Fransisca Ariantiningsih (45) bersama Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre terus bekerja menyelamatkan orangutan dari perburuan, perdagangan, konflik dengan masyarakat, hingga kerusakan habitat
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
Fransisca Ariantiningsih (45) bersama Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) terus bekerja menyelamatkan orangutan dari perburuan, perdagangan, konflik dengan masyarakat, hingga kerusakan habitat. Lahir dan besar di Papua, Fransisca yang berdarah Jawa bekerja untuk konservasi orangutan Sumatera dan orangutan Tapanuli.
Fransisca bersama timnya tampak sibuk beraktivitas di kantor mereka di Medan, Sumatera Utara, Kamis (30/3/2023). Panas terik matahari siang itu tidak begitu terasa di kantor dengan arsitektur tropis itu. Embusan angin dari celah pintu bambu, jendela yang lebar dan banyak, serta pohon rindang di taman yang luas membuat udara terasa lebih sejuk.
Beberapa staf YOSL-OIC tampak sibuk di depan laptop di taman terbuka di bawah pohon rindang dengan beberapa boneka orangutan yang bergelantung. Di halaman kantor, beberapa mobil kabin ganda yang dilengkapi kandang transportasi orangutan selalu siaga.
”Sebulan ini saya baru berkeliling ke sejumlah kampus untuk kampanye orangutan Tapanuli. Sekarang sibuk rapat dengan tim dan menyelesaikan urusan kantor,” kata Fransisca yang kini menjabat Direktur Eksekutif YOSL-OIC.
Selama sebulan terakhir ini, Fransisca ikut Roadshow Peduli Orangutan Tapanuli 2023 ke beberapa kampus, antara lain Universitas Sumatera Utara, IPB University, Universitas Multimedia Nusantara, dan Universitas Gadjah Mada.
”Masyarakat Indonesia itu masih punya kesenangan untuk memelihara satwa primata, termasuk orangutan. Ini yang coba kami edukasi kepada anak muda agar memahami bahwa orangutan hidup di hutan, bukan di rumah,” kata Fransisca.
Selama 17 tahun terakhir, Fransisca bergelut di dunia konservasi orangutan. Kecintaannya pada satwa liar bermula sejak dia memilih peminatan konservasi satwa liar di Program Studi Peternakan Universitas Cenderawasih, Papua. Setelah tamat dari program studi itu, dia melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Konservasi Satwa Liar di The University of Queensland.
Dari Australia, Fransisca memilih terjun ke dunia konservasi satwa liar. Dia terbang ke Sumatera Utara untuk bergabung dengan Yayasan Ekosistem Lestari–Program Koservasi Orangutan Sumatera (YEL-SOCP). Setelah bergabung dengan lembaga itu, dia untuk pertama kalinya bertemu dengan orangutan di alam liar saat berkunjung ke kawasan Rawa Singkil, Kabupaten Aceh Singkil.
”Saya sangat tersentuh ketika pertama kali melihat orangutan di alam liar. Tatapan orangutan itu sangat emosional. Dari situ, saya berkomitmen bekerja dalam penyelamatan orangutan,” katanya.
Pada 2014, Fransisca lalu bergabung di YOSL-OIC. Lembaga sebelumnya, YEL-SOCP, berfokus pada karantina dan rehabilitas orangutan. Sementara YOSL-OIC bekerja dalam penyelamatan dan evakuasi satwa dari konflik. Orangutan yang diselamatkan atau dievakuasi YOSL-OIC biasanya akan direhabilitasi di YEL-SOCP.
Sejak bergabung dengan YOSL-OIC, Fransisca selalu terlibat dalam penyelamatan orangutan. Salah satu pengalaman yang paling menyentuh adalah penyelamatan orangutan bernama Hope dan bayinya di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, Maret 2019. Hope mempertahankan bayinya yang baru berusia dua minggu yang hendak diambil pemburu. Ia memeluk bayinya meskipun ditembak senapan angin hingga 74 peluru bersarang di badannya.
