Bagas Sutoko, Opa yang Giat Berbagi Ilmu
Meski tak lagi muda, Bagas Sutoko (63) tetap giat berbagi ilmu. Delapan tahun terakhir, warga Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu masih memacu semangat siswa dan mengajarkan mereka pentingnya berkesenian.
Mendung mulai menggelayut di langit Kepanjen, ibu kota Kabupaten Malang, Rabu (10/5/2023). Masih berpenampilan necis dengan kemeja merah muda, Bagas yang baru saja tiba dari sebuah kegiatan mempersilakan Kompas masuk ke ruang kerja yang menjadi satu dengan rumahnya di Desa Cempokomulyo.
Rumah dengan halaman cukup luas itu tampak sunyi. Sesekali cericit suara burung love bird milik tetangga masih terdengar menembus pagar.
”Itu foto saya beberapa tahun lalu. Yang memotret cucu saya. Lokasinya, ya, di meja ini. Hanya memanfaatkan pencahayaan lilin guna memunculkan siluet,” ujar laki-laki berusia 62 tahun itu di awal obrolan.
Foto dengan latar belakang gelap berukuran cukup besar itu menjadi salah satu hiasan di ruang kerja milik Bagas Sutoko, selain lukisan mural berwarna cerah. Dua buah rak berisi 1.000 eksemplar buku seolah menegaskan ruang berukuran 3 meter x 6 meter itu juga berfungsi sebagai perpustakaan kecil. ”Buku-buku ini bebas dibaca siapa saja. Temanya campur, ada ilmu pengetahuan dan lainnya,” ucapnya.
Baca juga: Hukum yang Rusak dan Keajaiban Kasih
Di tempat yang dinamai Kebun Ilmu atau Kebun Ilmu Opa B inilah lelaki berperawakan langsing dengan rambut agak gondrong itu biasa menerima puluhan siswa yang datang untuk ”berguru”. Di tempat itu, dia mengajarkan bagaimana membuat seni rupa, mulai dari melukis hingga membuat dekorasi untuk berbagai acara dan perangkat pentas.
Salah satu murid Bagas rutin datang setiap pekan untuk belajar melukis di tempat itu sejak kelas III SD hingga saat ini duduk di bangku kelas I SMP. Bagas mengajari anak itu dan anak-anak lainnya secara cuma-cuma. Ia tidak menarik biaya sepeser pun dari mereka. Meski begitu, acap kali mereka memaksa agar Bagas mau menerima sedikit uang lelah yang mereka sodorkan.
”Yang paling sering, mereka meminta bantuan membuat dekorasi kegiatan, properti sendratari dan drama di sini. Saya bersikap lentur. Mereka ingin apa saya ajarkan. Semua yang berbau seni rupa (saya ajarkan), kecuali membuat patung. Kalau relief, masih oke,” ucap pria yang pernah mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta itu.
Ada beberapa sekolah di wilayah Kepanjen yang siswanya sering datang ke Kebun Ilmu, antara lain SMA Negeri 1 Kepanjen, SMA Islam Kepanjen, SMPN 3 Kepanjen, SMPN 4 Kepanjen, dan SMPN 1 Kepanjen. Sementara SMPN 2 Kepanjen sudah menyatakan rencana mereka untuk datang ke Kebun Ilmu.
Purnatugas
Menurut Bagas, kegiatan menyebar semangat berkesenian berawal ketika dirinya pensiun dari perusahaan swasta pada 2011. Sebelumnya, Bagas juga pernah bekerja di salah satu perusahaan kimia di Pasuruan, Jawa Timur, sejak awal 1990-an. Sejumlah posisi telah dia rasakan, mulai dari posisi yang menuntutnya bekerja di bidang desain produk, pemasaran, hingga humas.
Purnatugas membuat lelaki yang kini memiliki tujuh cucu itu gelisah. Ia pun memutuskan untuk kembali ke ”habitat” awal, yakni bersinggungan dengan dunia seni rupa. Darah seni memang telah mengalir di nadinya sejak muda, bahkan ketika ia masih anak-anak.
Ia kemudian membuka ruang berkesenian yang terbuka bagi semua orang di rumahnya yang disebut Kebun Ilmu. Kelompok siswa pertama datang tahun 2015. Mereka berasal dari SMAN 1 Kepanjen yang saat itu meminta dibuatkan majalah dinding.
