Achmad Farmis dan Diah Agustini Merawat Tari Tradisi Sunda
Selama 13 tahun mereka telah melatih sekitar 500 murid. Tak hanya dari Jawa Barat, tapi juga dari luar negeri.
Achmad Farmis dan Diah Agustini merintis Sanggar Cakranatya Studio di Kota Bandung, Jawa Barat, sejak 2010. Sanggar Cakranatya meraih penghargaan Penata Tari Unggulan dalam Parade Tari Nusantara di Jakarta tahun 2019.
Achmad Farmis dan istrinya, Diah Agustini, menjalani profesi sebagai penari dan penata tari tradisi sunda selama 13 tahun terakhir. Keduanya juga merintis sebuah sanggar tari agar seni tari sunda tetap dilestarikan oleh generasi milenial di Kota Bandung.
Rena Tresnawati (25) mengawasi enam muridnya yang sedang melakukan gerakan pemanasan di Sanggar Cakranatya Studio, di Kecamatan Regol. Gerakan pemanasan dilakukan selama 15 menit sebelum mulai berlatih sejumlah tari tradisional sunda seperti jaipong dan tari klasik.
Di samping kanan ruang sanggar, tampak Achmad dan Diah mengawasi Rena yang sedang mengajar keenam murid pada siang itu. Rena termasuk salah seorang murid Achmad dan Diah yang kini turut mengajar di Sanggar Tari Cakranatya.
Minggu (21/1/2024), murid-murid sanggar berusia 10 hingga 14 tahun itu berusaha menampilkan gerakan tarian terbaiknya. Maklum, hari itu Achmad dan Diah akan memberikan evaluasi.
Achmad Farmis dan istrinya Diah Agustini menyaksikan salah satu muridnya menampilkan tarian jaipong di Sanggar Cakranatya Studio Kota Bandung, Jawa Barat, pada 21 Januari 2024. Sebanyak 15 murid yang berlatih di Cakranatya Studio.
Setelah berlatih sekitar dua jam, waktu evaluasi tari jaipong waledan pun tiba. Diiringi rekaman musik tari jaipong waledan, satu per satu murid menampilkan hasil latihannya selama beberapa bulan terakhir. Achmad dan Diah melihat setiap gerakan mereka dengan detail. Keduanya langsung memberikan hasil evaluasi setelah para murid menyelesaikan tariannya.
”Kalian masih perlu meningkatkan kemampuan penjiwaan dan koreografi atau desain gerakan tari yang tepat,” kata Achmad kepada murid-muridnya.
Sanggar Cakranatya didirikan Achmad dan Diah pada 2010. Cakra berarti senjata pamungkas dalam cerita dunia pewayangan, sementara Natya berarti tari dalam bahasa Sansekerta. Ahmad dan Diah berharap Sanggar Cakranatya menjadi alat untuk melahirkan kreativitas dan menjaga seni tarian jaipong serta klasik sunda.
Baca juga : Isam, Dulu Menjarah Kini Menjaga
Sebelumnya, Cakranayta adalah nama komunitas pegiat tari tradisi Jawa Barat yang bermukim di Bandung dan lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (kini menjadi Institut Seni Indonesia Surakarta). Achmad bersama Diah dan sembilan temannya, merintis lahirnya komunitas tari Cakranatya di Bandung pada 1996. Komunitas itu vakum selama beberapa tahun karena kesibukan anggotanya masing-masing.
Akhirnya tahun 2010, Achmad dan Diah menghidupkan kembali nama Cakranatya sebagai nama sanggarnya. Selama 13 tahun berkarya, mereka telah melatih sekitar 500 murid. Murid mereka tidak hanya dari Jawa Barat, tetapi juga dari luar negeri. Di antaranya adalah dua mahasiswa asal Rusia yang belajar tari di sana pada 2016.
Kegiatan pelatihan di Sanggar Cakranatya Studio berlangsung dari pukul 10.00 hingga 14.00 WIT setiap hari Minggu. Achmad dan Diah mengajar 13 tarian jaipong dan 4 tarian klasik seperti topeng, merak, sulintang, dan kandangan.
”Materi tarian jaipong kami bersumber dari tari jaipong di Padepokan Jugala yang didirikan bapak Gugum Gumbira. Beliau adalah sosok seorang mentor dan maestro tari jaipong,” ungkap Diah.
Baca juga: Issa Rae, Peluang untuk Talenta Kulit Hitam
Para murid berlatih tari merak di Sanggar Cakranatya Studio, Kota Bandung, Jawa Barat, pada 21 Januari 2024. Tari Merak termasuk salah satu tari klasik sunda di Jawa Barat.
Murid sanggar Cakranatya Studio kini berjumlah 15 orang. Semuanya perempuan yang terdiri dari pelajar SMP, SMA, dan mahasiswa. Dalam setiap sesi latihan, tidak semua murid yang hadir karena terbentur aktivitas di sekolah atau kuliah.
