Syamsul Sia, Penjaga Laut Kawa
Bujukan uang hingga ancaman tidak menyurutkan nyali Syamsul Sia menjaga laut di Desa Kawa, dari penangkapan berlebih.
Iming-iming uang hingga ancaman aparat tidak menyurutkan nyali Syamsul Sia (42) dalam menjaga laut di Desa Kawa, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dari penangkapan berlebih. Semuanya ia lakukan demi kesejahteraan nelayan dan keberlanjutan ekosistem laut.
Syamsul baru saja sampai di rumahnya ketika Sahari Waly (43), tetangganya, bertamu, Senin (4/9/2023). Sahari ingin meminjam mata pancing milik Ketua Koperasi Nelayan Produsen Nusakamu Bersama itu. Syamsul langsung mengeluarkan kotak berisi belasan kail beraneka ukuran.
Syamsul lalu menyarankan agar Sahari memakai sejumlah mata pancing pilihannya. Kail itu diharapkan menambah hasil tangkapannya. ”Sekarang, tinggal berdoa saja dapat ikan tuna. Paling banyak dapat 3 ekor. Kadang-kadang juga pulang (dengan tangan) kosong,” ujar Sahari.
Baca juga: Perjumpaan yang Mendebarkan dengan Nelayan Asing di Tengah Laut Seram
Minimnya tangkapan nelayan, kata Sahari, berlangsung sejak kapal raksasa dari luar Ambon yang berukuran 90 gros ton (GT) marak hilir mudik di perairan Seram. Perahu nelayan setempat yang panjangnya hanya 7 meter dengan lebar 1,2 m atau berukuran 0,5 GT pun terlihat bak semut.
Nelayan menduga kapal itu menjaring di area kurang dari 12 mil (sekitar 20 km). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap melarang kapal berukuran di atas 30 GT beroperasi di laut lepas di bawah 12 mil.
Kondisi ini jelas merugikan nelayan setempat. Mereka sudah berusaha menambah waktu melaut dari sebelumnya sampai siang, kini harus menginap. Kebutuhan akan bensin juga melonjak dari 30 liter menjadi 60 liter. Namun, mata pancing nelayan tetap kalah dengan jaring pukat kapal besar itu.
”Hasil tangkapan kapal jaring besar selama sehari itu bisa untuk nelayan kecil selama satu sampai dua tahun,” ucap Syamsul mengibaratkan eksploitasi kapal besar dari dalam dan luar negeri itu di perairan Kawa. Semalam, kapal raksasa itu bisa menjaring hingga 15 ton ikan.
Sebagai ketua nelayan Kawa kala itu, Syamsul tak tinggal diam. Ia melaporkan praktik penangkapan berlebihan yang juga diduga ilegal itu ke media hingga aparat. Apalagi, ia juga menemukan pelanggaran nelayan asing, rumpon ilegal, serta bongkar muat ikan di tengah laut.
Ketika berpatroli bersama polisi, misalnya, ia menemukan warga asing yang mengaku dari Bitung, Sulawesi Utara. ”Saya bilang, komandan (polisi) suruh dia nyanyi (lagu) ’Indonesia Raya’. Ternyata, dia enggak tahu karena orang Filipina. Dia ditangkap dan dideportasi,” ujarnya.
Keberadaan nelayan asing di Laut Seram, katanya, bukanlah peristiwa asing alias sudah biasa. Bahkan, warga setempat mengenal sebutan sapi, singkatan dari Sangir (wilayah di Sulut) dan Filipina. Mereka bisa berbahasa Indonesia, bahkan menggunakan marga suku tertentu.
Dari laporan itu, tim gabungan dari Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut IX Ambon dan Satuan Tugas 115 Pemberantasan Penangkapan Ilegal turun tangan. Selama tiga hari operasi, ditemukan 64 rumpon yang semuanya diduga tak berizin dan nelayan asing (Kompas, 23/2/2017).
Diancam
Namun, upaya Syamsul memberantas pelanggaran di laut tidak selalu mulus. Ketika ikut patroli dengan aparat pada suatu waktu, ia menemukan pelaku penangkapan ikan ilegal. ”Dia ditangkap. Tapi, petugas ditelepon sama orang pusat, akhirnya (kapalnya) dilepas,” ungkapnya.
Enggan menyerah, ia dan sejumlah nelayan berpatroli tanpa aparat. Mereka pernah menghentikan kapal berukuran 90 GT. Padahal, area itu harusnya maksimal kapal 30 GT. ”Saya tanya, Master, punya izin wilayah penangkapan berapa? Dia bilang, nanti kasih ikan,” ucapnya.
