Fahmi Lolahi dan Fahri Lolahi, Memupuk Kesadaran dari Pulau Tulang
Reklamasi Pantai Tobelo yang merugikan warga mendorong Fahmi Lolahi dan Fahri Lolahi kembali ke kampung halaman. Dengan cara kreatif, keduanya mengubah pulau angker menjadi tempat wisata ekologis untuk memupuk kesadaran.
Plang besar bertuliskan ”Tobelo City” tertancap pada tepian sebuah pulau kecil di tengah perairan. Plang oranye itu kontras dengan birunya laut serta pasir putih dan pepohonan yang menutup sebagian besar daratan pulau. Nuansa warna-warni tersebut menyambut siapa pun yang berkunjung ke Pulau Tulang, Kecamatan Tobelo, Kota Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara.
Semarak warna-warni kian terasa saat memasuki gerbang utama pulau yang luasnya tak lebih dari 2 hektar itu. Rumah dua lantai dengan dinding yang terbuat dari susunan botol beraneka warna berdiri tegak di tengah-tengahnya.
Di depan pintu rumah, ada pesan tertulis di atas papan hitam, ”Tabea!!! Om, cii, nyong deng nona di sini su ada tampa sampa jadi buang di dia pe tampa.” Perhatian, om, tante, kakak, adik, di sini sudah ada tempat sampah, jadi buanglah sampah di tempatnya, begitu kira-kira artinya dalam bahasa Indonesia.
Di dalam rumah yang seluruh dindingnya dibuat dari susunan botol bekas tersebut, tak banyak ruangan tersedia. Hanya ada ruang tamu besar tempat meletakkan meja panjang dan beberapa kursi kayu. Ada pula sebuah dapur yang dilengkapi peralatan membuat kopi sederhana. Di lantai dua terdapat perpustakaan kecil yang bersebelahan dengan sebuah kamar tidur.
”Di sini jadi tempat anak-anak berkumpul. Kita sharing-sharing, kadang bikin kegiatan bersama,” kata Fahri Lolahi saat ditemui di Pulau Tulang, Halmahera Utara, awal September.
Selain mereka yang ingin berdiskusi serius, selama dua tahun terakhir rumah botol di Pulau Tulang juga menjadi tujuan banyak orang untuk berwisata, mulai dari menikmati matahari terbit hingga menyaksikan matahari terbenam.
Baca juga: Jelajah Laut Papua Maluku
Tidak sedikit pula yang sekadar ingin berswafoto dengan latar belakang rumah dan pulau yang bisa dijangkau dengan ketinting dari pelabuhan kapal cepat Dufa-Dufa, Tobelo, dalam lima menit perjalanan itu.
”Kami memang ingin membuat Pulau Tulang ini hidup, sebagai benteng pelindung dari kerusakan, karena masyarakat pesisir jadi pihak yang paling rentan terkena dampak akibat pembangunan di kota,” tutur Fahri.
Rumah dari botol bekas yang ada di Pulau Tulang dibangun oleh Fahri (28) dan Fahmi Lolahi (30) secara bertahap sejak 2020. Kakak beradik yang baru saja lulus dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Ternate, itu gelisah melihat masalah yang terjadi di kampung halamannya.
Geliat reklamasi kawasan Pantai Tobelo yang telah dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir kian gencar. Setelah reklamasi tahap pertama tuntas dan menghasilkan Pelabuhan Tobelo yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2016, reklamasi tahap kedua mulai direncanakan.
Baca juga: Torianus Kalami, Dedikasi bagi Budaya Moi
Padahal, reklamasi tahap pertama tak sekadar menghasilkan pelabuhan kargo yang diklaim membantu aktivitas perekonomian di Indonesia timur. Warga setempat yang hidup di wilayah reklamasi juga merasakan akibat yang tak pernah diduga sebelumnya.
Mulai dari banjir rob yang semakin tinggi, penghasilan nelayan merosot karena biaya operasional menuju pelabuhan bertambah, hingga banyaknya anak yang putus sekolah karena orangtuanya yang berprofesi sebagai nelayan banyak yang sudah tak bisa lagi melaut.
Tak pernah diajak bicara soal reklamasi dan dampaknya, warga hanya mendapatkan kabar bahwa reklamasi tahap kedua akan segera dimulai pada 2020, tetapi terkendala pandemi Covid-19. Pulau Tulang pun masuk dalam perencanaan.
