Hukum yang Rusak dan Keajaiban Kasih
Situasi yang lemah selalu mudah kalah ini terjadi di mana-mana. Kebenaran pun termakan pelicin cuan. Kasih sayang yang sejatinya melembutkan hanya mampu menembus jiwa-jiwa tulus yang kemudian menjelma menjadi keajaiban.

Salah adegan dalam film Miracle in Cell No.7 yang dibintangi Vino G Bastian dan Graciela Abigail.
Lika-liku hidup memang tak pernah diduga. Namun, kaum yang lemah selalu mudah kalah terjadi di mana-mana. Kebenaran pun termakan pelicin cuan. Kasih sayang yang sejatinya melembutkan hanya mampu menembus jiwa-jiwa tulus yang kemudian menjelma menjadi keajaiban.
Miracle in Cell No.7
Film ini mengambil fokus pada hubungan ayah yang disabilitas mental, Lee Yong-gu dan anak perempuannya yang berusia 6 tahun, Ye-sung dalam menghadapi ketidakadilan dari proses hukum yang cacat terhadap kaum marjinal. Meski dikemas bercampur dengan komedi, drama ini berhasil membuat tangis meledak dan menjadi film terlaris di Korea saat itu.
Belakangan, beberapa negara, seperti Turki dan Filipina, membuat ulang film ini, termasuk Indonesia. Di bawah bendera Falcon Pictures, Hanung Bramantyo didapuk sebagai sutradara. Sejak 2019, proses produksi sudah dilakukan dan dipersiapkan tayang pada 2020. Namun, pandemi mengubah semua rencana sehingga penayangannya baru dilakukan pada 8 September 2022 di semua jaringan bioskop di Indonesia.
Meski mundur jauh dari jadwal tayang, penonton tetap membeludak. Hingga 28 September, tercatat lebih dari 5 juta orang telah menyaksikan film ini. Sebagai film yang dibuat ulang, Miracle in Cell No.7 ini terhitung berhasil dibandingkan dengan beberapa pendahulunya, seperti My Sassy Girl (2022), Bebas (2019), dan Sweet 20 (2017).

Adegan dalam film Miracle in Cell No.7.
Garis besar cerita di sini memang tetap dipertahankan. Hanya saja latarnya disesuaikan dengan kondisi di Indonesia dan perkembangan zaman. Seperti, kondisi penjara yang memang dibuat suram seperti aslinya di sini. Di versi Korea, suasana penjara tetap dibuat dengan warna ceria. Rumah tinggal Dodo dan Kartika juga dibuat di kawasan padat penduduk yang bersanding dengan rel commuter line.
Selain itu, ada beberapa penambahan detail untuk menjaga transisi tiap babak cerita lebih mulus yang mengakibatkan durasinya bertambah dari film aslinya, dari 127 menit menjadi 145 menit.
”Tetap ada supervisi dari para pembuatnya. Tapi, kita diberi kebebasan untuk membuat sesuai dengan yang ada di sini, juga menambah cerita sepanjang tidak melenceng terlalu jauh. Mereka juga memberi masukan jika ada yang dianggap tidak sesuai,” kata penulis skenario Alim Sudio.
Dalam versi Indonesia, kisahnya bermula dari ayah Dodo Rozak (Vino G Bastian), seorang tukang balon yang disabilitas mental dan anak perempuannya, Kartika (Graciela Abigail). Keduanya terpisah karena Dodo dituduh membunuh dan memerkosa Melati Wibisono (Makayla Rose), putri dari seorang politisi. Dodo dipaksa mengaku hingga ia dijebloskan ke penjara dan diputus hukuman mati. Sekitar 17 tahun kemudian, hukuman matinya dianulir karena Dodo terbukti tak bersalah.

