Luciano Spalletti Mengakhiri Kutukan ”Mister Runner-up”
Luciano Spalletti akhirnya menuntaskan kutukan ”mister runner-up” yang melekat pada dirinya di Serie A. Dia mengakhiri kutukan itu seusai membawa Napoli juara Serie A Liga Italia pada laga pekan ke-33, Jumat (5/5/2023).
Pelatih Napoli Luciano Spalletti menangis seusai Napoli mengunci gelar scudetto alias juara Serie A Liga Italia setelah bermain imbang 1-1 dengan tuan rumah Udinese pada laga pekan ke-33, Jumat (5/5/2023). Bukan hanya terharu karena mengenang dukungan dari banyak pihak, dia akhirnya menuntaskan kutukan ”mister runner-up” yang melekat pada dirinya di Serie A. Dia membuktikan kerja keras tanpa henti akan menemukan kesuksesan di waktu yang tepat.
”Saya mendedikasikan ini untuk para pemain yang pantas mendapatkan kebahagiaan ini. Kedua, untuk semua penggemar. Kemudian, kepada semua orang yang bekerja di klub ini. Selain itu, untuk putriku, Matilde, dan seluruh keluarga, teman, serta saudara laki-lakiku, Marcello (yang wafat karena kanker pada 2019),” ujar Spalletti penuh haru kepada DAZN dilansir Football-Italia, Jumat.
Sejak memulai karier kepelatihan 30 tahun lalu, Spalletti akhirnya bisa merasakan euforia meraih gelar Serie A. Spalletti yang menjadi pelatih tertua yang memenangi Serie A—dalam usia 64 tahun 58 hari (mengalahkan rekor Maurizio Sarri dalam usia 61 tahun 203 hari saat mempersembahkan scudetto untuk Juventus pada musim 2019/20)—mengakhiri predikat buruk dari publik sepak bola Italia untuknya, yakni eterno secondo alias ”peraih runner-up abadi”.
”Jelas Naples adalah kota mukjizat karena Anda berhasil membuat saya memenangi gelar, apa pun bisa terjadi. Jika kita bisa mengubah cinta di stadion ini (kandang Napoli) menjadi listrik, kita bisa menerangi setiap arena di Serie A,” ungkap pelatih kelahiran Certaldo, Italia, 7 Maret 1959, itu seraya bercanda.
Memulai dari bawah
Spalletti memulai karier kepelatihan benar-benar dari bawah. Pria ramah senyum itu memulainya dari bekas klubnya saat aktif sebagai pemain, Empoli di Serie C1 pada 18 April 1994. Dengan waktu relatif singkat, dirinya membawa Empoli ke Serie A pada musim 1997/1998.
Capaian itu membuat Spalletti mulai dikenal publik sepak bola Italia. Namun, itu tidak berarti kariernya terus mulus. Dia sempat merasakan pasang-surut. Sehabis tidak bisa berbuat banyak dengan Sampdoria, Venezia, dan Udinese di Serie A selama 1998/1999-2000/2001, dirinya hanya laku untuk menangani tim Serie B, Ancona, pada 2001/2002.
Nama Spalletti baru melambung tinggi ketika mendapatkan kesempatan kedua menukangi Udinese medio 2002/2003-2004/2005. Spalletti membawa Udinese menjadi kuda hitam baru yang menempati urutan keempat klasemen akhir Serie A 2004/2005, yang menjadi peringkat tertinggi Udinese sejak menjadi runner-up musim 1954/1955.
Spalletti pun menyulap pemain-pemain Udinese menjadi bintang baru, seperti penyerang Antonio Di Natale dan Vicenzo Iaquinta, gelandang David Pizarro dan Sulley Muntari, bek Marek Jankulovski, serta kiper Morgan De Sanctis. Berkat itu, Spalletti dilirik oleh sejumlah klub besar Italia.
Spalletti memulai tahapan baru saat memilih AS Roma sebagai pelabuhan barunya mulai 2005/2006. Bersama ”Serigala Ibu kota”, pelatih berkepala plontos itu mencapai puncak pertama kariernya. Dia menghadirkan permainan atraktif yang membuat Roma menjadi salah satu tim paling menghibur di Eropa ketika Barcelona sedang berbulan madu dengan pola tiki-taka ala Frank Rijkaard.
Tak hanya menghibur, Spalletti mengantarkan Roma mengakhiri paceklik juara sejak meraih Piala Super Italia 2001 dengan merebut Piala Italia 2006/2007 dan 2007/2008, serta Piala Super Italia 2007. Meski belum bisa memenangi Serie A, Roma hampir selalu menjadi penantang utama scudetto, yakni urutan kedua musim 2005/2006, 2006/2007, dan 2007/2008.
Itu sesuatu yang luar biasa mengingat Spalletti cuma dibekali skuad seadanya yang sebagian besar pemain dari tim muda Roma dan yang dibeli gratis, antara lain bek Max Tonetto dan gelandang Rodrigo Taddei. Itulah sebabnya, Spalletti dinobatkan sebagai pelatih terbaik Serie A 2005/2006 dan 2006/2007.
