Fajar Mulia, Mengubah Sampah Jadi Berkah
Fajar sudah lama gerah dengan persoalan sampah yang mencemari lingkungan. Ia tergerak mengatasinya.
Sudah lama Fajar Mulia (42) gerah melihat sampah bertumpuk di mana-mana. Sampah membuat ia mengomel tiada habisnya. Tetapi, ia sadar, “ngomel” saja tidak ada artinya. Ia pun tergerak menyedekahkan waktunya untuk mengatasi persoalan sampah dan mengubahnya menjadi berkah.
Berkeliling di perumahan Althia Park, Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (19/2/2024), kita bisa menangkap kegairahan warga mengolah sampah rumah tangga. Sekitar 70 persen dari 122 rumah tangga di kompleks itu telah memilah sampah sendiri dalam lima kategori: kardus/kertas, plastik, kemasan makanan (food grade), beling, dan logam.
Sampah yang masih memiliki nilai ekonomi itu, mereka setorkan ke tiga titik penampungan sampah di kompleks itu. Setelah penuh, sampah diangkut ke depo bank sampah yang dibangun di sisi belakang kompleks. Sebulan sekali sampah itu ditimbang dan dijual ke pengepul.
Sampah sisa makanan (organik) yang tidak bisa disetor ke bank sampah, mereka olah menjadi kompos dan eco enzyme. Di kompleks itu, ada 11 titik komposer kolektif dan 60-an komposer individu milik warga. Kompos mereka pakai untuk media tanam taman pribadi dan kebun milik bersama. Eco enzyme mereka pakai untuk aktivator pembuatan kompos, pupuk, serta sarana edukasi. Sebagian warga juga ada yang memanfaatkan eco enzyime untuk bahan pembuatan sabun, pembersih lantai, dan produk ramah lingkungan lainnya.
Baca juga: Dedikasi Pdt Emmy bagi Korban Perdagangan Orang
Penimbangan sampah bernilai ekonomi di Bank Sampah Althia Bahagia, Kompleks Althia Park, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten.
”Semuanya masih kecil-kecilan, baru skala rumah tangga. Tetapi, yang penting kesadaran warga untuk mengolah sampah sudah muncul,” ujar Fajar Mulia, inisiator gerakan pengolahan sampah yang ditunjuk warga sebagai Ketua Bank Sampah Althia Bahagia.
Sejak gerakan swakelola sampah dilakukan warga pada akhir 2018 hingga akhir 2023, sampah bernilai ekonomi yang berhasil dipilah dan dijual jumlahnya lebih dari 18 ton. Sementara sampah organik yang berhasil diubah menjadi kompos dan eco enzyme sekitar 50 persen dari sampah yang dihasilkan warga. Sampah yang dibuang warga tinggal sampah yang benar-benar tidak bisa diolah seperti sampah B3.
Jika dulu sampah menjadi masalah di kompleks itu, kini sampah menjadi berkah. Kompleks menjadi bersih dan tidak banyak menghasilkan limbah yang membebani lingkungan. Selain itu, sampah yang berhasil diolah memberi manfaat ekonomi dan sosial. Menurut Fajar, hasil penjualan sampah setiap tahun antara Rp 6 juta-Rp 9 juta. Jika diakumulasikan sejak 2018 hingga 2023, jumlah totalnya Rp 41 juta.
Uang itu dimasukkan ke kas RT dan digunakan untuk membiayai kegiatan kompleks. ”Konsep bank sampah kami adalah ’sedekah sampah’. Hasil penjualan sampah tidak dikembalikan ke individu tetapi ke kas RT,” tambah Fajar.
Baca juga: Victoria Monét, Buah Ketekunan yang Bermekaran
”Ngomel” tiada artinya
Fajar sudah lama gerah dengan persoalan sampah yang mencemari lingkungan. Sebagai penggemar olahraga dan traveling ia juga punya pengalaman buruk terkait sampah. Suatu ketika ia olahraga snorkeling di Pulau Tunda, Serang, Banten, tiba-tiba ia dikepung oleh sampah plastik yang hanyut sampai ke tengah laut. Acara snorkeling-nya pun jadi berantakan.
