Pabrik es itu hanyalah satu dari sekian ”campur tangan” Jois Harsa dalam membangun desanya. Sejak lulus dari Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, tahun 2018, ia sukarela membantu inseminasi buatan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·6 menit baca
Jois Harsa (27) pernah menolak tawaran bekerja di perusahaan besar demi membangun desanya di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Magister peternakan ini membantu inseminasi domba, memimpin badan usaha milik desa, mengelola pabrik es, hingga mendidik warga yang kesulitan sekolah.
Sambil tersenyum, Jois menunjukkan mesin pabrik es di Desa Samudera Jaya, Kecamatan Caringin, 100 kilometer dari pusat pemerintahan Garut, Kamis (25/5/2023). Pabrik es bantuan PT PLN Unit Induk Distribusi Jabar itu menjadi bagian dari Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Motekar. “Dalam bahasa Sunda, motekar itu artinya harus bisa segalanya,” ujar Jois, Direktur Bumdes Motekar.
Selain mengoperasikan pabrik es, Bumdes juga menjual ikan hingga pupuk. Bangunan pabrik pun berimpit dengan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Samudera Sabilulungan.
Ide mendirikan pabrik es batu lahir ketika Jois mengamati kebutuhan nelayan dan pedagang ikan. Kala itu, mereka mengandalkan penjual es balok di Pameungpeuk, sekitar 40 menit dari desa. Selain jauh, warga juga terbebani ongkos transportasi.
Lewat sebuah yayasan di Bandung, pihaknya mengajukan pembangunan pabrik es ini untuk program tanggung jawab sosial PLN. Gayung bersambut, PLN menyetujuinya. “Kami pikir pabrik es ini (bantuan) yang tidak langsung habis dan bisa merata kepada masyarakat,” katanya.
Sejak Oktober 2022, pabrik es itu perlahan menjadi solusi. Ketika musim panen ikan, sekitar 60 es balok bisa terjual dalam sehari. Dengan harga Rp 25.000 per balok, potensi pendapatannya Rp 1,5 juta per hari.
Bahkan, laba bersih sekitar Rp 4 juta per bulan dari pabrik itu rencananya menjadi pendapatan asli desa. Manfaat itu belum termasuk yang dirasakan nelayan, pedagang ikan, hingga penjual minuman dingin. Pabrik es batu yang dikelola Jois turut mencairkan perekonomian warga.
Pabrik es itu hanyalah satu dari sekian “campur tangan” Jois dalam membangun desanya. Sejak lulus dari Fakultas Peternakan di Universitas Brawijaya, Malang, tahun 2018, ia misalnya sukarela membantu inseminasi buatan (IB) untuk pengembangbiakan ternak warga di desanya. “Waktu itu, domba kawin seadanya, ada yang sama anaknya. Jadinya, domba yang lahir cacat. Makanya, perlu IB,” ujarnya.
Sembari membantu peternak, ia juga mulai mencari kerja. Jois berencana menjadi pegawai negeri sipil di Nusa Tenggara Timur, salah satu sentra produksi sapi.
Namun, keluarga menahannya. Jois lalu mendaftar di sejumlah perusahaan besar yang bergerak di pakan ternak. Bahkan, salah satu perusahaan memintanya segera bekerja. Tawaran gajinya Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan. Namun, saat ia ingin berangkat, bapaknya melarangnya.
Pendidikan lanjutan
Ia pun menolak tawaran bekerja di perusahaan. Jois teringat pesan bapaknya, “Jangan bicara uang dulu. Kerja dulu di masyarakat. Nanti uang mengikuti.” ”Supaya dipercaya masyarakat, saya butuh pendidikan dan skill. Kalau enggak punya, bagaimana menerapkannya?” kata Jois.
Itu sebabnya, Jois memilih melanjutkan studi S-2 di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. Keputusan itu membuat orangtuanya pusing mencari biaya. Namun, anak kedua dari sembilan bersaudara ini tidak ingin terlalu membebani orangtuanya.
Supaya dipercaya masyarakat, saya butuh pendidikan danskill. Kalau enggak punya, bagaimana menerapkannya?
Pria berkacamata ini menempuh studinya lebih cepat, kurang dari dua tahun. Kadang, ia membantu jualan ternak saat Idul Adha untuk membayar kuliah.
Jois sudah terbiasa kerja keras. Saat kuliah di Malang, ia juga pernah menjadi penjaga warung makan dan berdagang.
Setelah meraih magister tahun 2020, ia pulang ke kampung halaman untuk membangun desa. Jois termasuk satu dari tiga warga desa yang bergelar S2.
