Lie Martina, Bumi Menulis untuk Perbatasan
Lie Martina menemukan dirinya melalui menulis hingga jadi semacam ”daya hidup”. Menulis juga menjadi ruang bagi Tina mencoba berkontribusi bagi perkembangan literasi di daerah asalnya, di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Lie Martina (27) merasa menemukan dirinya saat menulis. Menulis memberinya daya hidup. Menulis juga memberi ruang bagi Tina untuk berkontribusi bagi perkembangan literasi dan pendidikan di daerah asalnya di perbatasan Indonesia-Malaysia melalui komunitas Bumi Menulis yang ia bentuk.
Lie Martina atau yang akrab disapa Tina Lie menunjukkan sebuah buku berjudul Aku dan Bumi Menulis di Balai Karangan, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia-Malaysia, Minggu (29/1/2023). Itu merupakan salah satu buah yang ia petik dari petualangan menulis yang ia lakukan sejak 2018.
Kegandrungan Tina pada dunia menulis justru dilatari oleh kegalauan. Alkisah, setamat kuliah di jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Respati Yogyakarta Yogyakarta, ia gelisah karena merasa belum menemukan jati diri. Tina merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya.
Ia memasukkan banyak lamaran kerja, bahkan di antaranya sudah dipanggil untuk wawancara. Namun, peluang pekerjaan tidak ia ambil karena merasa tidak bisa mengantarnya untuk menemukan jati diri. ”Saat pulang ke rumah di perbatasan setamat kuliah, saya merasa ada krisis dalam diri. Apa sebenarnya yang saya mau?”
Di tengah kegalauannya, ia diminta orangtuanya mendaftar pekerjaan di salah satu credit union (CU). Ia turuti permintaan orangtuanya dan bekerja di CU selama satu tahun tujuh bulan. Namun, ia tetap merasa belum menemukan apa yang sesungguhnya ia cari.
Baca juga: Bambang F Wibowo, Pejuang Literasi bagi Anak dan Petani
”Aku tidak bisa tidur. Kalau tidur seperti ada hantu yang mau menerkam. Pernah juga tiba-tiba seperti ada yang mau membunuhku,” ungkap Tina yang akhirnya berkonsultasi dengan temannya yang juga psikolog. Sang teman mengatakan, Tina lebih cocok bergelut di bidang komunikasi, seni, tata rias, dan menulis. Tina juga dibimbing menemukan apa yang ia sukai dan membuat ia merasa bebas.
Tina akhirnya memilih menulis. Tulisan pertamanya berupa cerpen berjudul Anak Kos yang bercerita soal persahabatannya dengan teman-teman satu kos di Yogyakarta.
Suatu ketika, Tina melihat di salah satu media sosial ada lomba menulis cerpen. Tina memutuskan mengikuti lomba itu. Dari 100 peserta, Tina menempati peringkat ketujuh. Dari situ ia sadar ternyata punya potensi di bidang penulisan.
Semangatnya untuk menulis tumbuh subur. Ia terus menulis cerpen dan ikut hampir semua lomba menulis cerpen. Ia juga mengikuti kelas menulis secara daring untuk mengasah kemampuan menulis.
Ia merasa takjub karena menulis membuat ia tahu apa yang ia mau. Ia merasa menemukan jati dirinya yang lama ia cari-cari.
Daya hidup
Ia juga menemukan ruang berbagi daya hidup melalui dunia menulis. Bersama teman-temannya, ia mulai berbagi dengan membuka kelas menulis gratis. Selain itu, ia juga mengajak orang-orang di sekitarnya untuk mulai menulis pada 2020.
Sayangnya, tidak ada yang tertarik dengan ajakan itu. Namun, Tina tidak kehabisan akal. Ia hubungi teman-teman kerjanya di CU untuk menulis bersama dan membentuk ekosistem baru. ”Ada yang mau bergabung. Saat itu lima orang,” kata Tina.
Kelima teman Tina itu sama sekali belum pernah menerbitkan buku, tetapi mereka tertarik dengan ajakan Tina. ”Saya bilang, jangan khawatir soal biaya penerbitan. Nanti saya semua yang tanggung,” ujar Tina.
Baca juga: Oktavianus Beda Raran, Jagung Titi untuk Literasi
Itulah cikal bakal komunitas Bumi Menulis. Teman-temannya menulis cerpen. Tina mengeditnya dan mencarikan penerbit. Setahun kemudian, mereka berhasil membuat buku kumpulan cerpen pada Januari 2021.
”Saya senang dan kaget. Ternyata teman-teman aku punya potensi di bidang literasi. Dengan menulis, mereka juga bisa menuangkan kegelisahan hidup,” ujar Tina.
