Philipus Dadu Tukan dan Pamor Bambu di Kaki Leraboleng
Selama 23 tahun terakhir, Philipus mengangkat pamor bambu dari daerahnya di bawah kaki Gunung Leraboleng. Hal itu menjadi pencapaian yang berarti bagi dirinya dan masyarakat sekitarnya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Philipus Dadu Tukan (41) duduk bersila di tengah ribuan iratan bambu yang mengelilinginya. Dalam suasana yang tenang di ruang kerjanya, ia tengah memberi sentuhan akhir pada sebuah tas tabung berbahan bambu pesanan dari benua seberang. Kendati sedang dikejar tenggat waktu, ia tampak santai.
Tas tabung dengan ukuran tinggi 37 sentimeter (cm) serta diameter 18 cm itu dapat digunakan untuk membawa barang dengan bobot maksimum 5 kilogram. Rencananya, tas tersebut dan beberapa produk berbahan bambu lainnya akan dikirim kepada pemesannya di Australia satu pekan kemudian.
"Mereka suka bahan bambu dengan alasan bambu adalah hasil alam yang ramah pada lingkungan. Untuk tas ini, hampir semua bahannya berasal dari bambu. Bahan tambahan hanya berupa pewarna dan karet untuk engsel penutupnya, " kata Philipus di rumahnya Desa Blepanawa, Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis (6/4/2023) petang.
Mereka suka bahan bambu dengan alasan bambu adalah hasil alam yang ramah pada lingkungan. Untuk tas ini, hampir semua bahannya berasal dari bambu.
Proses pembuatan tas dimulai dari mengambil bambu yang tumbuh di belakang rumahnya, membuat iratan kecil, merajutnya menjadi anyaman, pembentukan, kemudian sentuhan akhir. Dengan bahan baku bambu sepanjang 6 meter, ia bisa membuat 3 tas tabung. Satu tas bisa dikerjakan paling lama tiga hari.
Selain tas tabung, Philipus juga memproduksi tas kotak, tas laptop, tudung saji, topi, dan tempat tisu. Industri kreatif yang ia kerjakan mengangkat pamor bambu di desa itu dan beberapa desa tetangga yang memiliki hutan bambu di kaki Gunung Leraboleng. Wilayah itu terkenal kaya akan bambu.
Di tengah kebun warga hingga tebing dekat sungai, rimbunan bambu tumbuh liar. Sayangnya, masyarakat setempat masih memanfaatkannya secara terbatas seperti untuk membangun pondok di kebun, dinding rumah tinggal, kandang ternak, dan pagar halaman. Nilai tambah yang diberikan belum cukup berarti.
Kelompok difabel
Philipus pertama kali mengenal kerajinan bambu ketika dimintai tolong pamannya untuk membuat gedek, anyaman dari bambu untuk dinding rumah atau plafon. Anyaman itu sederhana, berbentuk persegi panjang. Ukuran paling besar 2 meter x 1,5 meter. "Saya mulai belajar dari situ. Saya senang sekali. Saat itu saya tidak menuntut harus dibayar, " tuturnya.
Melihat motivasi dan semangat kerja Philipus yang tinggi, pamannya mempercayakan pengerjaan pesanan gedek kepada Philipus. Saat pamannya tak lagi bekerja karena faktor usia, Philipus melanjutkan usaha tersebut. Ia pun menjadi perajin gedek terkenal di daerah itu.
Pada suatu masa, pesanan dalam jumlah banyak terus berdatangan sehingga ia merekrut warga setempat untuk ia latih. Sebagian dari mereka kemudian membantu dirinya, tetapi banyak pula yang membuka usaha sendiri sebagai perajin gedek. Jumlah perajin gedek pun kian banyak.
Tak mau berpuas diri, Philipus kemudian mencari inovasi lain. Tahun 2016, ia diundang mengikuti pelatihan anyaman bambu dengan instruktur dari Jawa Timur. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan belajar selama lima hari itu. Para peserta dilatih membuat berbagai berbagai produk dari bambu selain gedek.
Dari 10 peserta yang dilatih saat itu, hanya Philipus yang bertahan hingga saat ini. "Pelatihan itu menjadi modal berharga untuk saya sehingga saya boleh berada di titik ini. Saya pun berjanji akan membagikan ilmu ini pada orang yang membutuhkan," ujar lulusan SMA itu.
Philipus pun membuktikan omongannya. Ia kini menjadi salah satu instruktur anyaman bambu di Flores Timur. Dalam sejumlah kesempatan, dinas sosial setempat meminta dirinya melatih kelompok difabel. Ada jadwal tetap yang sudah mereka sepakati. Ia juga melatih perajin bambu hingga ke beberapa daerah di NTT.
Tak berhenti di situ. Atas inisiatif sendiri, Philipus merekrut difabel yang dianggap punya keterampilan menganyam bambu untuk bergabung dengannya. "Tantangan terberat adalah mengangkat moril mereka, membangun kepercayaan diri mereka, " ucapnya.
Produk yang mereka hasilkan bersama itu kini banyak beredar di Flores Timur, sejumlah daerah di NTT, di beberapa provinsi, hingga ke luar negeri. Pesanan pun terus berdatangan. Dalam hitungan dia, sudah lebih dari 2.000 produk yang dihasilkan.
Kelestarian bambu
Philipus menyadari, seiring tingginya kebutuhan akan bambu, ketersediaan bambu di alam otomatis akan berkurang. Ia sudah memikirkan itu sejak pertama kali membantu pamannya sekitar 23 tahun lalu. Lebih dari 10 tahun terakhir, ia mulai menanam bambu. Empat tahun sejak ditanam, bambu sudah bisa dipanen.
Ia menanam bambu di belakang rumah dan di kebunnya. Masyarakat sekitar juga ia ajak melestarikan bambu mengingat kebutuhan bambu pada waktu yang akan datang akan terus meningkat. Pasalnya, industri kreatif dengan bahan baku bambu kini tumbuh di mana-mana, termasuk di NTT.
Ketika mengunjungi Pulau Flores pada 2022 lalu, Presiden Joko Widodo sempat menengok kampus bambu di Golewa, Kabupaten Ngada, sekitar 358 kilometer sebelah barat kampung Blepanawa. Hal ini menunjukkan pemerintah pusat memberi dukungan terhadap budidaya dan industri kreatif berbasis bambu.
Obsesi besar Philipus adalah memiliki tempat usaha kerajinan bambu yang representatif dan dapat mempekerjakan banyak orang, terutama dari kelompok difabel. Selama ini, ia menggunakan ruang tengah rumahnya untuk bekerja. Ia menyadari, modal menjadi hambatan.
Philipus yakin, usaha anyaman bambu dapat berkembang jika pemerintah ikut membantu dari sisi pemasaran. Banyak industri kreatif di daerah mati sebelum berkembang lantaran tak memiliki akses pasar. Dukungan lain yang dibutuhkan adalah pendampingan agar kualitas yang mereka hasilkan dapat bersaing dengan produk dari daerah lain.
Philipus pernah merasakan dukungan itu. Tahun 2019, Pemprov NTT memesan 200 tas kotak untuk oleh-oleh tamu daerah. Sayangnya, pesanan itu terhenti akibat pandemi Covid-19.
Dalam keterbatasan, Philipus terus mengekspresikan dirinya sebagai perajin anyaman bambu yang terus eksis, dan tak henti membagi keterampilannya kepada orang lain. Mengangkat pamor bambu dari daerah di bawah kaki Gunung Leraboleng, itu sudah menjadi pencapaian yang berarti bagi dirinya dan masyarakat sekitarnya.