Edwin Makarim Januar, Memupus Jejak Hiperbilirubin dengan Seni Rupa
Edo menjadi pejuang keras. Edo kemudian berhasil mengaktifkan kembali tangan kanannya. Dulu, dampak dari kelumpuhan tangan kanannya juga pernah membuat Edo mengalami fobia terhadap kancing baju.
Edo ditemui Kompas di ruang pamer Outsider Art Jakarta di gedung Mitra Hadiprana, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (14/6/2023) pagi. Di situ ia sedang menggelar pameran tunggal bertajuk ”Tapak Katresnan” sejak 21 Mei sampai 24 Juni 2023. Selain lukisan dan patung karyanya, Edo menampilkan berbagai perlengkapan dirinya sewaktu menjalani berbagai jenis terapi, seperti terapi perilaku, terapi okupasi, fisioterapi, maupun terapi wicara hingga berusia 12 tahun.
Sejenak kemudian ia menunjukkan sebuah alat terapi okupasi. Ada susunan berjajar beberapa mur dan baut yang dilas berdiri tegak tidak kurang dari 10 biji jumlahnya. Ukuran mur dan baut itu berbeda-beda. Dari ukuran terkecil berdiameter kurang dari satu sentimeter hingga terbesar lebih dari lima sentimeter.
”Selama dua jam setiap hari saya menjalani terapi okupasi ini dengan tangan kanan melepas satu per satu mur dari baut yang terkecil sampai yang terbesar. Kemudian memasangkannya kembali,” ujar Edo.
Hal itu tampak mudah dan sederhana. Akan tetapi, tidak bagi Edo. Di sebelah mur dan baut, ada banyak kelereng dengan ukuran kecil dan besar.
Setelah mempraktikkan terapi okupasi mur dan baut, Edo mempraktikkan terapi okupasinya dengan kelereng. Edo harus memilih salah satu jenis kelereng kecil atau besar di antara campuran kelereng berbagai ukuran tersebut.
”Sesuai ukuran kelereng yang sudah ditentukan, saya harus memilihnya dan memindahkan ke suatu tempat,” kata Edo, yang tinggal di Jatibening, Bekasi.
Terapi ini terbilang tidaklah sulit, tetapi tidak bagi Edo. Memilih kelereng kecil di antara banyak kelereng dengan ukuran berbeda bukanlah hal mudah baginya. Ini seperti perjuangan hidup dan mati, terutama di masa-masa awalnya.
Edo menjadi pejuang keras. Edo lalu berhasil mengaktifkan kembali tangan kanannya. Dulu, dampak dari kelumpuhan tangan kanannya juga pernah membuat Edo mengalami fobia terhadap kancing baju.
”Di masa kecil, ketika mengenakan baju selalu gagal untuk mengancingkannya. Tangan kanan saya sulit sekali digerakkan untuk membantu tangan kiri mengancingkan baju sehingga pada akhirnya saya mengalami fobia kancing baju,” kata Edo, anak kedua dari tiga bersaudara.
Tangan kanan saya sulit sekali digerakkan untuk membantu tangan kiri mengancingkan baju sehingga pada akhirnya saya mengalami fobia kancing baju.
Edo pada waktu itu menolak setiap kali harus mengenakan baju yang ada kancingnya. Ada ketakutan berlebihan, karena ia merasa tak akan bisa mengancingkan bajunya. Hingga kemudian kedua orangtuanya mengubah jenis kancing baju yang harus dimasukkan ke lubang kain, diganti dengan kancing baju klep atau tinggal dikatupkan.
Setelah tangan kanannya mulai membaik, Edo diajak mengatasi fobia kancing baju itu. Kedua tangan Edo akhirnya bisa mengancingkan baju.
Terapi Edo tak hanya bagi lengan tangan kanannya. Kaki kanan Edo juga berhasil diaktifkan kembali melalui berbagai terapi fisiologis. ”Ketika itu kalau berjalan, kaki kanan saya yang lumpuh saya seret-seret. Sekarang kaki kanan saya sudah bisa aktif kembali,” ujar Edo.
Baca Juga: Dessy Nur Anisa Rahma Mengajak Difabel Berkarya
Transfusi darah
Di ruang pamer Outsider Art Jakarta, Edo menunjukkan salah satu lukisan yang dipajang. Lukisan itu berjudul, ”Berganti” (2023), dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 80 cm x 100 cm. Bidang lukisannya dibagi dua secara vertikal dengan sisi kanan berwarna merah darah, sedangkan sisi kiri dengan warna kuning terang.
Di bidang sisi kiri yang berwarna kuning, Edo melukiskan kantung infus darah merah dengan selang kecilnya mengalirkan darah ke bidang sisi kanan. Melalui karya ini, Edo ingin melukiskan proses transfusi darah yang pernah dialami sewaktu bayi, ketika mengalami hiperbilirubin atau kondisi bilirubin yang berlebih di tubuhnya.
Bilirubin di dalam pembuluh darah merupakan hasil akhir dari proses sel darah merah yang rusak. Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlebih di dalam tubuh karena berpengaruh pada kerusakan organ, termasuk otak.
Di awal Edo lahir, kondisi bilirubin yang berlebih itu terjadi. Edo mengalami hiperbilirubin. Karena itulah Edo harus menjalani transfusi darah. Darah merah atau segar dimasukkan ke dalam tubuhnya supaya bisa menggantikan darah lama yang rusak dan menjadi bilirubin yang kuning.
