Denny Mizhar ingin Pelangi Sastra punya basis data sastra lokal dan ensiklopedia sastra serta menggelar festival sastra. Dengan demikian, tidak ada lagi mahasiswa atau siapa saja yang bingung saat hendak belajar sastra.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
Berawal dari kegelisahan terhadap kekosongan literasi sastra di Malang, Jawa Timur, Denny Mizhar bersama Ragil Supriyanto mendirikan Pelangi Sastra Malang. Komunitas ini kemudian bermetamorfosis sebagai tempat diskusi, penerbitan, dan toko buku yang ramah bagi para pembelajar sastra di Malang. Pelangi Sastra Malang menjadi simpul penting perkembangan sastra di Malang dan sekitarnya.
Tidak terlalu sulit mencari markas Pelangi Sastra Malang yang berada di Jalan Mayjen DI Panjaitan Dalam, Malang, ini. Dari jalan besar tinggal masuk beberapa meter. Fasad rumah yang menjadi markas Pelangi Sastra Malangtampak kusam, beberapa bagian cat tembok mengelupas, dan pagar besi bercat biru pucat itu mulai ”diserbu” karat. Gambaran tersebut seperti mewakili wajah kesusastraan atau literasi di negeri ini.
Denny dan seorang rekannya menyambut dengan gorengan dan tumpukan buku yang seolah mengganti fungsi dinding. Ruang tamu yang juga berfungsi sebagai perpustakaan dan toko buku itu adalah surga bagi pencinta sastra. Buku-buku terbitan Pelangi Sastra dan belasan penerbit indie ataupun mayor terjajar rapi. ”Beginilah tempat kami,” ujar Denny yang tinggal bersama seorang anak dan istrinya di rumah tersebut dengan menyewa Rp 9 juta per tahun.
Dulu, Denny mengajar mata pelajaran Kebudayaan di sebuah SMK sambil menghidupi Pelangi Sastra Malang sebelumkeluar dari tempatnya mengajar pada 2017, setelah sepuluh tahun mengabdi. Sejak saat itu, dia mencurahkan seluruh waktunya di Pelangi Sastra Malang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penjualan buku menjadi salah satu sumbernya dengan keuntungan Rp 700.000-Rp 1 juta.Jumlah yang amat minim untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan istri dan satu anak. ”Diupayakan cukup. Kadang mengerjakan proyek lain,” kata Denny sembari mencontohkan proyek literasi di bidang wisata atau penulisan buku.
Lorong sunyi
Sastra adalah lorong sepi bagi banyak orang, termasuk Denny. Orang mudah patah hati jika mengejar kekayaan lewat sastra. Apa yang membuat Denny bertahan? ”Ini pilihan. Aku suka buku, jadi asyik saja,” ujarnya enteng.
Denny membentuk Pelangi Sastra Malang bermula ketika menjadimahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang dan tertarik dengan dunia sastra pada awal tahun 2000-an. Dia mengikuti organisasi pergerakan, tetapi kesulitan menemukan referensi sastramemadai serta kesulitan menemukan teman untukberdiskusi tentang sastra.
Denny tidak sendirian. Dia menangkap fenomena di Malang banyak mahasiswa atau pelajar kesulitan belajar sastra karena memang tidak sekolah atau kuliah sastra. Juga karena terkendala biaya. Selain itu, sulit bertemu dosen atau orang yang paham sastra. ”Aku mencoba menjembatani itu. Orang yang ingin belajar sastra, (belajar) dengan orang-orang yang mengerti sastra,” terang Denny.
Sebenarnya di Malang ada sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim. Dia mempunyai perpustakaan yang terbuka bagi siapa saja. Denny termasuk yang rajin main ke sana. Namun, selepas kepergian Ratna pada 2011, Denny dan kawan-kawan kehilangan tempat belajar. Ini pula yang mendorongnya mendirikan Pelangi Sastra Malang.
Pelangi Sastra Malang lahir dari sebuah acara bernama Pelangi Sastra Malang yang digelar komunitas Mozaik sejak 2010. Di sana, Denny bertemu Ragil Supriyanto atau Ragil Sukriwul yang kemudian bersama Denny menjadi pendiri Pelangi Sastra Malang.