Adegan dalam film Miracle in Cell No.7.
Selama di penjara, Dodo tinggal di sel nomor tujuh yang berisi Japra (Indro Warkop), Gepeng (Indra Jegel), Jaki (Tora Sudiro), Bule (Bryan Domani), dan Bewok (Rigen Rakelna). Mereka menjadi seperti keluarga karena Dodo menyelamatkan Japra. Dodo juga menyelamatkan Kepala Penjara Hendro Sanusi (Denny Sumargo) dari kebakaran.
Mereka semua perlahan menyadari Dodo bukanlah pelaku kejahatan, melainkan korban penanganan hukum yang serampangan. Mereka pun bersedia memenuhi keinginan Dodo dengan menyelundupkan Kartika ke dalam sel untuk melepas rindu hingga eksekusi mati dilakukan.
Tajam ke bawah
Adagium hukum yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas pun nyata adanya. Cerita Miracle in Cell No.7 ini memang terinspirasi dari penanganan hukum di Korea Selatan pada era republik keempat yang merupakan rezim militer.
Pada 1972, Jeong Won-seop dituduh membunuh anak kepala kepolisian di Chuncheon. Ia dihukum penjara seumur hidup karena dipaksa mengaku dengan cara disiksa oleh aparat. Setelah menjalani 15 tahun masa hukuman, kasusnya dibuka kembali dan pengadilan membebaskan karena terbukti ia tak bersalah.

Adegan dalam film Miracle in Cell No.7.
Versi Korea juga tetap berkisah tentang komisioner polisi yang merekayasa kasus kematian anaknya seolah terjadi pembunuhan dan pemerkosaan. ”Di sini (Indonesia) yang aman, ya, anak ketua partai. Susah bayanginnya kalau anak Kapolri atau anak Propam. Kita bayangin apa yang bisa bikin semuanya selamat,” ucap Hanung.
Walakin, apa yang terjadi hampir lima dekade lalu di Korea masih terjadi di Indonesia hingga saat ini. Kasus salah tangkap, penersangkaan yang sembarangan, kekerasan aparat dalam penyelidikan perkara bukan isapan jempol belaka. Data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dari Juli 2021-Juni 2022 saja tercatat 677 kekerasan oleh aparat kepolisian. Dari kekerasan ini, ada 1.240 ditangkap yang sebagian menjadi korban salah tangkap.
Tidak berhenti di situ, proses bantuan hukum yang diberikan pun minim, bahkan mudah dipermainkan. Pengacara publik yang diperankan Rukman Rosadi di sini bukannya membela klien, tetapi justru tunduk pada si ketua partai. Uang yang mengatur, katanya, karena itu pejabat bisa semena-mena. Ya polisi, ya politisi.
Kasih sayang yang murni antara ayah dan anak yang menguras air mata jutaan penonton ini tak bisa merobohkan keangkuhan yang merasa punya kuasa untuk melihat kebenaran, apalagi menambal kebobrokan penanganan hukum yang rentan disuap. Ironisnya, para narapidana yang mendapat citra jahat dan keji malah mampu tersentuh dan berbelas kasih. Mereka yang katanya tak punya hati malah mau membantu yang memang tak bersalah. Keajaiban yang manis.
Baca juga: Drama Pernikahan yang Bikin Baper
Penanganan hukum yang kabarnya obyektif pun seolah hanya jargon yang buktinya urung terwujud. Orang yang kadung mati tak bisa dihidupkan kembali. Namun, bagi yang terpinggirkan yang seolah mendapat bantuan hukum pun tak layak, dipaksa menerima ketidakadilan. Berbeda jika dia punya kuasa dan bergelimang uang, segala akan dibelinya agar tak ada hukum yang menjeratnya.
Meski mengacu pada undang-undang yang benar berlaku, ada pengecualian di mata hukum untuk orang disabilitas mental.
Ini memang bukan semata-mata drama keluarga. Ini adalah fakta menyakitkan tentang hukum yang pandang bulu. Semoga keajaiban benar-benar ada dalam wujud bagi semua.