Ruang berkarya untuknya kian besar karena sejak 2019, bapaknya, Dadang Hermawan, dipilih warga untuk menjabat kepala desa. Apalagi, desa yang baru terbentuk 2011 itu punya banyak pekerjaan rumah. Selain arsip, administrasi kependudukan juga butuh pembenahan.
“Banyak warga yang belum punya kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Ini yang pertama saya urus,” ujarnya.
Selain mendampingi sejumlah warga ke rumah sakit dan mengurus asuransi kesehatan itu, Jois juga melanjutkan bantuan IB gratis. Ia bahkan melatih sejumlah warga melakukan IB. “Sekarang, sudah ada tiga orang yang bisa mendeteksi birahi ternak dan IB,” katanya.
Jois lalu mendirikan sekaligus memimpin Bumdes Motekar. Baginya, Bumdes merupakan salah satu cara membangun desa sesuai regulasi, seperti Peraturan Pemerintah tentang Bumdes Tahun 2021. “Sampai hari ini, saya enggak mikirin gaji (berapa). Yang penting, jalan saja,” katanya.
Dari usaha es batu, misalnya, Jois bisa saja mengakumulasi modal. Ia sah-sah saja menaikkan harga es lebih dari Rp 25.000 per balok. Apalagi, di pasaran, harga es bisa mencapai Rp 50.000 per balok. Permintaan terhadap es di pesisir pantai selatan itu juga tinggi. Namun ia menyebut misi bumdes bukan sekadar mencari untung.
Kami ini kan bumdes. Jangan ambil untung saja. Yang penting, warga dapat es.
“Kami ini kan Bumdes. Jangan ambil untung saja. Yang penting, warga dapat es,” ujar Jois yang tinggal di pabrik sekaligus kantor Bumdes.
Ia tidak hanya tidur di bangunan yang belum sepenuhnya tuntas itu, tetapi juga meninggalkan sejenak istri yang baru ia nikahi dua bulan lalu.
Jois mengaku sempat mempertanyakan pilihannya berkarya di desa. Padahal, ia punya modal S-2 hingga keterampilan untuk kerja di kota seperti teman-temannya. “Saya pernah minder juga tinggal di desa. Tetapi enggak apa-apa. Kalau bukan kita bangun desa, siapa lagi?” ungkapnya.
Ia semakin merasa bermanfaat sejak mendirikan PKBM Samudera Sabilulungan tahun 2021. Tidak mudah menjalankan PKBM. Sebagai kepala sekolah, ia harus keliling desa hingga luar desa demi mencari warga yang ingin mengejar paket sekolah menengah pertama dan atas.
“Bahkan, kami mengantar jemput siswa di desa. Sampai saat ini sudah ada 200 siswa. Ada yang nelayan dan petani,” ujarnya.
Menurut dia, PKBM itu menyiapkan siswa yang ingin ke kota. Tidak jarang, penyedia lapangan kerja di kota mensyaratkan selembar ijazah sekolah. “Namun, kami tidak sekadar soal itu. Kami memberikan skill untuk mereka di PKBM,” katanya.
Ia pun menjadikan bumdes dan pabrik es sebagai laboratorium bagi siswa. Mereka bisa belajar tentang administrasi dan tata kelola keuangan desa, membuat es batu, serta membuka usaha es.
Berbagai karya Jois itu tidak bisa dipisahkan dari peran orangtua, terutama ayahnya, Dadang Hermawan. Dadang mengatakan, anaknya pekerja keras tetapi sabar. Seperti kepanjangan dari nama Jois Harsa, yakni “jadi orang Islam harus sabar”.
Dadang pun mendukung impian anaknya untuk terus melanjutkan pendidikan tinggi. Sebab, ia dulunya gagal menjadi pegawai negeri karena ijazahnya hanya SMP. Ia tidak ingin kegagalannya berulang ke anaknya. “Makanya saya sampai jual rumah supaya anak bisa kuliah,” katanya.
Kini, Dadang bersyukur. Tidak hanya Jois bergelar S2, tetapi juga karena anaknya turut membangun desa. Bahkan, hasil dari bumdes yang dipimpin Jois nanti untuk membangun jalan. Mendengar hal itu, Jois tersenyum dan bilang, “Saya tetap di desa, banyak tanggung jawab.”
Jois Harsa
Lahir: Garut, 5 Desember 1995
Pendidikan:
- D-3 Teknologi dan Manajamen Ternak IPB University