Jumlah murid sanggar yang terus menurun menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Ahmad dan Diah. Padahal, saat pertama kali dibuka pada 2010, jumlah murid lebih dari 20 orang. Tantangan lainnya adalah minimnya penari pria. Hal ini karena adanya persepsi bahwa tari hanya cocok untuk perempuan.
Selain mengajar di Sanggar Cakranatya, dalam beberapa tahun terakhir pasangan suami istri ini membagikan ilmunya di luar negeri. Achmad, misalnya, mengisi kuliah umum di sejumlah lembaga di Amerika Serikat, seperti University of San Fransisco (USF) of the Pacific Rim, San Fransisco State University (SFSU), dan University California Santa Cruz (UCSC).
Sementara itu, Diah mewakili Indonesia mengikuti misi kesenian ke sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Belanda, Swedia, Inggris, Malaysia, dan Laos. Ia pun tampil sebagai penari dalam pertunjukan di San Francisco Art Museum tahun 2013 dan International Ethnic Dance Festival di San Fransisco tahun 2014.
Baca juga: Sutrisno, Memajukan Desa dengan Buah Naga
Mereka berulang kali tampil di Amerika Serikat berkat undangan dari salah seorang pegiat tari etnik bernama Michael Ogi. Hal ini bermula ketika Achmad menjadi mentor Michael yang sedang mempelajari salah satu tari klasik khusus untuk penari pria di Bandung.
Michael terpukau dengan tarian sunda setelah berlatih selama sembilan hari di bawah bimbingan Achmad dan almarhum Nana Munajat, salah seorang pelatih tari klasik sunda. Saat kembali, Michael mendirikan sebuah sanggar tari Indonesia bernama Harsanari di tempat tinggalnya San Fransisco.
”Saat bepergian ke Amerika Serikat, saya memberikan kuliah umum dan pertunjukan di Universitas San Fransisco dan sejumlah negara bagian, sedangkan istri mengajar di Sanggar Harsanari milik Michael,” ungkap Achmad.
Bagi saya dan istri, pertunjukan tari mega kolosal dalam PON XIX adalah sebuah prestasi yang sangat membanggakan dan tak akan terlupakan. Prestasi ini semakin menguatkan kami untuk bertahan di jalur ini.
Tarian kolosal
Kolaborasi ayah dan ibu dari dua anak ini telah melahirkan sejumlah prestasi di tingkat nasional. Salah satunya adalah meraih juara pertama dalam tiga kategori Parade Tari Nusantara yang terselenggara di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta pada 2019.
Ahmad dan Diah juga kerap tampil dalam pertunjukan tarian kolosal di sejumlah perhelatan ajang nasional. Dalam pertunjukkan tarian kolosal, Ahmad berperan sebagai tim kreatif yang menyiapkan konsep tarian, sedangkan istrinya menjadi koreografer.
Keduanya mulai tampil sebagai bagian penting di belakang layar dari pertunjukan tarian kolosal sejak Pekan Olahraga Nasional (Popnas) tahun 2015. Pertunjukan yang digelar di Bandung itu melibatkan 900 penari.
Achmad dan tim kreatif menggunakan konsep estetika hibrida, yaitu seni pertunjukan yang memadukan budaya tradisional dan modern seperti tari tradisional dengan tarian modern. Mereka juga melibatkan, komunitas juggling atau olah bola serta komunitas skateboard.
Baca juga : Fajar Mulia, Mengubah Sampah Jadi Berkah
Murid Sanggar Cakranatya Studio tampil dalam salah satu kegiatan Pemprov Jawa Barat di Kota Bandung pada 25 Maret 2022.
Prestasi tertinggi keduanya dicapai saat mereka menjadi sosok sentral dalam tim pertunjukan tarian kolosal pada upacara Pembukaan dan Penutupan Pekan Olahraga Nasional XIX yang juga digelar di Jawa Barat tahun 2016. Achmad dan Diah memandu 16 pelatih untuk mengajar sekitar 2.000 penari yang tampil dalam Pembukaan PON XIX.
Hingga tahun 2023, Achmad dan Diah rutin tampil menyiapkan konsep tarian dan koreografi dalam tarian kolosal. Salah satunya tarian kolosal dalam peringatan ulang tahun Bhayangkara ke-77 di Gedung Sate Kantor Gubernur Jawa Barat, Kota Bandung, 1 Juli 2023.
”Bagi saya dan istri, pertunjukan tari mega kolosal dalam PON XIX adalah sebuah prestasi yang sangat membanggakan dan tak akan terlupakan. Prestasi ini semakin menguatkan kami untuk bertahan di jalur ini,” ujar Achmad.
Achmad Farmis
Lahir: Bandung, Jawa Barat, 16 Juni 1966.
Pendidikan terakhir: Sarjana Seni Tari Sekolah Tinggi Seni Surakarta (1995)
Diah Agustini
Lahir : Bandung, Jawa Barat, 13 Agustus Tahun 1969.
Pendidikan terakhir: Sarjana Seni Tari di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (1995)