Mereka mengetahui Bagas bisa membuat benda seni dari orangtua mereka. Mereka juga menyampaikan kesiapan membayar semacam uang jasa untuk Bagas. Namun, Bagas menolak halus pemberian uang jasa itu.
”Mereka saya ajak duduk, diskusi, dan saya arahkan agar mereka membuat sendiri. Saya hanya mengarahkan. Sebab, kalau saya yang membuat, maka yang pintar hanya saya sendiri. Saya tidak ingin seperti itu,” kata Bagas mengenang.
Singkat cerita, kelompok siswa dari SMAN 1 Kepanjen berhasil membuat majalah dinding karya mereka atas bimbingan Bagas. Dari situlah nama Bagas kemudian beredar di kalangan siswa.
Dari situlah nama Bagas kemudian beredar di kalangan siswa. Banyak di antara mereka yang kemudian datang ke tempat Bagas untuk merampungkan ”hajat” dalam hal berkesenian.
Limpahan buku
Kegiatan belajar di Kebun Ilmu makin terasa setelah ada aneka buku. Sambil menyelesaikan tugas, mereka bisa membaca buku yang disukai. ”Masalahnya, animo anak muda saat ini untuk membaca acap kali kalah dengan gadget,” ujarnya.
Buku-buku di Kebun Ilmu berasal dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Malang. Buku itu tidak serta-merta sampai ke tempat itu, tetapi juga melalui beberapa proses pada 2018 silam.
Mengenai asal mula buku, Bagas menuturkan lima tahun silam dirinya sering melihat pameran dalam rangka Hari Kemerdekaan RI di halaman Stadion Kanjuruhan. Ada sejumlah stan dalam pameran itu, tetapi stan perpustakaan kondisinya paling sepi pengunjung. Kalah dengan stan yang lain.
Dari situ, Bagas memberanikan diri bertanya ke penjaga gerai apakah di perpustaan masih ada buku bekas. Ternyata ada. Bagas pun mengajukan surat ke Dinas Perpustakaan dan Arsip. Surat itu pun mendapat respons. Satu bulan kemudian, dia diminta datang ke dinas yang bersangkutan.
Ternyata gayung bersambut, mereka tidak jadi memberikan buku bekas, tetapi buku baru dengan jumlah 1.000 eksemplar. ”Mungkin mereka melihat ada kegiatan belajar di tempat saya sehingga memberikan buku itu,” kata ayah empat orang anak ini.
Lelaki yang pernah menjuarai beberapa lomba desain tekstil di Jakarta tahun 1980-an itu mengakui kegiatan cuma-cuma yang dilakukan terhadap siswa sebagai bentuk berbagi, tidak ada motivasi lain. Semangat berbagi itu telah dia miliki sejak lama meski terkadang pihak keluarga merasa berat.
”Saya ingin menjamu mereka. Kalau membayar sama artinya mereka yang menjamu saya. Kalaupun saya ingin kaya, saya tidak ingin uangnya berasal dari mereka, tetapi dari kegiatan saya sendiri,” katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, Bagas mengandalkan kegiatan lain, seperti ikut lomba seni rupa dan mengerjakan proyek seni rupa.
Pada Ramadhan tahun ini, Bagas mendapat order melukis mural di pilar salah satu masjid di daerah Ampelgading yang berjarak lebih dari 50 kilometer dari rumahnya.
”Saat membuat mural di masjid juga tidak mematok harga. Namun, pihak takmir masjid tetap ingin ada upah. Akhirnya saya bilang, ’Cukup ganti bahan bakar saja’. Akhirnya disepakati upahnya sama dengan tukang batu biasa,” tuturnya sambil tersenyum.
Bagas kini berusia 62 tahun dan telah menjadi opa. Di usianya yang tidak muda lagi, ia justru semakin giat berbagi.
Bagas Sutoko
Lahir: Malang, 13 September 1960
Istri: Sri Mulyanti
Sekolah:
- SD Brawijaya Malang
- SMP2 Malang
- SMA1 Kepanjen
- Akademi Seni Rupa Yogyakartra Jurusan Desain Komunikasi.