Tim penyelamat dari YOSL-OIC yang mendapat informasi langsung terjun dari Medan ke Subulussalam. Tim bersama otoritas pemerintah berhasil mengambil Hope dan bayinya dari pemburu. Namun, bayi orangutan itu mengalami trauma psikis berat sehingga menangis sepanjang malam. Bayi itu juga dehidrasi karena tidak bisa menyusu karena induknya kritis.
Hope akhirnya selamat, tetapi bayinya mati. Bagi Fransisca, kasus Hope mewakili kondisi tekanan perburuan dan perjuangan aktivis konservasi satwa liar.
”Saya seorang ibu. Saya merasakan kepedihan yang dialami Hope akibat kehilangan bayinya. Saya juga merasakan bagaimana teman-teman berjuang untuk menyelamatkan bayi Hope sampai batas kemampuannya,” kata Fransisca
Hope sudah empat tahun dirawat di Stasiun Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Batu Mbelin, Deli Serdang. Dia tidak bisa dilepasliarkan lagi karena kedua matanya buta terkena peluru senapan angin. Para pemburu biasanya hanya mengincar bayi untuk dijual. Namun, untuk mengambil bayi orangutan, para pemburu membunuh induknya.
Penyelamatan lain yang cukup dramatis adalah ketika mengevakuasi orangutan jantan berusia 20 tahun di Kabupaten Karo, pada 2016. Orangutan itu dipelihara warga dari umur tiga tahun sampai 20 tahun di sebuah kandang besi. ”Kami harus memotong kandang besi karena orangutan itu tidak bisa lagi melewati pintu kecil tempat dia masuk ke kandang ketika berusia tiga tahun,” kata Fransisca.
Yang paling miris, orangutan itu seakan tidak menyadari bahwa dia adalah seekor orangutan. Dia takut dan gemetar ketika melihat orangutan lain di pusat rehabilitasi. ”Sepanjang hidup di kandang dia tidak pernah melihat orangutan lain,” kata Fransisca.
Selain penyelamatan orangutan dari konflik, YOSL-OIC yang didirikan oleh Panut Hadisiswoyo itu juga melaksanakan program restorasi habitat orangutan di ekosistem Leuser yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan hutan penyangganya.
Bersama Balai Besar TNGL, YOSL-OIC merestorasi 2.195 hektar kawasan ekosistem Leuser. Restorasi dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat penyangga hutan. Masyarakat dilibatkan mulai dari budidaya bibit pohon sampai penanaman di daerah terdegradasi.
Sejumlah masyarakat secara sukarela menebang sawit yang ditanam di kawasan taman nasional. Namun, tidak sedikit kelompok masyarakat yang melakukan penolakan. Pernah juga pondok YOSL-OIC dan Balai Besar TNGL dibakar perambah di kawasan Bukit Mas, Kabupaten Langkat. Kawasan itu akhirnya bisa diambil alih TNGL setelah melibatkan pengamanan aparat kepolisian.
Beberapa kawasan TNGL yang sudah direstorasi kondisinya saat ini sudah membaik antara lain di kawasan Resor Halaban (500 hektar), Bukit Mas (300 hektar) Sekoci (500 hektar), Barak Induk (100 hektar), dan Cinta Raja (225 hektar).
Berdasarkan pemantauan kamera jebak, satwa kunci hutan tropis Sumatera, yakni orangutan, harimau Sumatera, dan gajah Sumatera sudah ditemukan di Halaban dan Cinta Raja. Di Bukit Mas juga sudah ada harimau Sumatera dan orangutan.
Keberhasilan restorasi habitat orangutan tersebut menjadi kabar baik di tengah tekanan besar yang dialami oleh orangutan Sumatera. Saat ditanya pandangannya tentang kondisi populasi orangutan Sumatera dan orangutan Tapanuli, Fransisca menarik napas panjang.
”Perjuangan menyelamatkan orangutan ternyata masih panjang. Kami sebelumnya bermimpi pada 2020 tidak perlu lagi ada rescue orangutan, ternyata masih harus ada. Penyelamatan ini tidak bisa hanya dilakukan orang konservasi, benar benar membutuhkan semua pihak,” kata Fransisca.