Hikayat Aceh dan Memori Dunia
Memory of The World bagi Hikayat Aceh membuktikan bahwa sastra, kebudayaan, dan sejarah Aceh bernilai bagi dunia. Di dalamnya tecermin pola hidup dan budaya multikultural. Pesan toleransi itu perlu diambil generasi muda.
Naskah Hikayat Aceh ditetapkan sebagai Memory of The World atau Warisan Dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Naskah yang bercerita tentang kehidupan Sultan Iskandar Muda, pemangku kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam, itu mengandung nilai luhur yang harus ditebarkan ke generasi muda.
Hikayat Aceh ditetapkan sebagai memori dunia dalam sidang pleno Executive Board UNESCO pada 10-24 Mei 2023. Rencana pengusulan Hikayat Aceh kepada UNESCO telah digagas sejak 2017, tetapi baru pada 2021 dapat diusulkan secara resmi.
Naskah Hikayat Aceh itu diusulkan sebagai warisan dunia oleh Universitas Leiden (Belanda), Perpustakaan Nasional, dan Pemprov Aceh. Penantian panjang itu akhirnya berbuah manis.
Hermansyah, dosen Filologi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh, bagian dari tim Pemprov Aceh, menyambut sukacita atas penetapan naskah Hikayat Aceh sebagai warisan dunia. Capaian itu membuktikan bahwa sastra, kebudayaan, dan sejarah Aceh bernilai bagi dunia. Tantangan sekarang bagaimana pemerintah menyebarluaskan pengetahuan Hikayat Aceh itu kepada publik.
Baca juga: Naskah Hikayat Aceh Ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO
”Kita bangga, artinya sastra Aceh bernilai tinggi. Namun, setelah mendapatkan pengakuan dunia, kita mau apa? Yang terpenting sekarang menyosialisasikan budaya dan sejarah Aceh ini kepada anak muda dengan cara modern,” kata Hermansyah saat ditemui hari Senin (22/5/2023) di kampus UIN Ar-Raniry.
Hermansyah menjelaskan ada dua alasan kuat penetapan Hikayat Aceh, yakni kelangkaan naskah, kontinuitas kajiannya oleh peneliti dan akademisi, dan sebagian besar kandungan naskah masih dilestarikan dan dilakoni oleh masyarakat Aceh saat ini.
Naskah hikayat peninggalan abad ke-17 itu sangat langka. Saat ini hanya tersisa tiga salinan, dua di antaranya di Universitas Leiden dan satu di Perpustakaan Nasional.
Naskah Hikayat Aceh itu ditulis menggunakan huruf Arab-Jawi dengan bahasa Melayu. Sayangnya, naskah itu tidak lengkap. Tidak diketahui siapa penulisnya karena bagian awal atau pembuka dan penutup tidak ditemukan. Namun, Hermansyah menduga penulisnya adalah sastrawan besar kala itu yang punya akses dengan kerajaan.
Baca juga: Membaca Pidato Bung Karno yang Ditetapkan sebagai Ingatan Kolektif Dunia
Karena tidak ditemukan halaman pembuka, judul asli dari naskah itu juga tidak diketahui. Namun, peneliti Belanda, Juynboll, tahun 1899 memperkenalkan naskah itu dengan judul Hikayat Aceh yang diambil dari penggalan cerita di dalam naskah itu.
Naskah Hikayat Aceh ditulis dalam bentuk prosa, narasinya tidak terikat oleh rima. Pada masa kerajaan, hikayat sering dibacakan dalam pertemuan kerajaan atau momen-momen tertentu.
Secara khusus, Hikayat Aceh itu menceritakan kehidupan Sultan Iskandar Muda sejak dia usia kanak-kanak hingga menjadi sultan di Kerajaan Aceh Darussalam. Namun, karena naskah tidak lengkap, cerita yang ditemukan adalah saat Sultan Iskandar Muda sudah berusia 14 tahun.
Bukan hanya tentang sultan, hikayat tersebut juga menceritakan kondisi sosial, budaya, politik, agama, dan tentang Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda periode 1606-1636.
Kerajaan Aceh Darussalam memiliki pengaruh sangat luas dari semenanjung Melayu-Asia hingga ke Eropa. Hermansyah menyebutkan secara politik-ekonomi kala itu Kerajaan Aceh salah satu wilayah sentral perekonomian di Nusantara sebagai kota pelabuhan internasional dan memiliki kekayaan alam yang berlimpah.
Armada perang Sultan Iskandar Muda menjadi salah satu kekuatan militer paling ditakuti di Selat Malaka.
Sultan Iskandar Muda memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan Turki, Arab Saudi, Thailand, dan Malaysia. Selat Malaka sebagai jalur rempah diperebutkan oleh banyak pihak seperti Portugis dan Inggris. Armada perang Sultan Iskandar Muda menjadi salah satu kekuatan militer paling ditakuti di Selat Malaka.
Saat itu Aceh bagian dari peradaban dunia. Aceh memiliki pengaruh kuat terhadap perpolitikan dan perdagangan dunia.
Menurut Hermansyah, pengaruh Kerajaan Aceh Darussalam terhadap dunia kala itu menjadi salah satu alasan mengapa naskah Hikayat Aceh sangat layak ditetapkan sebagai warisan dunia.
”Hikayat ini dituliskan pada masa Sultan Iskandar Muda masih hidup karena tidak ada penyebutan almarhum,” kata Hermansyah.
