Iskandar, Memanggungkan Seni Ornamen Aceh
Dalam Islam, seni rupa jamak disampaikan melalui simbol sehingga butuh ketajaman berpikir dan kedalaman penjiwaaan untuk menemukan pesannya.
Seusai merampungkan pendidikan magister di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 2018, Iskandar (39) kembali ke Aceh. Dia ingin mendalami kesenian di tanah kelahirannya itu. Sebagai pengagum seni masa lalu, dia ingin memopulerkan seni ornamen Aceh, yang dianggapnya menyimpan nilai-nilai religius.
Iskandar lahir di Desa Seulunyok, Kecamatan Nibong, Kabupaten Aceh Utara. Ayahnya meninggal saat dia masih kanak-kanak. Hidup bersama ibu, dia sering menjadikan aktivitas menggambar sebagai media mengekspresikan diri.
Tinggal di daerah basis konflik, Iskandar nyaris tidak bisa melanjutkan pendidikan. Tamat sekolah menengah pertama dia pindah ke Kota Lhokseumawe untuk melanjutkan ke sekolah menengah atas (SMA). Namun sayang, pendaftaran SMA di kota itu telah ditutup.
Iskandar pun beralih mendaftar ke sekolah menengah kejuruan yang membuka pendaftaran. Saat itu SMK bukan sekolah favorit. Dia memilih jurusan kriya dan konsentrasi pada kesenian gambar serta ukir. Ternyata ini menjadi awal perjalanan kecintaannya pada dunia seni ornamen.
Tamat dari SMK, Iskandar terpilih sebagai siswa berprestasi dan mendapatkan beasiswa kuliah di Politeknik Seni Yogyakarta. Dia merasa Yogyakarta kota yang cocok untuk mengasah kemampuan seni rupa pada dirinya.
Dia kemudian melanjutkan S-1 dan S-2 di ISI Yogyakarta. Di Yogyakarta, Iskandar banyak terlibat dalam diskusi kebudayaan, khususnya dunia kesenian. Dia merasa di Yogyakarta kesenian terus berkembang dan pelaku seni bisa hidup dan berdaya. Sementara di Aceh kesenian kembang kempis dan ekonomi pelaku seni mayoritas limbung.
Tahun 2018, Iskandar pulang ke Aceh dan menjadi dosen di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Jantho, Aceh Besar. Menyadari ruang diskusi yang terbatas, dia mendirikan Kamp Konsentrasi Seni (KKS), yang fokus untuk penciptaan karya seni dan literasi.
Setahun di sana, dia iseng mengikuti tes untuk beasiswa kuliah program doktoral dan ternyata lulus. Dia pun harus meninggalkan KKS untuk kuliah di ISI Surakarta.
Baca Juga: Pameran Seni Ornamen Aceh Masa Lampau
Namun, pandemi menjadikan Iskandar lebih banyak berada di Banda Aceh ketimbang di Surakarta. Di antara tekanan wabah dan situasi tidak bebas berekspresi, dia lalu menepi ke dekat sarang-sarang biawak di bantaran sungai Aceh untuk lalu menginisiasi lahirnya Kamp Biawak. Biawak adalah singkatan dari Biar Anda Waras Kembali. Tempat ini kemudian menjadi ruang bagi anak muda untuk berdiskusi kritis.
Lokasinya strategis karena tidak jauh dari kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Dia memengaruhi para mahasiswa untuk mau berdiskusi dan membedah buku. Ragam isu dikupas dalam diskusi rutin di sana, termasuk isu kesenian.
Dia terlibat aktif dalam beberapa agenda kesenian dan kampanye antikekerasan. Sebagai seorang pelaku seni rupa, Iskandar selalu menyampaikan pesannya melalui bahasa-bahasa yang simbolik, terutama melalui ornamen. Baginya, ornamen merupakan bahasa yang paling mudah diterima masyarakat.
Berburu ornamen
Ketertarikannya pada seni rupa surealis mendorongnya untuk mendalami ornamen Aceh. Baginya, ornamen Aceh bukan sekadar kerajinan tangan biasa karena perwujudannya melibatkan berbagai panca-indera dan bidang-bidang keahlian lain.
Bersama komunitas Masyarakat Peduli Sejarah Aceh, Iskandar kerap blusukan ke lokasi bekas kerajaan atau pemakaman masa lampau. Iskandar begitu terpukau jika melihat ragam seni ornamen dan kaligrafi pada batu nisan kuno. Dia seperti berada di dalam sebuah galeri seni rupa. ”Saya seperti seorang tamu agung yang berada pada sebuah galeri karya seni rupa masa lalu,” ujarnya.
