Lebih dari 30 tahun, Veronika konsisten memberdayakan masyarakat lokal di berbagai bidang kehidupan. Ia baru saja terlibat membangun lumbung di tepian Laut Sawu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Dentuman bom di tengah laut bak penolakan terhadap kehadiran Veronika Lamahoda yang berniat mengajak masyarakat merawat pesisir. Selama satu hari pada Mei 2016 itu, ledakan terdengar 50 kali. Ledakan yang bertubi-tubi malah justru semakin memompa semangat perempuan itu untuk maju menyelamatkan ekosistem.
Veronika yang akrab disapa Vero sengaja datang ke sebuah kampung pesisir bernama Desa Bubu Atagamu di Kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Ia datang setelah mendengar kabar bahwa wilayah pesisir di tepian Laut Sawu itu menjadi surga bagi para pengebom ikan selama bertahun-tahun.
Setelah”disambut” dengan ledakan bom, Vero meminta salah satu rekannya menyelam untuk mengambil gambar bawah laut. ”Kerusakan yang cukup parah. Bukit bawah laut hancur. Karang-karang patah dan terbelah seperti tengkorak,” tuturnya seraya menunjuk video tersebut kala ditemui pada Selasa (11/4/2023) siang.
Ternyata tak hanya di satu titik, kerusakan nyaris menyeluruh di sepanjang pesisir sehingga banyak biota laut pun menjauh. Ikan tembang, yang menurut cerita warga dulunya bermain di pesisir itu, telah hilang. Nelayan kian kesulitan mendapatkan hasil tangkapan. Masa depan di laut suram.
Vero lalu bertemu pemerintah desa dan tokoh masyarakat setempat untuk membicarakan persoalan itu. Ia mengutarakan idenya agar pesisir tersebut dilindungi sehingga kembali pulih seperti dulu. Proses membangun konsep itu pun bergulir hingga mereka menemukan sebuah formula yang dalam bahasa lokal Lamaholot disebut kebang lewa lolon.
Secara harfiah, kebang berarti ’lumbung’, sedangkan lewa lolon berarti ’di atas laut’. Dalam konteks ini, kebang lewa lolon dapat diartikan sebagai ’lumbung yang berada di laut’. Dalam budaya setempat, lumbung adalah tempat menyimpan makanan untuk dikonsumsi sehari-hari, disimpan selama periode tertentu, dan ada yang memang tidak boleh diambil.
Sejauh ini, lumbung yang dikenal masyarakat lokal hanya ada di darat. Masyarakat Lamaholot tidak pernah mengenal lumbung di laut. ”Konsep lumbung di darat ini yang coba kami terapkan di laut. Ini tidak terlalu sulit menerapkannya karena semangatnya tetap sama, yakni mengatur tentang persediaan makanan agar tetap terjaga,” katanya.
Konsep lumbung laut tidak bertentangan dengan budaya setempat. Pada prinsipnya, hasil yang diberikan alam tak boleh langsung habis dimakan. Sebagian pemberian dibiarkan tetap hidup agar berkembang biak dan memberikan keberlimpahan terus-menerus. Sebaliknya, keserakahan atas pemberian alam akan membawa kepunahan. Itulah kodrat alam yang harus dipatuhi manusia.
Membuat zona
Setelah disepakati, mereka memulai program lumbung laut. Dibuat beberapa zona yang meliputi zona inti, zona penyangga, dan zona pemanfaatan. Lokasi terparah akibat bom ditentukan sebagai zona inti. Zona ini tidak boleh dijamah sampai kapan pun. Hasil laut di situ tidak boleh diambil. Nelayan dilarang beraktivitas. Begitu aturannya.
Zona penyangga berada di dekat zona inti. Zona penyangga menerima limpahan ikan dan biota laut lainnya dari zona inti. Hasil laut di zona penyangga dapat diambil sekali dalam setahun sesuai waktu yang disepakati bersama. Adapun untuk zona pemanfaatan berada di lingkaran luar. Zona ini dapat dimasuki kapan pun.
Zona-zona itu ditandai dengan pelampung. Zona inti berukuran lebih kurang 120 meter x 70 meter, zona penyangga berkisar 250 meter x 70 meter, sedangkan zona pemanfaatan tak terbatas. Setiap hari, anggota kelompok yang terlibat dalam program ini melakukan pemantauan.
Agar masyarakat patuh dengan ketentuan di setiap zona, mereka membuat kesepakatan berupa sanksi adat. Salah satunya adalah bagi pelanggar diancam dengan hukuman berupa kewajiban memberi makan kepada seluruh masyarakat desa berpenduduk 894 jiwa itu. ”Untuk kesepakatan sanksi ini, masyarakat sendiri yang tentukan. Kami tidak terlibat,” ujarnya.
Tujuh tahun setelah lumbung dibangun, ekosistem perairan perlahan mulai berubah. Karang mulai pulih dan ikan pun semakin banyak. Vero memandang hamparan perairan itu dengan bangga. Perairan yang dahulu seram lantaran sering dihujani bom itu kini menjadi rumah yang damai untuk semua makhluk di laut.
Menurut Vero, pencapaian itu bukanlah buah usahanya semata, melainkan dukungan dari berbagai pihak, seperti masyarakat luas, tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah desa setempat. Selain itu, pendanaan program juga tidak lepas dari bantuan Critical Ecosystem Partnership Fund melalui Yayasan Burung Indonesia, lembaga nonpemerintah yang konsisten memperjuangkan kelestarian alam.
Menikmati hasil
Kepala Desa Bubu Atagamu Benediktus Basa Jawan menuturkan, banyak biota laut sudah pulang ke habitat di pesisir yang telah lama ditanggalkan. Contohnya, ikan tembang, ikan napoleon, ikan tongkol, gurita, dan lumba-lumba kini kembali menari di sana. Saat ini jumlahnya masih sedikit dan diperkirakan akan terus bertambah.
Pulihnya ekosistem otomatis memberikan manfaat ekonomi bagi nelayan lokal. Sekadar membandingkan, pada 2016, penghasilan nelayan per hari rata-rata Rp 25.000, tetapi pada tahun 2023 ini ada yang sempat mencapai Rp 150.000 per hari. Kenaikan pendapatan nelayan menandakan bahwa populasi ikan di perairan semakin bertambah.
Benediktus mengatakan, pemerintah desa dan masyarakat sangat bersyukur dengan keberadaan Vero dan konsep lumbung laut. Pihak desa akan memperkuatnya dengan hukum positif. Tahun ini, pemerintah desa sudah menganggarkan dana Rp 15 juta untuk pembuatan peraturan desa terkait lumbung laut. Mereka sudah memulai dengan tahap konsultasi ke pemerintah kabupaten.
Obsesi besar mereka, lanjut Benediktus, adalah menjadikan lumbung laut sebagai destinasi pariwisata bahari. Mereka akan memperkenalkan tentang perjuangan memulihkan ekosistem pesisir dan mengangkat keberagaman biota laut. Keunggulan mereka adalah lumbung laut itu hanya satu-satunya di Kabupaten Flores Timur.
Sementara, Vero yang lebih dari 30 tahun konsisten memberdayakan masyarakat itu, belum mau berhenti di Bubu Atagamu. Ia masih ingin menerapkan konsep lumbung laut ke beberapa kampung pesisir lainnya di sisi selatan Pulau Solor, seperti Lemanu dan Kenere. Berharap niat baik itu dapat berjalan mulus. Teruslah maju membangun lumbung di laut.