Padahal, Pulau Tulang secara administrasi kini dimiliki oleh ayah Fahmi dan Fahri setelah diwariskan oleh kakek mereka. Lebih dari itu, Pulau Tulang merupakan tempat bersejarah bagi warga Tobelo.
Baca juga: Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat
Di masa lalu, Pulau Tulang dikenal sebagai tempat penduduk menyelesaikan masalah dengan cara berduel sampai salah satu tak lagi bernyawa. Di masa kolonial, pulau itu menjadi tempat eksekusi mati warga setempat yang melawan pemerintah kolonial. Pada dekade 1980-an warga kerap menemukan tulang belulang manusia yang jadi asal-usul nama pulau tersebut.
Saat orang-orang melihat Pulau Tulang sebagai tempat yang seram dan angker, kakek Fahri dan Fahmi justru rajin mengumpulkan tulang belulang yang ditemukan untuk dimakamkan secara adat.
Dengan ritual khusus, ia memohon restu semesta agar orang-orang yang tewas di sana tenang di alam baka. Harapannya, Pulau Tulang juga menjadi tempat yang tak lagi ditakuti warga setempat. Apalagi, pulau kecil di tepi Samudra Pasifik itu merupakan salah satu tempat terbaik untuk menikmati matahari terbit dan terbenam.
Spirit itu yang diteruskan Fahri dan Fahmi saat rencana pembangunan hampir menggempur Pulau Tulang. Lebih dari aspek historis, areal perairan di sekitar Pulau Tulang juga merupakan tempat hidup hiu berjalan atau walking shark, satwa endemik Maluku Utara, dan berbagai jenis terumbu karang.
Baca juga: Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Menggerakkan masyarakat
Di tengah ancaman ekologis, kakak beradik yang semasa kuliah aktif di organisasi nonpemerintah bidang lingkungan itu menjadikan Pulau Tulang sebagai simbol perlawanan.
Dari pulau itu, Fahri dan Fahmi ingin membagikan keresahan terhadap kerusakan lingkungan kepada teman-teman sepermainan yang masih tinggal di Tobelo. Sebagai bagian dari generasi milenial, mereka pun menganggap bahwa metode kreatif dan pendekatan persuasif harus digunakan untuk membalut gerakan tersebut.
”Kita bungkus dia dengan isu-isu yang kreatif supaya anak-anak juga bisa gabung. Kita teriakkan masih mau lihat sunset atau sunrise tidak di Pulau Tulang? Kalau mau, ayo tolak reklamasi sama-sama,” ungkap Fahri.
Ajakan yang disampaikan dalam sejumlah pertemuan baik secara individu maupun komunitas rupanya disambut baik. Ide tersebut lebih mudah diterima karena Fahri dan Fahmi telah membangun komunitas rumah baca di Tobelo selama beberapa tahun terakhir.
Bersama para pemuda setempat, akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan bangunan dari sampah plastik, ancaman lain terhadap laut dan warga sekitarnya yang terlupakan di tengah gencarnya pembangunan. ”Kami mengumpulkan botol plastik dari kampung ke kampung, lalu menyeberangkannya secara bertahap ke Pulau Tulang,” kata Fahmi.
Tak hanya para pemuda, semangat mengumpulkan botol plastik bekas juga menular ke berbagai kalangan warga. Ada pula warga paruh baya yang tiba-tiba datang ke Pulau Tulang untuk menyerahkan sejumlah botol plastik yang ia kumpulkan secara mandiri. Bahkan, sejumlah pelajar SD dan SMP sempat membawa berkarung-karung botol sambil berenang. Hasilnya, 12.000 botol plastik terkumpul untuk digunakan mendirikan bangunan dua lantai itu.
Ketika bangunan dari botol plastik itu mulai berdiri pada 2021, Fahri dan Fahmi perlahan menjadikannya tempat wisata ekologis. Bukan untuk mencari keuntungan, melainkan memulai untuk membagikan kesadaran akan ancaman lingkungan pada warga dalam lingkup yang lebih luas.
”Kami tidak memungut biaya bagi orang yang mau ke sini. Awal-awal buka memang kami buat retribusi tiket, jadi bayar pakai botol bekas juga,” ungkap Fahmi.
Baca juga: Syamsul Sia, Penjaga Laut Kawa
Meski tak memungut biaya, keberadaan Pulau Tulang versi baru itu justru memberikan penghasilan bagi warga. Kini, ada lebih dari 10 ketinting yang melayani penyeberangan dari Dufa-Dufa menuju ke Pulau Tulang. Padahal, sebelumnya perahu-perahu itu hanya menyeberangkan orang ke Pulau Komu, salah satu destinasi wisata di Tobelo.
