Khuzaimah Berkhidmat untuk Anak dan Perempuan Aceh
Telah 14 tahun Khuzaimah jadi pendamping anak dan perempuan korban kekerasan di Aceh Utara. Kini dia harus berbagi waktu.
Saat Aceh sedang diamuk konflik, Khuzaimah (61) nyaris kehilangan nyawa setelah kepalanya terkena peluru tajam. Dia merasa Tuhan memberikan kesempatan hidup kedua. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, dia ingin sisa hidupnya diabdikan untuk anak-anak dan para perempuan korban kekerasan di Provinsi Aceh.
Setelah menamatkan Program Diploma Pendidikan Kesekretariatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh tahun 1985, Khuzaimah langsung mendapatkan pekerjaan yang bagus. Dia diterima di perusahaan minyak dan gas PT ExxonMobil yang beroperasi di Kabupaten Aceh Utara.
Saat itu, ExxonMobil, perusahaan asal Amerika Serikat, sedang memproduksi migas secara besar-besaran. Tidak banyak warga Aceh yang memperoleh kesempatan bekerja di sana. Khuzaimah salah satu warga Aceh yang beruntung.
Baca juga: Ernawati, Jalan Terjal Dampingi Korban Kekerasan
Tinggal di Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara, setiap pagi Khuzaimah bersama pekerja lain berangkat ke kantor melintasi jalan nasional lintas timur. Suatu pagi pada 2000 mobilnya diberhentikan oleh sekelompok orang bersenjata. Kala itu razia mendadak sering terjadi baik oleh aparat keamanan maupun kombatan Gerakan Aceh Merdeka.
Tiba-tiba pistol menyalak dan kepala Khuzaimah berdarah. Peluru itu menerjang bagian atas kepalanya. ”Sangat bersyukur Allah masih memberikan saya umur,” kata Khuzaimah saat ditemui di Banda Aceh, Senin (13/11/2023), di sela-sela pelatihan kepemimpinan perempuan.
Peristiwa itu menyisakan trauma pada diri Khuzaimah. Setiap mendengar suara tembakan menghadirkan ketakutan yang mendalam. Namun, dia harus melawan ketakutan agar tetap bisa bekerja. Di sisi lain, hidup dalam pusaran konflik membuat mentalnya kian kuat.
Bersamaan dengan perdamaian Aceh, produksi migas ExxonMobil juga menyusut. Pengurangan karyawan dilakukan bertahap. Pada 2006, Khuzaimah mengalami pemutusan hubungan kerja.
Pekerja sosial
Pemutusan hubungan kerja di perusahaan besar itu justru membuka jalan baginya untuk bergelut di dunia sosial. Dia memulai menjadi staf beberapa lembaga internasional dan nasional untuk tenaga pendamping pemberdayaan masyarakat.
Jika dulu sibuk dengan urusan administrasi, kini dia lebih dekat dengan orang-orang. Mendengarkan cerita, menyaksikan, dan menjadi bagian dari perjuangan hidup orang lain. Dia bahagia karena merasa hidupnya kini lebih bermakna.
Salah satu program yang diampu adalah pendampingan anak-anak dengan human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), serta kampanye kesehatan reproduksi bagi remaja.
Baca juga: Desi Pratifa dan Febriana Ramadhani, Dua Sukarelawan Teman Tuli
Kenyataan yang dilihat sungguh menyesakkan dada. Anak-anak dengan HIV dan AIDS adalah korban dari lemahnya kasih sayang keluarga. Sebagian kelompok dampingan adalah lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT). Warga mengucilkan keberadaan mereka, tetapi bagi Khuzaimah mereka juga punya hak untuk dipenuhi oleh negara. ”Mereka kami dampingi secara medis dan psikologis,” ujar Khuzaimah.
Perjalanan Khuzaimah menjadi pendamping sosial semakin jauh usai ditawar menjadi paralegal di Dinas Sosial Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2009. Tugasnya mendampingi anak dan perempuan korban kekerasan.