Pelangi Sastra Malang digelar seratusan kali dengan menghadirkan para sastrawan senior dan yunior serta pegiat seni dan teater di Malang dan sekitarnya. Dalam setiap kegiatan, mereka kerap membedah karya-karya sastrawan Malang, seperti karya Wahyu Prasetya, Ratna Indraswari Ibrahim, dan Tengsoe Tjahjono. Kadang berupa diskusi tematik, seperti membaca teks-teks sastra pascakolonial atau sastra perlawanan. Tempatnya berubah-ubah, yang sekaligus menandakan keluasan jaringan Pelangi Sastra Malang.
Acara tersebut menjadi wadah bagi sastrawan dan pencinta sastra Malang untuk saling belajar, berdiskusi, dan berkarya. Tahun 2014, mereka merasa perlu menerbitkan buku, tetapi sayang jika harus lewat penerbit lain karena biayanya bisa membengkak. Maka, berdirilah penerbitan Pelangi Sastra yang hingga saat ini telah menerbitkan tak kurang dari 70 judul buku. Hampir bersamaan dengan itu, mereka pun mendirikan toko buku karena kesulitan mendistribusikan buku yang dicetak. Meskipun menerbitkan dan menjual buku secara mandiri tidak selalu menguntungkan secara finansial. Sebab, tingkat literasi atau minat baca masyarakat masih relatif rendah. ”Balik modal saja sudah untung,” kata Denny.
Meski demikian, Pelangi Sastra Malang tak surut menerbitkan buku dengan harga terjangkau karena niat awalnya memangmenjadi jembatan bagi siapa saja yang ingin belajar sastra.
Di luar itu, Pelangi Sastra Malang rajin menggelar kelas-kelas gratis, seperti kelas menulis cerpen, puisi, atau esai. Kerap juga menggelar bedah buku. ”Yang datang bisa seratusan orang,” kata Denny.
Beragam kampus
Sebagian besar yang ikut diskusi adalah mahasiswa dari Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Islam Malang, Universitas Merdeka Malang, dan Universitas Negeri Malang. Beberapa mahasiswa yang aktif diPelangi Sastra Malang muncul sebagai sastrawan muda,seperti Felix K Nesi, Royyan Julian, dan Dwi Ratih Ramadhany.
Denny menyadari, Pelangi Sastra Malang tak bisa berjalan sendirian. Untuk itu, komunitas ini membangun jejaring di luar Malang, seperti Jombang, Mojokerto, dan Surabaya. Ini untuk Jawa Timur. Di luar itu, mereka terbuka dengan komunitas lain di luar Jawa Timur.
Pria yang pernah kuliah teater selama lima semester di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya, ini paham bahwa susah berkembang jika melulu berkutat dengan komunitas sastra. Maka, dia membuka jejaring dengan komunitas literasi secara umum. Di Malang, Pelangi Sastra Malang kerap berkegiatan dengan beberapa komunitas, seperti Kalimetro yang berafiliasi ke Malang Corruption Watch dan Sabtu Membaca, sebuah gerakan di Malang tentang penyadaran pentingnya literasi.
Denny mengatakan, sebenarnya wajah sastra negeri ini bisa lebih cerah jika pemerintah mempunyai strategi yang jelas. Sayangnya, tidak. Ketidakjelasan tersebut, misalnya, dalam proyek pengadaan buku digital, banyak buku yang terkesan asal ada.
Karena itu, Denny bertekad membesarkan Pelangi Sastra Malang selepas Ragil pulang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dia ingin Pelangi Sastra Malang mempunyai basis data sastra lokal, mempunyai ensiklopedia sastra, dan menggelar festival sastra di Malang. ”Kami siap menjadi ekosistem tersebut. Istilahnya, kami mengupayakan distribusi wacana,” ujar Denny.
Denny Mizhar (Misharudin)
Lahir:Lamongan, 24 Desember 1983
Menerbitkan buku, antara lain:
- Berharap di Senja Hari (antologi puisi tunggal, 2007)
- Indonesia dalam Secangkir Kopi Pahit (antologi puisi bersama, 2009)
- Ponari for President (antologi puisi bersama, 2009)