Sejumlah pedagang juga biasa menitipkan produk kepada Fahri dan Fahmi untuk dijual di Pulau Tulang. ”Kami berikan semua hasilnya langsung kepada pedagang. Di luar itu, kami juga berjualan pisang goreng dan kopi, penghasilannya bisa Rp 1 juta-Rp 2 juta tiap minggu,” ungkap Fahmi.
Semangat perdamaian
Nilai sejarah, keindahan, serta kreativitas yang terbangun di Pulau Tulang menjadi daya tarik tersendiri bagi warga, bukan hanya di Tobelo, melainkan juga Maluku Utara, bahkan dari luar negeri. Orang-orang dari berbagai kalangan pun mulai berdatangan, mulai dari berwisata, membaca buku, hingga berdiskusi tentang situasi kekinian. Kepada mereka, terutama yang berasal dari Maluku Utara, Fahri dan Fahmi punya diskusi khusus.
Kisah pembangunan rumah botol plastik ini jadi representasi bersatunya warga dari berbagai kalangan. Tanpa memandang usia, latar belakang, ras, agama, mereka bahu-membahu melawan kerusakan lingkungan dari salah satu sisi terluar Pulau Halmahera.
”Kami ingin kembali merajut silaturahmi dari situ, karena di kalangan masyarakat seperti sudah ada frame di kepala kalau Ambon (Maluku) goyang, di sini harus goyang juga,” ungkap Fahri.
Hal dimaksud terkait dengan konflik antarwarga di Maluku dan Maluku Utara. Residu konflik Maluku setelah tumbangnya rezim Orde Baru masih bersisa di akar rumput. Bahkan, residu itu cenderung dimanfaatkan sejumlah pihak untuk kepentingan tertentu. Bukan tidak mungkin konflik bisa bereskalasi jika tak ada semangat perdamaian yang terus-menerus digaungkan.
Selain melalui diskusi, Fahri dan Fahmi juga kerap mengajak anak-anak setempat berkegiatan. Mereka yang berasal dari berbagai latar belakang diajak untuk mengemukakan hal-hal yang disukai, lalu dilakukan bersama di Pulau Tulang.
”Misalnya, anak-anak SD dan SMP kami ajak bermain bola, lalu kalau air surut, baru diajak mengangkut sampah bersama. Kalau untuk anak-anak SMA, baru dilanjutkan dengan diskusi tentang pertemanan, kekeluargaan, dan isu perdamaian,” ujar Fahri.
Baca juga: Menggugah Selera di Timur Nusantara
Namun, upaya Fahri dan Fahmi untuk menjaga lingkungan dari Pulau Tulang tidak selamanya mulus. Sejak awal, mereka sudah harus berhadapan dengan sejumlah pertanyaan kedua orangtua tentang masa depan. Orangtua mereka khawatir, Fahri yang baru saja lulus dari perguruan tinggi jurusan ilmu politik dan Fahmi dari jurusan sosiologi tak bisa mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup lantaran fokus pada aktivisme.
”Wah, itu kami berunding di meja makan setiap hari, he-he-he. Butuh waktu sebulan untuk meyakinkan ayah dan ibu,” ujar Fahmi.
Diskusi panjang di meja makan serta pembuktian gerakan yang dibangun pun membuat hati orangtua mereka luluh. Sang ibu yang semula ngotot mendorong anak-anak itu meninggalkan pulau dan mencari pekerjaan formal justru menjadi salah satu penyumbang materi terbesar dalam pembangunan di Pulau Tulang.
Dukungan itu tak berhenti hingga akhir hayatnya pada 2021, setelah rumah botol plastik berdiri. Kini, semangat menjaga Pulau Tulang pun kian kuat di sanubari Fahri dan Fahmi.
”Pesan terakhir ibu cuma satu, yang penting jangan pulang bawa masalah. Kalau itu benar, jalan saja,” kata Fahmi.
Baca juga: Ikan Sekarang ”Su” Lari Jauh Tergusur Tambang
Fahmi Lolahi
Lahir: Tobelo, Maluku Utara, 24 Mei 1993
Pendidikan terakhir: Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
Fahri Lolahi
Lahir: Tobelo, Maluku Utara, 25 Oktober 1995
Pendidikan terakhir: Universitas Muhammadiyah Maluku Utara