Dengan tegas, Syamsul menolak. Padahal, kapal itu memiliki puluhan ton ikan tangkapan. Ia bahkan lebih galak ketika mengetahui di kapal itu terdapat seseorang yang mengenakan pakaian aparat. ”Saya bilang, bapak ini punya wilayah kerja bukan di laut. Bapak turun!” katanya.
Saat itu, ia memutus tali kapal yang sedang menjaring di daerah tidak sesuai ketentuan. Tidak lama setelah peristiwa itu, Syamsul beberapa kali mendapat ancaman dari orang yang mengaku aparat. Ia dituding merusak peralatan perusahaan. Padahal, katanya, kapal itu jelas melanggar.
”Orang itu mengancam saya dipenjara. Saya bilang, Bapak pu (punya) ancaman tidak berlaku. Bapak ini bela perusahaan atau nelayan? Dia langsung tutup telepon,” ungkap bapak empat anak ini. Syamsul mengakui, istrinya sempat khawatir dengan keselamatannya. Namun, ia tak gentar.
Tidak hanya ancaman, pria berbadan kekar ini juga diiming-imingi uang dari sebuah perusahaan yang memintanya memasang rumpon. ”Belum bicara jumlah (uang), kami tolak. Kami ini nelayan kecil, tapi berpikir jangka panjang. Itu sama saja membantu kejahatan,” ujarnya.
Baginya, mendukung kapal besar beroperasi di wilayah yang tak seharusnya sama saja mengancam keberlanjutan ekosistem laut. Apalagi, nelayan telah merasakan minimnya hasil tangkapan. ”Kalau begini terus, tiga atau lima tahun lagi tuna pasti sangat kurang,” ucapnya.
Meski harus berutang di bank, katanya, nelayan tidak ingin lautnya tereksploitasi. Puluhan tahun, mereka memilih pancing yang lebih ramah lingkungan. Mereka pantang memakai pukat, apalagi bom ikan. Dari hasil melaut, nelayan bisa membeli sepeda motor hingga membangun rumah.
Tidak hanya menjaga laut, Syamsul juga aktif membantu sekitar 200 nelayan setempat. Ketika ada nelayan yang dilaporkan hilang, misalnya, ia mengajak para juragan untuk patungan mencari nelayan tersebut. ”Dulu ada yang hilang sampai ke Bitung. Alhamdulillah, selamat,” ucapnya.
Lewat koperasi yang beranggotakan 30 orang, Syamsul juga membantu nelayan mendapatkan bensin hingga memperbaiki mesin perahu. Ia pun mendorong warga mengurus kartu nelayan dan asuransi. Pihaknya masih berupaya mencari pihak untuk mendukung permodalan nelayan.
Keterlibatan Syamsul dalam lingkungannya bukan kemarin sore. Awal tahun 2000, ia termasuk satu dari dua orang yang mengembangkan usaha perikanan di desanya. Sebelumnya, sebagian besar warga adalah petani cokelat. Ternyata, hasil laut tidak kalah dengan di darat.
Lebih dua dekade menjadi nelayan, ia mahir membaca bintang hingga arus untuk menerka lokasi yang banyak ikan. ”Mahasiswa sampai dosen dari Universitas Pattimura (Ambon) sampai IPB ke sini nanya soal perikanan,” ucap Syamsul yang lulusan sekolah menengah pertama.
Ia berharap potensi Kawa bisa semakin dikenal oleh publik dan nelayan bisa lebih sejahtera. Itu sebabnya, iming-iming uang hingga ancaman tidak menyurutkannya menjaga laut Kawa.
Pernah ia berpikir untuk berhenti mengurus nelayan dan fokus mengembangkan usahanya sendiri. Apalagi, tawaran kerja sama membuka toko material, pengumpul kepiting, hingga menjadi kader partai juga datang. Namun, Syamsul belum menerimanya.
”Beta mau tetap perjuangkan nelayan. Sampai meja ”terbang” pun saya lakukan untuk nelayan,” ucapnya dengan mata melotot. Ia bersungguh-sungguh.
Baca juga: Mutu Ikan asal Maluku di Pasar Global
Syamsul Sia
Lahir: 12 Desember 1980
Pendidikan terakhir: Madrasah Tsanawiyah Swasta Lembaga Madrasah Diniyah Kawa
Profesi: Ketua Koperasi Nelayan Produsen Nusakamu Bersama