Secara awam, fenomena seperti ini disebut bayi kuning. Itu memang karena tubuh ditandai dengan kulit atau bagian tubuh lainnya yang menguning. Dampaknya tidak bisa diremehkan. Edo mengalami hiperbilirubin sampai tahap cedera otak, karena otaknya kekurangan pasokan oksigen. Kondisi seperti ini yang mengakibatkan cerebral palsy. Transfusi darah merah ke dalam tubuh bayi Edo berhasil menyelamatkannya, meski Edo kemudian mengalami gangguan sistem motorik dan keterlambatan bicara.
”Saya masih ingat, ketika berkomunikasi dengan ayah. Ia selalu menunjukkan dengan gambar. Pada fase berikutnya, saya yang menggambar ketika harus menyampaikan sesuatu ke keluarga,” kata Edo, yang mengalami keterlambatan wicara hingga usia sekitar enam tahun.
Cara berkomunikasi dengan gambar pada waktu itu terus membekas. Akhirnya, Edo memiliki bekal menggambar yang terus dirawat sampai sekarang. Edo pun memiliki kemampuan melukis secara realis.
Kemampuan melukis realis itu juga sebagai bagian dari terapi sistem motorik halusnya. Sebagian besar lukisan yang dipamerkan sekarang ini juga bergaya realis.
Baca Juga: Ade Dwi Cahyo Putra, Menebar Cahaya lewat Al Quran Braille
Sejak 2018 Edo bertemu Timotius Suwarsito atau Kak Toto, seorang mentor melukis bagi anak berkebutuhan khusus di Hadiprana Art Center. Di bawah asuhan Kak Toto, Edo dikenalkan teknik melukis ekspresionis yang membebaskan ikatan kepersisan terhadap obyek yang dilukis.
Salah satu lukisan yang diberi judul ”Kancing” (2022), menjadi karya ekspresionis yang melukiskan tumpukan warna-warni kancing baju yang banyak sekali. Edo mengaktualisasikan dirinya yang sudah terbebas dengan fobia kancing baju.
Saya masih ingat, ketika berkomunikasi dengan ayah. Ia selalu menunjukkan dengan gambar. Pada fase berikutnya, saya yang menggambar ketika harus menyampaikan sesuatu ke keluarga.
Di pameran Tapak Katresnan itu pula Edo membuat sebuah karya kolase berbentuk jejak telapak kaki besar dengan dipenuhi tempelan kancing baju warna-warni. Karya ini digelar di lantai. Di atasnya kemudian digunakan untuk meletakkan sepeda beroda tiga.
Sepeda roda tiga ini juga bagian dari fisioterapi, terutama untuk melatih kekuatan otot kaki dan tangan kanannya. Edo sempat mempraktikkannya.
Alat lainnya untuk terapi fisio seperti barbel kecil dan kantong tinju. Kaset dan pemutarnya yang digunakan Edo untuk bersantai turut dipamerkan.
Pengalaman Edo berkomunikasi secara visual sekarang menjadi bekal yang berguna untuk melukis. Sejak 2008 atau pada usia 13 tahun, Edo sudah memamerkan karya-karya lukisannya di Hotel Crowne Plaza, Jakarta.
Edo mengikuti banyak pameran lukisan lain di berbagai kota dan negara. Pada 2017, karya lukisan Edo pernah diikutsertakan pameran di Shinjuku, Jepang. Edo mengikuti pameran bertema Asia International Friendship.
Pameran di Shinjuku ini berulang pada 2018. Edo mengikuti kembali pameran yang bertema, The Representation Art in Indonesia from Traditional to Contemporary. Edo sempat menunjukkan salah satu lukisan yang pernah ditampilkan di Shinjuku pada 2018.
Baca Juga: Muhammad Arif Novianto, Oase bagi Anak Penyandang Diabetes
Kebetulan lukisan itu juga dipajang di pameran Tapak Katresnan di Outsider Art Jakarta. Lukisan itu berjudul ”In The Arm of Angel Hand”. Edo melukis seorang ibu menggendong anak balita dengan kain batik.
”Kain batik untuk gendongan inilah yang saya presentasikan di Shinjuku sebagai representasi seni rupa tradisional ke kontemporer,” kata Edo, yang kini sedang menempuh kuliah di Universitas Terbuka dengan memilih studi Jurusan Perpustakaan.
Edo aktif di berbagai kegiatan seni rupa dan suka berkunjung ke rumah-rumah seniman. Sejak 2018 Edo mendirikan sebuah sanggar seni rupa di rumahnya, Credo Art Space. Ia mendampingi anak-anak dan remaja maupun orang dewasa yang ingin belajar melukis. Di situ pula Edo membuat kafe untuk menghidangkan minuman kopi racikannya.
Dengan kegigihan Edo melintasi masa-masa sulit dalam keterbatasan fisik kelumpuhan kaki dan tangan kanan. Sekarang, Edo sudah terbebas dan dihadapkan pada tantangan-tantangan baru sebagai seniman.
Edwin Makarim Januar
Lahir: Jakarta, 18 November 1995
Pendidikan: Jurusan Perpustakaan, Universitas Terbuka (2016 – sekarang)
Pekerjaan:
- Pengelola Credo Art Space (2018 – sekarang)
- Magang pengajar paruh waktu untuk Homeschooling Persada. (2016)
Riwayat pameran:
- 2008: Kisah Kasih Bunda Mengantar pelukis Muda, Hotel Crowne Plaza, Jakarta.
- 2016: Nautika Rasa, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
- 2017: Asia Indonesia Friendship Exhibition, Eco Gallery, Shinjuku, Jepang.
- 2018: The Representation Art in Indonesia from Traditional to Contemporary, Eco Gallery, Shinjuku, Jepang.