Pernah juga ia lari pagi di Situ Parigi, Tangerang Selatan, ia menemukan banyak sampah yang masuk ke danau melalui sungai. Penasaran dengan hal itu, ia menelusuri sumber sampah itu. ”Ternyata ada pembuangan sampah di sungai belakang Stasiun Sudimara. Saya ramaikan di media sosial dan menarik perhatian banyak orang. Tetapi, setelah itu tidak ada perubahan juga,” ceritanya.
Suatu ketika, ia jalan-jalan naik kapal laut ke Labuan Bajo. Ia melihat ada sepotong sampah plastik bekas kemasan makanan tertiup angin dan jatuh ke laut. Nakhoda kapal laut itu segera meminta anak buah kapal untuk mengambil sampah itu dari laut dengan gancu. Melihat sikap sang nakhoda, Fajar segera sadar bahwa setiap individu seharusnya bertanggung jawab pada sampah yang dihasilkan. ”Saya pikir ngomel-ngomel saja enggak ada artinya. Kita semua harus bertindak,” kenangnya.
Fajar Mulia, Ketua Bank Sampah Althia Bahagia.
Ia pun mulai mempelajari cara mengolah sampah. Ia berkenalan dengan pegiat Perkumpulan Bank Sampah binaan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangsel. Dari situ, ia mendapat mentor, akses ke lapak bank sampah, dan beberapa fasilitas. Pengetahuan yang ia peroleh dari komunitas ia terapkan di kompleksnya. Awalnya, ia mengajak beberapa warga untuk memilih sampah. Ia buatkan video tutorial cara memilah sampah dan ia sebarkan di grup Whatsapp RT.
Ia yakinkan warga bahwa membayar iuran sampah setiap bulan, tidak menghilangkan tanggung jawab atas pencemaran sampah pada lingkungan. Seiring waktu kian banyak warga yang tertarik. Setelah itu warga sepakat menggairahkan kembali bank sampah yang sudah diinisiasi Sinta pada 2015 dan dijalankan ibu-ibu kompleks.
”Saya hanya menggunakan cara kerja profesi saya sebagai internal auditor, yaitu root cause analysis. Jadi kita tetapkan dulu tujuannya (target), identifikasi semua masalah yang bisa menghambat pencapaian tujuan, lalu kami carikan solusinya,” tambah Fajar. Dari diskusi dengan warga, akhirnya disepakati konsep Bank Sampah Althia Bahagia adalah sedekah sampah.
Baca juga : Dadi Mulyadi, Perjuangan Manis dari Ciamis
Berkat gerakan swakelola sampah, kompleks Althia mendapat penghargaan Program Kampung Iklim Tingkat Utama dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan LHK pada 2023. Di luar penghargaan, yang paling penting adalah budaya peduli pada sampah dan lingkungan, muncul secara kolektif di Althia.
Ketua RT 005 RW 007 Althia Park Lazuardi Indra Pranowo bersyukur ada sosok seperti Fajar di lingkungannya yang bisa menumbuhkan budaya mengolah sampah di kalangan warga. ”Dia sangat konsisten dan telaten mengajari warga memilah sampah. Saya dulu juga enggak ngerti dan enggak pernah memilah sampah. Sekarang kalau enggak memilih sampah di rumah, rasanya ada yang salah,” katanya.
Seandainya Pak Fajar bisa dikloning dan disebar ke tempat lain, sebagian persoalan sampah dan lingkungan pasti bisa diatasi.
“Seandainya Pak Fajar bisa dikloning dan disebar ke tempat lain, sebagian persoalan sampah dan lingkungan pasti bisa diatasi,” tambah Lazuardi saat pertemuan warga yang juga dihadiri Fajar, Minggu (19/2) pagi itu.
Sejauh ini, yang bisa dikloning adalah semangatnya. Warga Althia Park, misalnya, telah menularkan gerakan ini ke sejumlah kompleks, komunitas, bahkan perkantoran di Bintaro. “Mudah-mudahan (gerakan warga Althia) bisa menginspirasi lebih banyak lagi perumahan atau komunitas untuk mengolah sampah dan berpikir ini sangat mudah dijalankan. Semua juga bisa,” ujar Fajar.
Fajar Mulia
Lahir: Bandung, 1981
Pendidikan: S1 Sosial Ekonomi Pertanian UNPAD
Penghargaan: Pegiat Lingkungan tahun 2023 dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan.