Imelda Sulis Setiawati, Berjuang Mengangkat Derajat Perempuan Sumba
Imelda Sulis Setiawati bekerja tulus dan sukarela memberdayakan ribuan perempuan sumba, khususnya orang kecil di desa.
Bekerja secara sukarela dan tak kenal batas waktu tidak mudah dijalankan oleh kebanyakan perempuan di zaman ini. Namun, Imelda Sulis Setiawati bisa melakukannya. Di bawah Yayasan Donders, ia mengangkat harkat dan martabat perempuan Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Imelda Sulis Setiawati (50) tengah sibuk menangani anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya untuk menjadi pekerja migran ilegal di luar negeri dan anak perempuan korban tindak kekerasan seksual, Selasa (6/3/2024), di Tambolaka, Sumba Barat Daya. Imelda mengasuh mereka di Rumah Aman, milik Yayasan Donders. Hal seperti itu sudah dilakukan Imelda sejak lama.
Perempuan berdedikasi yang bekerja tulus untuk kemanusiaan itu bergabung dengan Yayasan Donders Sumba, di bawah Konggregasi Redemptoris atau CSsR. Ia dipercaya memimpin divisi pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan perdagangan orang.
Perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, ini terlibat bersama Donders sejak 2009 hingga 2024. Setiap dua tahun, sebanyak 250 ibu rumah tangga perdesaan terpencil diberdayakan dalam usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebagian dari mereka merupakan perempuan yang termarjinalkan. Ada yang berstatus orangtua tunggal, mantan pekerja migran ilegal, dan korban perdagangan orang. Berkat program pemberdayaan itu, mereka bisa memiliki penghasilan tetap dan memiliki masa depan.
Baca juga: Kisah dari Sumba untuk Anak Indonesia
”Perempuan yang rentan dan terstigma buruk soal apa saja dari masyarakat harus diberdayakan. Mereka dipulihkan agar percaya diri melalui pengembangan usaha rumahan,” ujar Imelda.
Ia menyebut beberapa usaha yang dijalankan para perempuan itu, antara lain tenun ikat dengan pewarnaan bahan lokal, penjualan kopi robusta secara daring dan luring, pembuatan keripik pisang dan singkong, jagung marning, pembuatan minyak kelapa murni, dan lainnya. Selain mendapat penghasilan, usaha itu membuat mereka diakui dan dihormati masyarakat.
Para perempuan ini bekerja secara berkelompok, masing-masing 25 orang. Ada 10 kelompok sehingga jumlah keseluruhan 250 orang. Pendampingan berlangsung dua tahun, setelah itu dilanjutkan ke kelompok lain pada tahun berikutnya. Kelompok yang belakangan mendapat dukungan dari anggota kelompok yang sudah berhasil. Kelompok-kelompok itu terbentuk melalui proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) perempuan desa.
Sudah lebih dari 1.000 perempuan sukses di bidang UMKM ini. Awalnya hanya usaha mikro, lalu berkembang menjadi usaha kecil. Mestinya yang berhasil jauh lebih banyak, tetapi sebagian anggota tidak melanjutkan usaha itu dengan alasan tidak ada modal dan dukungan dari keluarga.
Baca juga: ”Stunting” Masih Mendera Kabupaten Sumba Barat Daya
Kini, lebih dari 500 perempuan pelaku UMKM memiliki tabungan di bank. Mereka bisa menyekolahkan anak ke perguruan tinggi, membangun rumah layak huni, dan berperan dalam urusan sosial. Sebelumnya, mereka bergantung pada suami atau anggota keluarga lain.
Kawin tangkap
Imelda yang juga Ketua Forum Pusat Pelayanan dan Advokasi Praktik Kawin Tangkap Wilayah Sumba Barat Daya ini mengatakan, ia terus berjuang demi menegakkan harkat dan martabat perempuan Sumba. ”Dulu, ada semacam praktik perjodohan antara anak perempuan dan laki-laki dari orangtua berbeda, dari suku yang berbeda, oleh juru bicara atau wumang. Begitu anak-anak itu beranjak dewasa, orangtua memberi tahu kepada sang pria bahwa pasanganmu ada di sini dengan nama lengkapnya,” katanya.
Pihak laki-laki, lanjut Imelda, merasa sudah memiliki pasangan yang dijodohkan dengannya, ingin menunjukkan kejantanannya kepada masyarakat. Ia pun nekat membawa lari perempuan itu, entah diculik dari tengah kerumunan warga, (diculik) di jalan, atau di mana saja begitu perempuan itu ditemui sendirian.
Imelda membangun jaringan kerja sama dengan organisasi kemasyarakatan, pemerintah daerah, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh agama, termasuk tokoh agama lokal, Marapu, yang ketua adatnya disebut Rato atau raja. Jika praktik itu bagian dari adat, Imelda berupaya agar disesuaikan dengan norma dan hukum yang berlaku.
Baca juga: Kepercayaan ”Marapu” Mulai diajarkan di Sejumlah Sekolah
Ia memimpin aksi solidaritas damai untuk menghapus praktik yang disebut kawin tangkap itu. Ia memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai harkat dan martabat seorang perempuan sejak dilahirkan sampai beranjak dewasa dan menentukan pendamping hidup secara mandiri. Sosialisasi itu ia lakukan kepada para orangtua di desa-desa terpencil yang masih mempraktikkan tradisi kawin tangkap.
Ia selalu menegaskan, kasus perjodohan paksa ini berakibat pada persoalan hukum. Para pelaku dan inisiator, yakni sang pria, orangtua, dan juru bicara atau wumang, bakal diproses hukum. ”Masalah kawin tangkap tidak menjadi fenomenal kalau semua pihak punya komitmen penghargaan terhadap perempuan. Kini, tokoh agama, termasuk tokoh agama asli Sumba, punya tekat menghentikan praktik ini. Para pelaku dan pihak lain yang terlibat diproses di pengadilan untuk memberi efek jera,” tutur Imelda.
Pada 2023 terdapat dua kasus kawin tangkap di Sumba Barat Daya. Kasus ini melibatkan ibu kandung korban. Ibu korban memberi peluang kepada anak gadisnya untuk ditangkap atau istilah kasarnya diculik oleh pemuda yang dijanjikan sebelumnya. Ibu kandung itu akhirnya diproses hukum.
Akan tetapi, ibu itu tetap didampingi Donders untuk memperkuat mental sekaligus memberi pemahaman. Tidak hanya ibu kandung dari gadis itu, anggota keluarga lain yang terlibat diproses. Kasus ini pun dipublikasikan untuk memberi efek jera, sekaligus sosialisasi.
Baca juga: Kawin Tangkap, di Mana Ruang Aman bagi Perempuan Sumba?
Kebanyakan orangtua di perdesaan mengaku tak tahu soal larangan hukum terkait praktik ini. Mereka baru sadar setelah diproses hukum. Sekitar 75 persen pelaku memang berdomisili di desa terpencil dan sulit mengakses informasi. Pendidikannya pun terbatas.
Selain soal kawin tangkap, kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak perempuan juga marak di Sumba. Sepanjang 2023 terdapat 40 kasus yang dilaporkan ke Donders dan pihak berwajib. Korban ditangani langsung oleh Donders. Usia mereka 7-13 tahun. Sebagian korban mengalami depresi, stres, bahkan gangguan jiwa.
Imelda kesulitan mendapat tenaga psikolog atau psikiater untuk mendampingi korban. Mendatangkan tenaga ahli ini dari luar Sumba butuh biaya besar. Karena itu, Imelda semampunya mendampingi mereka dan memperlakukan secara khusus.
Dalam menangani anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan anak-anak yang orangtuanya menjadi korban perdagangan orang, Imelda menghadapi sejumlah masalah. Anak-anak itu tidak punya kartu keluarga dan akta kelahiran sehingga pengurusan BPJS untuk mereka terkendala. Akibatnya, mereka sulit mengakses layanan kesehatan. Mengurus BPJS juga tidak mudah. Perlu waktu beberapa bulan.
Baca juga: Sudahi Kawin Tangkap, Lindungi Perempuan Sumba
Selain itu, memindahkan tempat anak-anak bersekolah dari desa yang terpencil ke Tambolaka juga sangat sulit. Salah satunya karena pihak sekolah perlu waktu berbulan-bulan untuk mengeluarkan surat pindah bagi anak-anak itu.
Untuk melakukan itu semua, Imelda dan pengurus yayasan bekerja amat keras. Pendampingan kasus di kantor polisi, misalnya, sering kali berlangsung sampai larut malam. Ia harus menunggu di kantor polisi untuk memastikan keamanan para korban. Ia khawatir, jika pelaku kekerasan seorang pejabat, para korban bisa diperlakukan tidak adil. Hukum di negara ini tumpul ke atas tajam ke bawah.
Apa pun yang terjadi, Imelda dan pihak yayasan berupaya menyelamatkan masa depan anak-anak itu melalui pendidikan formal. Kini, ada dua korban kekerasan seksual yang bisa mencapai pendidikan tinggi.
”Saya bekerja sukarela dan terkadang sampai larut malam. Jika bukan kita, siapa lagi. Banyak NGO mengaku terlibat di bidang itu, tetapi masalah itu terus terjadi setiap tahun. Pemerintah pun beralasan tidak ada anggaran. Lalu, para korban itu dikemanakan?” kata Imelda.
Baca juga: Rumah Sumba, Spiritualitas dan Kebersamaan
Imelda Sulis Setiwati
Lahir: Nganjuk, Jawa Timur, 9 Juni 1973
Suam: Yakobus Gorang Asimu
Anak: tiga orang
Pendidikan terakhir: S-1 Ilmu Sosial Universitas Dr Soetomo Surabaya