”Saat Spalletti menangani Roma, mereka memainkan sepak bola yang hebat. Saya tidak mengenal banyak pelatih yang bersemangat dan terampil seperti dia. Spalletti biasa berada di tempat latihan 12-13 jam sehari untuk mengurus setiap detail yang memungkinkan,” kata Di Natale kepada La Gazzetta dello Sport bulan lalu.
Akan tetapi, karena persoalan internal, Spalletti mundur dari Roma pada pekan kedua Serie A 2009/2010. Tak butuh waktu lama, dia mengambil langkah besar dengan menerima tawaran klub Rusia, Zenit Saint Petersburg. Walau kultur sepak bola Italia dan Rusia sangat berbeda, dirinya membuktikan mampu beradaptasi dengan baik di ”Negeri Beruang Merah”.
Bahkan, Spalletti akhirnya bisa merasakan gelar juara liga perdananya di Rusia. Dia membawa Zenit juara Liga Premier Rusia 2010 dan 2011/2012, serta merengkuh trofi Piala Rusia 2009/2010 dan Piala Super Rusia 2011. Kendati sangat dicintai penggemar dan manajemen Zenit, Spalletti memilih beristirahat sejenak dari dunia kepelatihan medio 2014-2016.
Kembali ke Serie A
Rasa penasaran menjuarai Serie A membuat Spalletti turun gunung dengan kembali melatih Roma untuk menggantikan Rudi Garcia yang dipecat pada pertengahan musim 2015/2016. Spalletti langsung diberi tugas berat oleh investor asal Amerika Serikat yang ingin Roma menjadi raksasa baru sepak bola ”Negeri Spageti”, sekaligus mengakhiri dominasi Juventus yang juara berturut-turut sejak musim 2011/2012.
Tugas itu tidak berlebihan kalau melihat materi mentereng Roma kala itu. ”I Giallorossi” alias ”Si Kuning-Merah” masih diperkuat kapten Francesco Totti, penyerang Mohamed Salah dan Edin Dzeko, gelandang Daniele De Rossi, Miralem Pjanic, Kevin Strootman, dan Radja Nainggolan, bek Maicon, Antonio Rudiger, dan Kostas Manolas, serta kiper Wojciech Szczesny dan Alisson Becker.
Sayangnya, Spalletti tidak bisa memenuhi ekspektasi tersebut. Dia hanya mampu mengantarkan Roma finis di urutan ketiga musim 2015/2016 dan peringkat kedua musim 2016/2017.
Capaian kurang optimal itu membuat Spalletti dinilai tidak bisa lepas dari kutukan ”runner-up abadi” di Serie A. Dengan usia mendekati kepala enam, Spalletti pernah disangsikan masih memiliki waktu untuk menuntaskan rasa penasaran menjuarai Serie A. Apalagi tingkat persaingan semakin ketat dengan para pelatih muda potensial beride segar, antara lain Max Allegri di Juventus dan Simone Inzaghi di Lazio.
Anggapan itu hampir terbukti tatkala Spalletti tidak mampu berbuat banyak bersama peraduan barunya, Inter Milan. Dia cuma menempatkan Inter di urutan keempat musim 2017/2018 dan 2018/2019 sehingga tidak diberi kepercayaan lebih panjang per 30 Mei 2019.
Setelah didepak Inter, Spalletti memutuskan bergabung dengan Napoli pada 29 Mei 2021. Ternyata, ini menjadi keputusan penting yang kelak mengubah haluan hidupnya. Saat banyak yang menilainya sudah habis, dia justru bisa mematahkan semua prediksi sinis tersebut.
Spalletti membawa Napoli juara Serie A musim ini seusai berada di urutan ketiga musim lalu. Tidak ada yang menyangka Napoli bisa mengakhiri paceklik juara selama 33 tahun itu atau sejak mereka memenanginya pada 1986/1987 dan 1989/1990 di era Diego Maradona.
”I Ciucciarelli” alias ”Si Keledai Kecil” berada di bawah bayang-bayang AC Milan yang berambisi mempertahankan gelar, Inter yang berniat membalas dendam disalip Milan musim sebelumnya, dan Juventus yang ingin kembali menguasai Italia. Bahkan, mereka tidak lebih diunggulkan dibandingkan Roma dengan proyek ambisiusnya.
”Scudetto Napoli adalah peristiwa bersejarah, itu adalah sesuatu yang out of the box. Napoli layak mendapatkannya, kota ini pantas mendapatkannya. Saya tidak pernah berhenti percaya bahwa itu bisa terjadi. Saya merasa puas, senang, dan tenang telah memberikan begitu banyak kebahagiaan kepada para penggemar. Itulah kebahagiaan sejati,” kata Spalletti kepada Medianordest.