Setelah Sultan Iskandar Muda mangkat, Kerajaan Aceh Darussalam perlahan-lahan mengalami kemunduran. Agresi militer Belanda ke Sumatera mempercepat keruntuhan Kerajaan Aceh Darussalam. Pada 1903, kerajaan yang pernah memiliki wilayah kekuasaan hingga Malaysia itu runtuh. Naskah-naskah penting milik kerajaan pun diboyong ke Belanda.
Setelah masa kerajaan di Nusantara berakhir, Aceh menjadi bagian penting dari Nusantara. Pada tahun 1993, pemerintah menetapkan Sultan Iskandar Muda sebagai pahlawan nasional.
Masih kontekstual
Hermansyah menilai meski naskah hikayat itu berusia lebih dari 400 tahun, tetapi nilai-nilai di dalamnya masih sangat kontekstual. Masih banyak praktik adat istiadat yang diceritakan di dalam naskah hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Aceh.
”Orang Aceh adalah bagian dari warga dunia yang masih mempertahankan adat dan budaya warisan Sultan Iskandar Muda,” kata Hermansyah.
Misalnya dalam adat istiadat perkawinan masih ada seulangke atau penghubung kedua mempelai, yaitu intat linto (mengantar pengantin pria) dan tueng dara baro (jemput pengantin wanita).
”Adat istiadatnya masih lestari. Artinya, naskah itu masih sangat kontekstual dengan kehidupan masyarakat Aceh,” ujar Hermansyah.
Dalam Hikayat Aceh juga tecermin pola hidup dan budaya multikultural dan interaksi antara satu dan lainnya, antara Sultan dan rakyat, serta antara pendatang dan pribumi.
Pada saat itu, utusan dari luar negeri diberi pelayanan dengan baik, diberikan keistimewaan, dan hak yang sama sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Menurut Hermansyah, pesan toleransi itu perlu diambil oleh generasi sekarang.
Hermansyah menambahkan, naskah hikayat Aceh juga menjadi bahan penting bagi peneliti nasional dan internasional yang ingin memotret sejarah kerajaan Islam dan Melayu tempo dulu.
Baca juga: Agus PMTOH, Seniman Tutur Aceh, Akan Tampil di Jerman
Usai ditetapkan sebagai warisan dunia, kata Hermansyah, pemerintah, akademisi, budayawan, seniman, dan para pihak harus berkolaborasi menyosialisasikan hikayat itu kepada lintas generasi.
Pesan toleransi tersebut perlu diambil oleh generasi sekarang.
Metode kampanye disesuaikan dengan target, misalnya novel untuk kalangan mahasiswa, film animasi untuk anak-anak, dan pementasan untuk kalangan umum. Kepada siswa dapat disosialisasikan melalui pelajaran formal.
Pasca-kemerdekaan, pembacaan hikayat jamak mengisi panggung hiburan rakyat. Namun, kini penampilan hikayat kian jarang terlihat. Agar tidak semakin hilang, beberapa kali pemerintah membuat kompetisi baca hikayat.
Alih aksara
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh Edi Yandra menuturkan, penghargaan dari UNESCO membuat Pemprov Aceh kian terpacu untuk melestarikan naskah dan nilai-nilai di dalamnya kepada publik.
Untuk memudahkan publik memahami isi naskah Hikayat Aceh, pihaknya telah melakukan alih aksara dari tulisan Arab-Jawi ke huruf Latin. Ini bagian dari usaha pemerintah daerah untuk mendekatkan hikayat tersebut kepada generasi muda.
Pada masa lampau, naskah-naskah banyak ditulis menggunakan Arab-Jawi. Pada era sekarang, Arab-Jawi nyaris tidak digunakan lagi. ”Hikayat Aceh telah kami alih aksara ke huruf Latin. Kami harap naskah Hikayat Aceh ini menjadi bacaan untuk semua kalangan,” kata Edi.
Edi mengatakan, Aceh punya banyak naskah kuno yang perlu rawat, seperti karya ulama besar Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri, dan Syekh Abdurrauf Singkil atau Syiah Kuala. Karya sastra dan keagamaan karya para ulama besar tersebut masih perlu kajian mendalam agar juga bisa diusulkan oleh Perpustakaan Nasional.
Kurang apresiasi
Penetapan naskah Hikayat Aceh sebagai warisan dunia dianggap seperti oase di tengah padang pasir. Apresiasi dunia terhadap naskah kuno Aceh memberikan energi positif di tengah minimnya apresiasi di tingkat lokal.
Direktur Institut Peradaban Aceh Haekal Afifa mengatakan, upaya pemerintah kurang optimal dalam melestarikan naskah-naskah kuno Aceh. Masih banyak naskah kuno Aceh yang tercecer atau dikuasai individu. Menurut dia, pemerintah perlu mengumpulkan naskah tersebut agar mudah diakses oleh publik.
Baca juga: Tiga Warisan Dokumenter Indonesia Diajukan sebagai Ingatan Kolektif Dunia ke UNESCO
Afifa menambahkan, pemerintah tidak punya strategi untuk melestarikan hikayat. Panggung untuk pementasan hikayat juga nyaris tidak ada. ”Seniman hikayat juga sangat minim karena tidak ada yang memotivasi orang-orang untuk bergelut di ruang ini,” katanya.
Beberapa orang tergerak menyelamatkan naskah-naskah, tetapi tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah.
Afifa berharap anugerah Hikayat Aceh sebagai warisan dunia ini menjadi momen menyatukan semua stakeholder untuk memanggungkan hikayat Aceh agar lebih merakyat, nilai-nilai baik pun semakin tersebar meluas.
Baca juga: UNESCO Tetapkan Gamelan sebagai Warisan Budaya Tak Benda