Baca Juga: Seni untuk Berpikir Kritis
Ada tiga kerajaan besar di Aceh yang meninggalkan batu nisan penuh ornamen, yakni Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Lamuri, dan Kerajaan Aceh Darussalam. Setiap kerajaan memiliki ornamen yang khas.
”Ornamennya sangat indah, seperti dipahat oleh orang yang sangat profesional. Begitu sulit untuk menemukan maknanya, penuh teka-teki. Ini namanya seni yang abstrak, pesannya disampaikan secara simbolik, melalui proses stilasi,” kata Iskandar.
Dia merasa sedih melihat batu nisan kuno berserakan tidak terpelihara. Bahkan ada yang dijadikan alat untuk mengasah pisau. Padahal, pada batu nisan itu terdapat ornamen yang indah.
Bukan hanya pada batu nisan. Iskandar juga menemukan ragam ornamen pada kayu rumah, masjid tua, naskah kuno, kain, dan benda-benda yang dipakai oleh orang Aceh masa lampau.
Baca Juga: Seni Ornamen, Bukti Aceh Sangat Beragam dan Jaga Toleransi
Iskandar mengaku sedih melihat kayu-kayu dari rumah Aceh dan masjid tua yang berisi ornamen diperjualbelikan dengan harga murah ke para kolektor luar Aceh. ”Karena ketidaktahuan, kita hanya melihat benda tersebut sebagai peninggalan sejarah, bukan sebagai benda bernilai seni,” kata Iskandar.
Iskandar mengatakan, dalam Islam, seni rupa jamak disampaikan melalui simbol sehingga butuh ketajaman berpikir dan kedalaman penjiwaaan untuk menemukan pesannya.
Sebagai daerah yang kuat keislamannya, Aceh banyak meninggalkan seni rupa ornamen, salah satu contoh seni rupa yang surealis. Iskandar menyebutnya ornamen adalah salah satu identitas seni rupa Aceh. ”Nenek moyang kita punya kemampuan seni yang dahsyat. Semua benda yang dipakai selalu ada ornamennya,” kata Iskandar.
Festival ornamen
Selama dua tahun lebih Iskandar mengumpulkan ratusan ornamen Aceh pada benda-benda bersejarah. Dia bergerilya ke makam kuno, masjid tua, rumah tradisional, dan museum.
Dia termotivasi untuk memanggungkan kembali ornamen Aceh agar tidak semakin punah ditelan zaman. ”Aceh punya ribuan ornamen, tetapi yang baru kami kumpulkan ratusan,” kata Iskandar.
Baca Juga: Hikayat Aceh dan Memori Dunia
Bersama para seniman di Laboratorium Seni Aceh Rakitan pada 10-14 Juni 2023, ia menggelar Festival Ornamen Aceh. Festival itu didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui program Indonesiana. Festival dipusatkan di pelataran Museum Tsunami Aceh di Kota Banda Aceh.
Ornamen pada artefak-artefak tersebut dilukis atau disketsa ulang pada media kertas untuk dipamerkan kepada publik. Ornamen yang dipamerkan peninggalan abad ke-17 hingga abad ke-20.
Ini kali pertama pameran ornamen Aceh digelar. Sebagai penggagas, Iskandar memandang perlu ada upaya revitalisasi agar ornamen Aceh tidak benar-benar hilang digerus zaman.
”Melalui festival ini ornamen yang menjadi simbol estetik Aceh kita hidupkan kembali. Saat ini ornamen Aceh hampir punah, padahal ornamen adalah obyek utama seni rupa di Aceh,” kata Iskandar.
Menurut Iskandar, ornamen-ornamen Aceh dapat dihidupkan kembali melalui media yang modern, seperti adaptasi ke dalam motif pakaian, bangunan kota, desain fasilitas publik, hingga benda yang dipakai sehari-hari.
Baca Juga: Tradisi Dikee Pam Panga Aceh Jaya Jadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia
Iskandar
Lahir: Aceh Utara, 6 Juni 1984
Pendidikan:
- SMKN 4 Lhokseumawe.
- D-3 Politeknik Seni Yogyakarta program Studi Desain Komunikasi Visual.
- S-1 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta program Studi Desain Komunikasi Visual.
- S-2 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta untuk Penciptaan dan Pengkajian Seni.
- S-3 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta untuk Penciptaan dan Pengkajian Seni.
Aktivitas/pekerjaan: Pekerja seni - dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh.