Eda mengajak orang-orang mengenal Larantuka. Mengenal dengan melangkah mundur ke lorong waktu Larantuka tempo dulu untuk mengambil bekal menapaki Larantuka di masa depan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Memasuki bangunan berukuran 7 meter x 3 meter itu seperti sedang melangkah mundur ke lorong waktu di masa lampau. Banyak cerita, praktik hidup, serta kearifan lokal di Larantuka tempo dulu sengaja dihadirkan kembali oleh seorang perempuan generasi milenial bernama Magdalena Oa Eda Tukan.
Cerita lampau itu seperti foto beberapa gadis belia yang mengenakan sarung sambil memasukkan batu-batu kecil ke dalam lubang tanah secara teratur. Sekarang, permainan itu sangat jarang dijumpai. Permainan yang membutuhkan kebersamaan itu perlahan lenyap seiring datangnya gawai (gadget) yang membuat anak-anak cenderung merunduk sendiri.
Ada juga foto pria berambut keriting tanpa baju dengan sarung yang menutupi sebagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Bentuk wajah pria yang mempersenjatai diri dengan peralatan berburu itu memang semakin jarang dijumpai sebagai konsekuensi perkawinan campur. Kedua foto tersebut dan beberapa foto lain dipotret pada tahun 1928-1929.
”Foto itu kami unduh dari website salah satu perguruan tinggi di Belanda,” ujar Eda sambil menunjuk deretan foto-foto di dalam bangunan kecil itu pada Sabtu (8/4/2023). Tempat tersebut berada dalam kompleks tempat tinggalnya, yakni perkampungan Sarotari Tengah, Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Di rak yang satu lagi, berjejer buku-buku cetakan ataupun yang ditik menggunakan mesin tik. Banyak cerita mengenai sejarah nama-nama tempat di Larantuka. Ada arti kata nagi yang selalu dilekatkan pada Larantuka. Orang Larantuka biasa mengganti Larantuka dengan sebutan nagi. Ternyata nagi berasal dari bahasa Melayu, yakni nagari, yang berarti kampung.
Pada rak lain dipajang tiga tabung kaca masing-masing berisi minyak dengan ukuran sekitar 500 mililiter. Minyak tradisional diolah dari bahan lokal. Pada tabung pertama bahannya berupa daun, tabung berikut berupa akar, dan tabung terakhir gabungan akar dan daun.
Minyak tersebut dapat digunakan sebagai minyak urut atau minyak gosok. Cocok untuk kulit anak balita ataupun mengatasi keseleo pada orang dewasa. Dulu orang Larantuka biasa pakai minyak ini untuk mengatasi panas pada anak balita sebelum diganti produk dari pabrik obat-obatan. Banyak orang sudah mencobanya dan terbukti berkhasiat.
”Kami buat minyak ini setelah berkonsultasi dengan orang-orang yang sudah sepuh. Mereka tunjukkan bahan-bahannya, cara pengambilan, dan bagaimana pengolahannya. Semua bahan serta prosedur itu kami foto, video, dan catat menjadi dokumen,” ucapnya.
Di depan bangunan itu berdiri dapur kecil bernama Mukosarbo, dalam bahasa setempat artinya pisang paling enak. Di sana mereka mengolah pangan lokal berupa sorgum, ubi, pisang, kelor, dan jagung. Makanan lokal diolah dalam berbagai bentuk dan rasa yang kekinian. Mereka mengangkat kembali derajat makanan yang oleh generasi sekarang dianggap makanan kelas dua.
Dihadirkan pula kue tradisional yang nyaris hilang dari peredaran. Ada kue bolo bele, bolu berukuran besar yang dilukis berbagai gambar, seperti pohon beringin yang melambangkan kesejahteraan. Kue itu biasanya dibawa ketika lamaran pernikahan. ”Acara lamaran sekarang, bolo bele hampir tidak dijumpai lagi,” kata Eda.
Tempat belajar
Tempat koleksi cerita lampau dan dapur pangan lokal bergenre kekinian itu hanya sedikit dari potongan-potongan mimpi Eda yang mulai terwujud. Terlahir dari keluarga pendidik yang kuat dengan budaya literasi, Eda terbentuk sebagai orang yang cinta akan sejarah dan budaya. Ayah Eda, Bernardus Tukan, guru yang dikenal kaya referensi.
Setelah lulus dari perguruan tinggi di Jakarta, tahun 2016, bersama keluarga Eda mendirikan lembaga arsip dan kajian bernama Simpasio Institute. Ia dipercaya menjadi pengelola. Tujuan mereka, lembaga tersebut dapat menjadi tempat belajar bagi orang-orang yang ingin mengenal Larantuka, kota pesisir di ujung timur Pulau Flores.
Tak hanya menunggu orang-orang datang ke sana, Eda bersama tim aktif menggelar berbagai kegiatan, di antaranya untuk komunitas anak-anak di Larantuka. Mereka mendongeng dengan mengangkat cerita rakyat mengenai berbagai tema, seperti pangan dan lingkungan. Internalisasi nilai-nilai budaya dan sejarah dikemas sesuai selara anak-anak.
Bagi Eda, anak-anak sejak dini harus diingatkan akan identitas budaya dan wajib diperkenalkan tentang sejarah di mana mereka berada. Untuk mengakomodasi hal itu, mereka menggelar Festival Serwisu Berbuda, yang berarti pesta untuk anak-anak. Festival itu rutin diadakan setiap tahun pada Hari Anak Nasional.
Simpasio juga menggelar Pameran Rupa Nagi 2022. Di sini rekaman tentang Larantuka di masa lalu, kearifan lokal, serta berbagai karya mereka dihadirkan. Mereka mengundang banyak peserta yang bergerak di bidang kebudayaan. Pameran baru pertama kali digelar pada tahun 2022 dan secara periodik akan terus digelar.
Tahun ini Eda memulai program baru, yakni menggelar tur kota Larantuka. Dalam tur ini, mereka memperkenalkan sejarah, budaya, hingga kuliner. Eda mengambil momen menjelang Paskah ketika ribuan peziarah datang ke Larantuka untuk mengikuti prosesi Semana Santa yang berlangsung setiap tahun.
Prosesi Semana Santa merupakan tradisi lokal Kerajaan Larantuka, kerajaan bercorak Katolik yang pernah ada di Nusantara. Inti Semana Santa adalah mengenang Yesus yang dihukum mati, wafat disalib, lalu bangkit. Warisan Portugis yang sudah berlangsung lebih dari lima abad itu didorong menjadi ikon Katolik nasional.
Di luar momentum Semana Santa, Simpasio selalu terbuka kapan saja bagi yang ingin belajar tentang Larantuka. Eda menawarkan tamu dari luar boleh tinggal bersama mereka dan mengikuti aktivitas mereka agar bisa memahami denyut kehidupan orang Larantuka. Dengan begitu, tamu punya lebih banyak pengalaman berkesan.
Kerja sosial yang dilakukan Eda bersama tim memerlukan biaya. Mereka menggunakan anggaran dari kerja kreatif, seperti menjual olahan pangan lokal yang tentu jumlahnya tidak seberapa. Selebihnya dari saku pribadi. Kebetulan mereka punya usaha masing-masing. ”Sampai sekarang ini kami usaha sendiri karena kami tidak tahu buat proposal, he-he-he,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan, Eda sudah melakukan banyak hal positif. Lewat karyanya, generasi era milenial itu mengajak orang-orang berjalan mundur ke lorong waktu Larantuka tempo dulu untuk mengambil bekal menapaki Larantuka di masa depan.