Modal pengalaman
Spalletti menjadikan segenap pengalaman manis dan pahitnya sebagai senjata rahasia yang mematikan. Hal itu dimulai dengan keputusan kontroversialnya yang membiarkan manajemen melepas para pemain yang bertahun-tahun menjadi ikon klub pada musim panas lalu, seperti kapten Lorenzo Insigne pergi gratis ke Toronto FC, gelandang Fabian Ruiz dijual 23 juta euro (Rp 373 miliar) ke Paris Saint-Germain, dan bek Kalidou Koulibaly dilego 38 juta euro (Rp 616 miliar) ke Chelsea.
Spalletti paham betul siapa pemain yang dibutuhkan untuk menjalankan skema permainan yang diinginkannya. Bukan bintang yang dipilihnya untuk menggantikan kepergian para ikon tersebut, melainkan pemain-pemain yang hijau dengan kultur sepak bola Italia, antara lain bek Kim Min-jae dibeli 18 juta euro (Rp 291 miliar) dari Fenerbahce, bek Mathias Olivera diboyong 16,5 juta euro (Rp 267 miliar) dari Getafe, dan gelandang Khvicha Kvaratskhelia direkrut 11,5 juta euro (Rp 186 miliar) dari Dinamo Batumi.
”Beberapa orang memprotes tim musim panas lalu dan saya tidak suka itu. Ketika saya mengatakan, kami harus menantang scudetto, orang-orang mengeluh dan merasa saya telah melewati batas. Tetapi, apa yang saya katakan adalah untuk mengeluarkan kemampuan maksimal dari para pemain ini dan juga membangun mentalitas,” tegas Spalletti.
Keandalan Spalletti meracik pemain nonbintang di Udinese dan Roma diaplikasikannya dengan lebih matang di Napoli. Dia bisa membuat para pemain itu tampil penuh percaya diri. Dirinya paham betul pemain-pemain itu belum mendapatkan beban harapan berlebihan dari para penggemar.
Tak ayal, Victor Osimhen menjadi penyerang buas yang hingga pekan ke-34 bertengger di urutan pertama daftar pencetak gol terbanyak dengan 23 gol dari 28 laga. Kvaratskhelia dianggap titisan Maradona dengan julukan ”Kvaradona”, akronim namanya dan ”Dewa Sepak Bola” dari Argentina tersebut. Kim Min-jae menjadi tembok tangguh layaknya bek-bek karismatik asli Italia.
Baca Juga: Kebangkitan Terlambat Napoli
Spalletti menemukan keseimbangan baru dalam menerapkan strategi bersama Napoli. Bukan cuma ganas menyerang dengan membukukan 70 gol dari 34 laga atau tertinggi di antara 20 peserta Serie A, ”Gli Azzurri” alias ”Si Biru” pun tangguh di belakang dengan kebobolan 23 gol atau yang terendah sejauh ini.
”Tidak ada rasa tidak hormat kepada pelatih saya sebelumnya, tetapi apa yang telah dilakukan Spalletti di sini tidak dapat dibandingkan dengan hal lain yang pernah saya lihat di tempat lain. Dia jenius. Pada hari kami berhasil menerapkan 99 persen dari apa yang dia ajarkan kepada kami, kami bisa melenyapkan tim mana pun yang kami lawan,” tutur Osimhen kepada France Football awal bulan ini.
Namun, Spalletti tidaklah sempurna. Dia masih punya pekerjaan rumah besar membangun mental Eropa. Musim ini, setelah tampil meyakinkan dengan menjadi juara Grup A dan menyingkirkan Eintracht Frankfurt di 16 besar, Spalletti belum bisa mengantarkan Napoli melangkah lebih jauh setelah kalah agregat 1-2 dari Milan di perempat final Liga Champions.
Spalletti perlu bekerja keras agar bisa melampaui capaian terbaiknya dan ”I Partenopei” di kompetisi terelite antarklub Benua Biru itu pada musim-musim berikutnya. ”Spalletti adalah seseorang yang saya kejar selama bertahun-tahun dan akhirnya saya berhasil mendatangkannya ke Napoli. Dia mengantarkan kami kembali ke Eropa dan sekarang saya ingin membuka era baru bersamanya karena dia pemimpin yang hebat,” ujar Presiden Napoli Aurelio De Laurentiis kepada di Rai 1. (AFP)
Luciano Spalletti
Lahir: Certaldo, Italia, 7 Maret 1959
Profesi: Pelatih sepak bola profesional sejak 18 April 1994
Prestasi:
-Bersama Napoli
·Juara Serie A Liga Italia 2022/23
-Bersama Zenit Saint Petersburg
·Juara Liga Premier Rusia 2010 dan 2011/2012
·Piala Rusia 2009/2010
·Piala Super Rusia 2011
-Bersama AS Roma
·Juara Piala Italia 2006/2007 dan 2007/2008
·Piala Super Italia 2007
-Gelar Individu
·Pelatih Terbaik Serie A Liga Italia 2005/2006 dan 2006/2007
·Panchina d’Oro 2004/2005