Ia makin semangat mengajak orang latihan menulis lewat kelas menulis daring secara gratis. Tina yang mengajarkannya. Ada 10-12 orang yang ikut dari beragam latar belakang, mulai anak sekolah sampai pekerja. Peserta ternyata tidak hanya dari daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kabupaten Sanggau, tapi juga dari provinsi-provinsi di Indonesia. Dari pertemuan itu, terbit lagi buku kumpulan tulisan bersama.
Tina melanjutkan kelas ketiga. Kali ini berbayar karena ia meminta bantuan teman-temannya untuk mengedit. ”Kalau tidak dibayar kasihan. Berjalan waktu sampai sekarang ada dua buku lagi mau terbit, cerpen,” tambahnya.
Tina melihat ruang lain baginya untuk berkontribusi bagi pendidikan di perbatasan. Ia mengajak teman-temannya di komunitas Bumi Menulis untuk berkunjung ke sekolah di kampung-kampung untuk mendorong kegiatan literasi. Salah satu sekolah yang mereka datangi ada di Sontas, Kecamatan Entikong, masih di wilayah perbatasan.
Baca juga: Padukan Musik dan Literasi lewat Griya Baca Jelita
Di sekolah itu Tina dan teman-temannya mendongeng untuk anak-anak. Dongeng diambil dari kisah buku yang mereka tulis. Mereka berharap, dongeng yang mereka tuturkan bisa menumbuhkan rasa penasaran pada anak-anak terhadap literasi. Anak-anak antusias kala itu. Setelah itu, komunitas Bumi Menulis baru memberikan hal yang lebih dari dongeng, seperti belajar tentang kebudayaan dan sebagainya.
Mereka pernah juga mendongeng di Desa Raut Muara di Kecamatan Sekayam, juga masih daerah di perbatasan. Kegiatan itu bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia.
Mereka mendongeng tentang Hari Kemerdekaan yang memupuk jiwa nasionalisme. Guru-guru di sekolah itu ada yang tidak menyangka bahwa di perbatasan ada inisiatif komunitas seperti itu.
Komunitas Bumi Menulis belakangan juga menyapa siswa di Taman Kanak-kanak. Tina dan teman-temannya mendongeng dan mengajak anak-anak belajar tentang buah-buahan. Mereka ajak anak-anak merasakan buah-buahan yang mungkin belum pernah mereka cicipi.
Seturut kegiatan itu, ada beberapa sekolah yang menjajaki komunikasi dengan komunitas Bumi Menulis untuk memberikan pelatihan menulis di sekolah. Bukan hanya untuk siswa SD, tetapi siswa SMP dan SMK.
Selama ini, dana untuk kegiatan literasi ditanggung komunitas. Belakangan komunitas Bumi Menulis mengumpulkan donasi dari sejumlah pihak. Sebagian donasi dipakai untuk membeli hadiah bagi anak-anak.
Apa pun dilakukan Tina dan kawan-kawan untuk mendorong literasi dan pendidikan. Tina sadar benar, literasi dan pendidikan akan membuka cakrawala anak-anak di perbatasan. Ia ingin anak-anak di perbatasan bisa mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang sama seperti yang ia terima saat kuliah di Yogyakarta.
Komunitas Bumi Menulis sejauh ini beranggotakan 28-30 orang. Mereka telah melahirkan sejumlah buku, antara lain Cerita Anak Pedalaman, Perempuan dan Rahasia, Kumpulan Cerita Rakyat Kalimantan Barat, Bangkit untuk Lebih Kuat, dan Mangata. Menulis menjadi wadah mencurahkan kegelisahan. Kemudian, melahirkan spirit baru.
Komunitas Bumi Menulis sudah berjalan sekitar tiga tahun. Tina memberi nama komunitas yang didirikannya itu Bumi Menulis karena, menurut dia, setiap orang di Bumi memiliki potensi untuk menulis.
Ke depan, Tina bercita-cita memiliki yayasan pendidikan sehingga bisa berkontribusi lebih besar untuk berbagi daya hidup lewat literasi dan pendidikan di perbatasan.
Lie Martina
Lahir: Kabupaten Sanggau, 25 Maret 1995
Pendidikan terakhir:
- SDN 01 Noyan 2001-2007
- SMPN 01 Noyan 2007-2009
- SMA Maniamas, Ngabang, Kabupaten Landak, 2010-2013
- Universitas Respati Yogyakarta, Jurusan Kesehatan Masyarakat 2013-2017
Aktivitas: Pendiri dan Ketua Komunitas Bumi Menulis
Buku antara lain: Aku dan Bumi Menulis
Buku yang ditulis bersama Bumi Menulis:
- Cerita Anak Pedalaman
- Perempuan dan Rahasia
- Kumpulan Cerita Rakyat Kalimantan Barat
- Bangkit untuk Lebih Kuat
- Mangata