Meski status kontrak dengan upah Rp 650.000 per bulan, Khuzaimah menerima tawaran itu. Upah dibayar tiga bulan sekali. Dia tidak lagi melihat materi, justru dia menganggap ini adalah jalan Tuhan untuknya agar bisa berbuat baik lebih banyak kepada orang lain.
”Saya menganggap ini ibadah. Barangkali melalui jalan ini saya masuk surga,” kata Khuzaimah.
Tahun 2017, Khuzaimah bergabung ke Flower Aceh, sebuah lembaga lokal yang fokus pada isu perempuan dan anak. Hingga kini Khuzaimah bekerja di dua lembaga itu.
Khuzaimah bertugas mendampingi anak dan perempuan korban kekerasan di Aceh Utara. Meski usianya tidak lagi muda, dia selalu turun menemui korban. Secara rutin, dia membuat pertemuan dengan perempuan di desa-desa mengampanyekan hak dan perlindungan perempuan.
Di Kabupaten Aceh Utara terdapat 27 kecamatan, sebagian desa terletak di pedalaman. Tidak jarang hingga larut malam Khuzaimah masih di lapangan atau di rumah korban. Air mata para korban membuatnya terpukul sekaligus memberikan kekuatan untuk bertahan menjadi pendamping.
”Panggilan jiwa dan ketulusan hati membuat kami bertahan,” kata Khuzaimah.
Sebagai seorang ibu, dia memperlakukan korban seperti anaknya. Dia mengajak korban bicara dan menawarkan pendampingan. Jawaban yang sering dia dapatkan, keluarga korban tidak mau membawa ke ranah hukum karena tidak memiliki uang. Mereka tidak sanggup membayar pengacara.
Setelah dibujuk dan diberi pemahaman bahwa pendampingan tidak berbayar, keluarga korban baru bersedia didampingi dan mengajukan tuntutan pada pelaku. Beberapa kasus dipidanakan, dan pelaku divonis bersalah.
Baca juga: Rikha Rumadas, Perjuangan Kader Kampung Cerdaskan Generasi Muda Papua Barat
Menurut Khuzaimah, perlindungan terhadap anak dan perempuan masih lemah. Di Aceh Utara hanya terdapat 10 pendamping, tanpa psikolog klinis dan ahli. Anggaran untuk aktivitas perlindungan dan pemberdayaan minim. Bahkan, di Aceh Utara tidak ada rumah aman untuk korban kekerasan.
”Padahal, ini kebutuhan mendesak. Para korban perlu kita tempatkan di rumah aman agar dia bisa pulih dari trauma,” kata Khuzaimah.
Para korban kekerasan seksual mayoritas dari keluarga miskin. Orangtua menghabiskan banyak waktu untuk mencari nafkah sehingga pengawasan terhadap anak melemah.
Semakin ironis, pelaku kekerasan seksual pada anak umumnya orang dekat dengan korban, seperti tetangga, tenaga pendidik, ataupun saudara.
Disisi lain masih ada stigma pada masyarakat yang menganggap korban kekerasan dan pelecehan seksual bukan perempuan baik-baik. Menurut Khuzaimah, karena ini pula banyak kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan tidak terungkap. Korban memilih bungkam daripada dicap buruk oleh masyarakat.
Kini telah 14 tahun Khuzaimah menjadi pendamping korban anak dan perempuan di Aceh Utara. Di usia senja dia rela berbagi waktu mengurus suaminya yang terkena stroke dan mendampingi korban. Semua itu dilakukan karena menganggap ibadah.
Khuzaimah AMd
Lahir: Aceh Timur, 5 Februari 1962
Pendidikan terakhir: D-3 Program Diploma Pendidikan Kesekretariatan Unsyiah Banda Aceh
Pekerjaan: Paralegal Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Aceh Utara dan staf Flower Aceh