Aceng Supendi, Anak Sungai di Panggung Arung Jeram Dunia
Aceng Supendi mempertaruhkan hidupnya demi mengangkat potensi olahraga arung jeram putri. Hasilnya tidak sia-sia. Dalam beberapa tahun terakhir, tim putri Indonesia kerap menduduki podium tertinggi ajang kelas dunia.
Aceng Supendi (47) harus beradu argumen dengan warga, berutang, dan menggadaikan sepeda motornya demi mencetak atlet arung jeram putri. Berkat kerja kerasnya, pelatih Junior Rafting Team ini mengantarkan atlet asal Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ke panggung dunia.
Senin (21/5/2023) siang, sejumlah remaja putri yang tergabung dalam Junior Rafting Tim (JRT) berlatih mengarungi Sungai Citarik, Kecamatan Cikedang, Sukabumi. Mengenakan perahu karet, pelampung, helm, serta dayung mereka bergerak seirama menghindari bebatuan di sungai.
Dari pinggir, Aceng mengamati anak asuhnya yang tengah menyiapkan diri untuk babak kualifikasi Pekan Olahraga Nasional 2023. Ia lebih banyak terdiam. Deru aliran sungai lebih ribut dibandingkan suaranya. ”Didikan di sini memang sedikit bicara, banyak bekerja,” ucapnya.
Baca juga: Cycling de Jabar 2023, Jembatan Rindu Ajang Bergengsi dan Tuntaskan Ketimpangan Antarkawasan
Kalimat itu bukan slogan seperti dalam spanduk atau baliho calon legislatif di sisi jalan. Bersama Aceng, tim putri junior itu mencetak prestasi.
Pertengahan 2022, timnya membawa Indonesia meraih medali emas dalam World Rafting Championship (WRC) di Bosnia-Herzegovina. Sebelumnya, tim putri Indonesia umur 23 tahun yang dilatih Aceng juga menjuarai WRC di Australia tahun 2019.
Pada 2017, tim putri menduduki posisi ketiga dalam Kejuaraan Dunia Arung Jeram di Jepang. Tahun 2015, mereka memenangi ajang serupa di Citarik, Sukabumi.
Berbagai capaian itu tidak datang begitu saja. Semua bermula ketika Aceng pensiun sebagai atlet arung jeram pada 2011. Peraih beberapa kejuaraan nasional sejak 1997 itu memilih menjadi pelatih. Dia juga bekerja sebagai pemandu wisata arung jeram di kampungnya untuk tetap menyambung hidup.
Ketika menjadi pendukung atlet arung jeram nasional 2014, ia mendapatkan kenyataan kelemahan Indonesia pada tim putri. ”Saat itu, belum ada tim perempuan yang terbina, terstruktur. Daerah hanya sibuk mencari pemain putri kalau mau ada kejuaraan,” ungkapnya.
Aceng pun mencari remaja putri untuk menjadi atlet profesional arung jeram. Setelah berkomunikasi dengan sejumlah sekolah di Cikidang, ia akhirnya mengumpulkan tujuh anak yang berusia 15 tahun. Mereka tidak perlu ahli, tetapi hobi arung jeram.
Seperti sungai yang berliku dan berisi bebatuan, perjuangan Aceng tidak selalu mulus. Ia kerap berdebat dengan keluarga yang tidak mengizinkan anak perempuannya menjadi atlet arung jeram.
”Ngapain jadi atlet? Badan hitam, enggak juara juga,” ujarnya menirukan ucapan keluarga itu.
Alih-alih mundur, pandangan sebelah mata terhadap olahraga itu menantangnya untuk membuktikan sebaliknya. Ia menyiapkan agenda latihan yang ketat, tetapi tidak mengganggu jadwal sekolah siswa.
”Saya bilang, saya jamin, tim ini akan juara dunia,” tegasnya saat itu.
Padahal, modal membangun tim arung jeram tidak murah. Apalagi, mereka masih tim baru yang sangat sukar mendapatkan sponsor. Aceng pun memakai pelampung dan helm bekas yang dicat untuk menghemat biaya. Bekal mereka saat makan pun sederhana, seperti singkong dan pisang.
Baca juga: Upaya Kreatif Buka Pintu Sejahtera di Jabar Selatan
Pahlawan kesiangan
Akan tetapi, keterbatasan itu bukan penghalang. ”Sebagian pendapatan saya untuk latihan anak-anak. Saya sampai pinjam uang ke bank dan gadaiin sepeda motor. Saya bahkan berhenti kerja dari pemandu arung jeram agar dapat pesangon untuk latihan dan kejuaraan dunia,” kenangnya.
Meski motornya tak kembali, janji Aceng terbukti. Timnya memenangi Kejuaraan Dunia Arung Jeram 2015 di Sukabumi. Tahun 2017, ia mengantarkan putri U-19 tahun meraih 1 medali emas, 1 perak, dan 2 perunggu dalam ajang serupa di Jepang. Sejumlah sponsor mulai datang.
Akan tetapi, perjuangan belum usai. Mereka pernah berada di titik terendah pada 2019. Beberapa hari sebelum bertanding pada Kejuaraan Dunia Arung Jeram di Australia, sponsor membatalkan kerja sama. Padahal, mereka sudah berlatih tiga bulan dan mengandalkan dana dari sponsor itu.
”Saya mau tutup prestasi karena tidak ada biaya. Saya mau sudahi saja. Tapi, mereka enggak mau. Kami menangis,” katanya.
Tak punya pilihan lainnya, Aceng terpaksa mengadu ke Bupati Sukabumi Marwan Hamami. Meskipun terbatas, dana dari bupati mengantar mereka ke sana.
Beruntung, komunitas warga Indonesia di Australia juga membantu Aceng dan tim. Mereka memberinya beras dan penanak nasi.
”Waktu itu buka bulan puasa. Jadi, bisa menghemat. Kami sahur dan buka pakai nasi dengan mi. Saya makan sisa makanan atlet,” ungkapnya.
Lihat juga: Indonesian Rafting Talents Born from the Rapid Citarik
Aceng juga masih ingat ketika anak asuhnya meminta air minum. Ketika berlari mencari air minum, perutnya kesakitan. Setelah memberikan air kepada timnya, ia merangkak ke tenda kesehatan. Bapak tiga anak ini didiagnosis penyakit pada ginjal karena kurang minum.
Kerja keras mereka tidak sia-sia. Indonesia meraih juara dunia untuk kategori perempuan usia di bawah 23 tahun. Mereka disambut berbagai pihak ketika sampai di Tanah Air.
”Belakangan, banyak pahlawan kesiangan,” ucapnya merujuk pada pihak yang sontak mengeklaim membantu.
Kiprah Aceng tidak hanya membawa timnya mencetak prestasi internasional, tetapi juga mengenalkan Sungai Citarik ke kancah arung jeram dunia. Tempat tinggalnya di Ciranji, Desa Sampora, Kecamatan Cikidang, sejak dulu disebut kampung atlet. Puluhan warga jadi atlet.
Aceng sendiri mulai mengenal olahraga air itu sejak usia 13 tahun. Ia dan anak-anak lainnya kerap menggunakan ban bekas untuk mengarungi sungai. Mereka bahkan dijuluki anak sungai. Beranjak dewasa, ia sempat merantau ke Jakarta sebelum kembali ke jadi pemandu di Citarik.
”Ngapain kerja di kota? Memang gaji di kota gede, tapi pengeluaran juga gede. Awalnya tahun 1995, gaji saya di sini (sebagai pemandu arung jeram) Rp 45.000 sampai Rp 60.000 per bulan. Itu pun bisa menabung dan ngasih orangtua,” ungkap Aceng.
Di sela-sela memandu, ia juga menjadi atlet arung jeram. Beberapa kejuaraan nasional diraih, seperti tahun 1997, 2001, 2003, 2007, 2008, hingga terakhir 2011. Selain tidak muda lagi dan pernah cedera patah kaki kanan, Aceng memutuskan pensiun dan menjadi pelatih tim putri.
Di saat rambutnya mulai memutih, bapak tiga anak ini menolak mengibarkan bendera putih pertanda menyerah untuk arung jeram. Ia tetap setia melatih JRT, termasuk mendukung pendidikan anak didiknya. Ia bahkan mencari beasiswa untuk timnya agar bisa kuliah.
”Saya komitmen jadi jembatan untuk siapa pun yang mau jadi atlet. Tapi, tetap harus berpendidikan karena jadi atlet itu tidak selamanya,” ucap Aceng yang lulus paket C. Baginya, arung jeram telah mengubah hidup sejumlah remaja putri di daerahnya menjadi lebih baik.
Setidaknya, katanya, anak-anak juga tidak harus menikah muda. Mereka sibuk latihan sehingga tidak punya banyak waktu untuk keluyuran.
”Kalau enggak ada arung jeram, mungkin mereka salah gaul. Walaupun ini kampung, tapi kehidupan kayak metropolitan,” ungkapnya.
Aceng paham tidak selamanya bakal menjadi pelatih. Ia pun berharap anak didiknya bisa melanjutkan perjuangannya memanggungkan tim arung jeram di tingkat dunia.
”Saya tidak akan tinggalkan dunia rafting, termasuk jadi pemandu. Saya berawal dan akan berakhir di sini,” ucapnya.
Baca juga: Serunya ”Body Rafting” di Green Canyon
Aceng Supendi
Tempat, Tanggal Lahir : Sukabumi, 3 Juli 1976
Pendidikan: SDN Sampora, Sukabumi
Paket B dan Paket C
Istri : Aisyah
Anak :
Lista Natasya Feniawati
Rasti Ramadhani Fenia
Ayesha Lira Fenia
Profesi: Pelatih Junior Rafting Team
Pencapaian:
- Juara Kejurnas Arung Jeram 1997, 2001, 2003, 2007, 2008, 2011
- Penghargaan Menpora RI untuk Pelatih Terbaik 2022
- Pelatih Tim Arung Jeram Putri Indonesia pada World Rafting Championship (WRC) di Bosnia Herzegovina 2022
- Pelatih Tim Arung Jeram Putri Indonesia pada WRC Australia 2019