Stefan Rafael, Penggerak ”Zero” Sampah Plastik di Perairan Komodo
Stefan Rafael mengampanyekan gerakan zero sampah di Labuan Bajo dan sekitarnya. Ia dijuluki "Plastic Man".
Stefan Rafael dijuluki ”Plastic Man”. Julukan itu disematkan lantaran kegigihannya membersihkan sampah yang mengotori perairan Labuan Bajo, Manggarai Barat. Bersama sejumlah kelompok masyarakat, Rafael membersihkan puluhan ton sampah setiap pekan.
Rafael mulai mengumpulkan sampah di Labuan Bajo sejak tahun 2000 saat bekerja sebagai pengantar wisatawan ke berbagai destinasi wisata di daratan Flores.
”Kami ke Danau Kelimutu, Kampung Adat Bena, Taman Wisata Laut 17 Pulau di Riung, Pulau Komodo dan sekitarnya. Di lokasi-lokasi itu, wisatawan selalu mengeluh mengenai banyaknya sampah. Mereka bicara mengenai sampah yang berserakan di mana-mana, di setiap titik destinasi,” kenang Rafael, Selasa (10/10/2023), di Labuan Bajo yang masuk wilayah Kecamatan Komodo.
Di perairan Pulau Komodo, cerita Rafael, sampah mengambang di mana-mana. Sebagian tenggelam di dasar laut. Saking banyaknya sampah di sana, ia menggambarkan perairan Pulau Komodo sebagai tong sampah raksasa. Keberadaannya sangat mengganggu. Pernah suatu kali, sampah plastik terlilit di baling-baling mesin perahu.
Di kawasan hutan mangrove, sampah juga menumpuk. Hampir semua batang dan akar mangrove terbelit plastik yang perlu waktu sangat lama untuk terurai.
Pada tahun itu, sampah juga berserakan di sejumlah titik. Wajah pusat pemerintahan Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, itu tampak kotor.
Didorong rasa malu dan prihatin, Rafael terpanggil membersihkan sampah di lokasi wisata. Ia memulainya di Labuan Bajo. Pagi-pagi ia pergi ke sekitar dermaga sampai Kampung Ujung, lantas ke Pantai Pede di sebelah timur untuk mengumpulkan sampah. Hari berganti, ternyata tumpukan sampah terutama di tepi pantai tidak juga berkurang. Selalu muncul sampah baru yang dibuang warga ataupun yang hanyut terbawa arus ke pesisir Labuan Baju.
Baca juga: Perjuangan Labuan Bajo Melawan Sampah
Sang ”Plastic Man” tidak mau menyerah. Ia terus mengumpulkan sampah yang tiada habisnya. Belakangan, kegigihannya mendapat dukungan juga dari teman-temannya sesama pemandu wisata. Mereka turut memungut sampah, tidak hanya kantong plastik, tetapi juga jenis sampah yang bisa ditemukan. Mereka tidak hanya membersihkan sampah yang ada di permukaan, tetapi juga yang berserakan di dasar laut. Untuk itu, mereka harus menyelam.
”Kerja gotong royong itu lebih efektif dan berdampak besar bagi kebersihan lingkungan. Tetapi, kerja kelompok seperti itu butuh biaya, terutama makan minum dan kebutuhan lain. Perlu anggaran yang tidak sedikit. Saya merasa kesulitan soal ini,” kata Rafael, yang mendirikan Komodo Plasticman Institut bersama sejumlah pemuda.
Rafael makin gencar mengampanyekan gerakan zero sampah di Labuan Bajo dan sekitarnya. Tak hanya terlibat memungut sampah, ia juga mengajar bahasa Inggris dan merancang kurikulum kemaritiman untuk muatan lokal di sekolah. Ia membagi waktu sedemikian rupa antara memungut sampah, mengajar, dan mengantar wisatawan ke sejumlah titik destinasi.
Di akar rumput, ia mendorong agar setiap kelompok masyarakat membersihkan sampah di tempat masing-masing. Di mana ada kelompok masyarakat bermukim, mereka itulah yang bertanggung jawab membersihkan sampah.
Baca juga: Tanamkan Kepedulian Kelola Sampah di Sekolah
Pemahaman seperti itu mulai terbentuk pada 2012. Masyarakat di Labuan Bajo, termasuk pengusaha, aparatur sipil negara, guru, pelajar, hingga nelayan diajak memungut sampah. Jika berhasil membersihkan lingkungan, mereka mendapat insentif yang dananya berasal dari program CSR perusahaan besar. Keterlibatan perusahaan tersebut juga merupakan bentuk dukungan pada destinasi wisata tujuh keajaiban dunia yang disematkan pada Komodo pada 2013. Dukungan itu makin kuat ketika Labuan Bajo ditetapkan sebagai destinasi superprioritas pada 2019. Sebagai destinasi superprioritas, Labuan Bajo harus bersih, bahkan mesti nol sampah.
Dengan dukungan itu, ada sekitar 30 kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan mengumpulkan sampah. Jumlah anggota tiap kelompok bervariasi sesuai anggota masyarakat yang bermukim di satu lokasi.
Dari sini, kegiatan membersihkan sampah di Labuan Bajo yang diinisiasi Rafael terus berkembang dan menular ke banyak warga, organisasi, dan institusi, mulai dari kelompok desa sadar wisata, pramuka, Dharma Wanita, pengusaha wisata, hingga pemerintah daerah. Kegiatan ini belakangan juga menjalar ke sejumlah wilayah di daratan Flores dan pulau-pulau lain. Masing-masing kelompok mencari dukungan atau sponsor sendiri.
”Khusus kelompok saya, namanya plastik sungai dan lautan. Jadi, kami fokus pada sampah plastik poliester. Setiap pekan kami kumpulkan sampai 67 ton plastik yang ada di pantai dan pesisir," ujar Rafael, yang mendapat kesempatan belajar ke manajemen persampahan selama enam bulan di Amerika Serikat.
Sampah plastik yang dikumpulkan dikemas rapi, kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah di Warloka, Manggarai Barat, oleh pemda. Ada bantuan mobil dari pemda untuk mengangkut sampah tersebut. Rafael mengaku menggunakan metode penanganan dengan 3R, yakni reduce, reuse, dan recycle.
”Saya pilih reuse karena reduce dan recycle agak sulit dijalankan di Labuan Bajo,” katanya.
Sebenarnya juga bukan reuse, tetapi dibuang tuntas ke TPA di Warloka. TPA itu menggunakan sistem pemanasan sampah, trash warming dengan filter air dan residunya berupa debu. Jadi, semua jenis sampah plastik poliester termasuk botol mineral, kantong plastik, gabus, sandal, dan seterusnya dimusnahkan, tidak digunakan lagi.
Menjadi soal saat ini adalah puntung rokok yang mengandung plastik mikro. Sampah plastik jenis ini belum dilirik komunitas sampah tertentu. Sebagian orang menganggap remeh. Tetapi, puntung rokok pun sulit terurai. Lama kelamaan membahayakan lingkungan, termasuk biota laut. Kelompok yang dipimpin Rafael kesulitan memungut sampah jenis itu.
Rafael menyadari, kesadaran soal menjaga lingkungan agar bebas sampah harus dibangun dari tingkat individu. ”Sebenarnya dimulai dari diri sendiri, lalu merambat ke keluarga dan lingkungan sekitar,” ujar ayah empat anak ini.
Stefan Rafael
Lahir: Ruteng, 25 Desember 1968
Istri: Stanisa Makisa
Pendidikan: SMA Ruteng