi KPK dan masih sulit terselesaikan.
Mungkin saja akan ada pimpinan yang berubah sikap.
Ketua KPK Agus Rahardjo tidak menampik adanya perbedaan pendapat di antara pimpinan komisi antikorupsi itu dalam upaya penuntasan kasus Novel, terlebih lagi terkait pembentukan TGPF.
”Dalam pengambilan keputusan, kami collective collegial. Kami akan diskusikan lagi, tetapi kami optimistis melihat perkembangan. Mungkin saja akan ada pimpinan yang berubah sikap (setuju dengan pembentukan TGPF). Ditunggu saja,” ujar Agus di Jakarta, Jumat (3/11).
Kasus Novel terjadi tak lama setelah ada kisruh di internal penyidik KPK. Penyidik KPK terbelah dalam kubu ”perekrutan internal” dan kubu penyidik dari kepolisian. Saat Brigadir Jenderal (Pol) Aris Budiman menjadi Direktur Penyidikan KPK, masalah ini mencuat ke permukaan. Aris diprotes saat mencoba merekrut kepala satuan tugas penyidikan dari kepolisian. Novel yang juga ketua wadah pegawai KPK mengirim e-mail protes.
Belakangan, e-mail protes tersebut dipersoalkan Aris karena menganggap integritas dirinya direndahkan. Aris mengungkapkan unek-uneknya di hadapan Panitia Angket DPR terhadap KPK. Panitia Angket memang sengaja mengundang Aris untuk datang memberikan keterangan. Padahal, pimpinan KPK tidak memberikan izin.
Apalagi pimpinan KPK tak pernah mau datang ke Panitia Angket dengan alasan KPK bukan obyek hak angket DPR karena merupakan lembaga independen. Terlebih saat ini sejumlah pihak tengah mengajukan uji materi atas UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi, untuk melihat apakah DPR berwenang menggunakan hak angket terhadap KPK. Pimpinan KPK masih menunggu hasil uji materi di MK tersebut.
Aris mempersoalkan e-mail yang dikirim Novel itu dengan melaporkannya ke Polda Metro Jaya atas tudingan pencemaran nama baik. Polisi bergerak cepat. Laporan Aris terhadap Novel langsung ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) ke kejaksaan.
Di KPK, kedatangan Aris ke Panitia Angket juga dipersoalkan. Aris diduga melanggar kode etik. Mantan Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya itu pun diperiksa Pengawas Internal KPK. Hasil pemeriksaan ini selanjutnya dibahas melalui mekanisme Dewan Pertimbangan Pegawai untuk menentukan masa depan Aris di KPK.
Kasus Novel dan Aris ini salah satu masalah internal KPK yang pelik. Saat Novel mengirim e-mail protes kepada Aris, Novel pernah mendapatkan surat peringatan (SP) dari pimpinan KPK. Belakangan, SP tersebut dicabut karena ada sejumlah pihak yang keberatan.
Kini, dugaan pelanggaran etik oleh Aris pun tak mudah diselesaikan di internal KPK. Jika Aris ”dihukum” karena kedatangannya ke Panitia Angket, akan timbul pertanyaan dari kubu penyidik polisi di KPK. Mereka akan merasa hukuman tersebut hanya ditimpakan ke satu kubu.
Di sisi lain, proses hukum terhadap Novel atas laporan Aris, jika berlanjut, justru akan memperuncing hubungan KPK dengan Polri yang saat ini sebenarnya tengah berlangsung harmonis sejak kasus Budi Gunawan.
Di luar kasus Novel dan Aris ini, ketidakompakan ini diduga juga terjadi di KPK dalam mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik dengan tersangka Ketua DPR Setya Novanto. Hingga kini, penersangkaan kembali terhadap Novanto selepas politikus Partai Golkar itu memenangkan permohonan praperadilan belum juga dilakukan KPK. Padahal, terhadap tersangka korupsi lain yang juga menang di praperadilan, KPK bisa cepat menetapkan mereka kembali sebagai tersangka.
Mantan unsur pimpinan KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, meyakini, pimpinan KPK saat ini solid dalam komitmen pemberantasan korupsi, termasuk melindungi penyidiknya dari gangguan. ”Pimpinan KPK akan menemukan jalan keluar dalam waktu yang tidak lama karena mereka terpilih melalui proses yang ketat sehingga komitmennya tidak perlu diragukan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan, pelanggaran yang dilakukan pegawai KPK memang sebaiknya diselesaikan secara internal. ”Seharusnya pelanggaran yang dilakukan Aris ataupun Novel diselesaikan melalui mekanisme penegakan etik secara profesional kepada keduanya, jangan hanya satu pihak agar KPK kembali solid,” kata Dadang.
Ke depan, KPK harus terus meningkatkan jumlah dan kualitas penyidik internalnya sehingga, perlahan-lahan, ketergantungan KPK pada penyidik dari Polri makin berkurang. ”Sistem perekrutan dan pengembangan personel bisa digunakan untuk membangun teamwork yang solid. Semua pihak di dalam KPK, apa pun latar belakangnya, harus melihat korupsi sebagai musuh bersama,” lanjutnya.
Pembentukan TGPF
Terkait pengusutan kasus penyiraman air keras terhadap Novel, peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, menuturkan, KPK seharusnya segera menentukan sikap untuk mendorong pembentukan TGPF guna mengungkap kasus penyiraman terhadap Novel. Pada hari ke-205 sejak penyerangan Novel, polisi belum menemukan pelaku ataupun aktor intelektual penyerangan tersebut.
Menurut dia, jika KPK serius melindungi penyidiknya, seharusnya pimpinan KPK segera menentukan sikap untuk meminta Presiden membentuk TGPF. Pembentukan TGPF diyakini bisa mempercepat pengungkapan kasus penyerangan terhadap Novel. ”Seharusnya KPK adalah pihak yang paling berkepentingan mengungkap serangan kepada Novel karena dia sudah menjadi simbol pemberantasan korupsi,” katanya.
Sejak penyerangan Novel pada 11 April 2017, polisi belum juga menemukan pelaku ataupun auktor intelektualis penyerangan Novel. Polisi kesulitan mengumpulkan keterangan dari saksi dan alat bukti. Rekaman kamera pemantau di sekitar rumah Novel tidak banyak membantu penyelidikan. ”Jika memercayakan penyelesaian kasus kepada kepolisian, KPK seharusnya mempertanyakan perkembangan terbaru, bukan diam dan tidak menentukan sikap,” ujar Lalola.
Penuntasan kasus yang menimpa Novel merupakan bagian dari jaminan perlindungan terhadap penegak hukum, sekaligus menjaga kewibawaan KPK. Akan tetapi, jika pilihannya tidak membentuk TGPF, soliditas antara KPK dan kepolisian harus diperkuat agar proses penyelidikan bisa menemukan titik terang.
”Soliditas hubungan antarlembaga penegak hukum akan bisa diperkuat apabila pimpinan memiliki mindset kolaboratif di lembaga masing-masing. Dengan demikian, peluang terjadinya dialog dan koordinasi akan semakin besar,” papar Dadang.