Oktavianus memanggungkan jagung titi, kuliner khas masyarakat suku Lamaholot. Hasil kreasinya itu ia pakai untuk memperkuat kemampuan literasi generasi muda di sana.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
FRANSISKUS PATI HERIN
Oktavianus Beda Raran memperlihatkan produk jagung Titi dalam kemasan. Hasil penjualan jagung titi itu dipakai untuk kegiatan literasi.
Biji jagung disangrai dalam priuk tanah liat. Dengan tangan kosong, Oktavianus Beda Raran (35) menjumput satu per satu biji jagung panas itu, kemudian langsung memipipihnya menggunakan batu. Biji jagung tadi telah berubah bentuk menjadi lempengan tipis yang disebut jagung titi.
Jagung titi dicampur dengan biji kacang tanah lalu dimasukkan ke dalam oven hingga suhu tertentu agar lebih renyah. Setelah didinginkan, Beda memberi sentuhan akhir. Jangung titi dan kacang tanah ia isi ke dalam kemasan berbahan aluminium foil, dan siap dipasarkan.
"Ayo dicoba. Awas, bisa ketagihan nanti," ujar Beda melempar candaan sambil tangannya menyodorkan satu bungkus produk olahannya itu saat ditemui di Pulau Adonara, Kabupaten Flores, Nusa Tenggara Timur pada awal November 2022 lalu.
Memanggang jagung titi dan kacang tanah jadi cara Beda memberi nilai lebih pada kuliner lokal itu. Aroma perpaduan jagung dan kacang kuat. Rasanya lebih renyah. Biasanya, warga setempat mengonsumsi jagung titi dan kacang tanah tanpa perlu dipanaskan dalam oven.
Jagung titi merupakan kuliner khas masyarakat suku Lamaholot yang mendiami ujung timur Pulau Flores. Mereka tersebar di sebagian Pulau Flores, seluruh Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata, serta sebagian Kepulauan Alor. Pada setiap upacara adat, pernikahan, dan kematian, jagung titi wajib dihidangkan.
FRANSISKUS PATI HERIN
Jagung Titi, kuliner khas masyarakat suku Lamaholot.
Memanggang jagung titi dan kacang tanah coba dilakukan Beda setelah mendapati banyak orang dari luar daerah itu kurang doyan mengonsumsi jagung titi lantaran teksturnya agak keras. Jika penasaran ingin mencoba, mereka terlebih dahulu menggoreng dengan minyak atau mantega.
Setelah mengolah jagung titi dan kacang, langkah berikutnya menyiapkan kemasan yang menarik. Lewat situs jual beli dalam jaringan, ia memesan kemasan berbahan aluminium foil dari Surabaya, Jawa Timur. "Untuk tulisan gambar di produk, saya belajar desain sendiri lalu dicetak di Kota Kupang (ibu kota Provinsi NTT)," ujarnya.
Setelah mencoba dan mendapatkan hasil olahan yang bagus, ia kemudian mengajak sejumlah anak muda untuk membantu. Mereka terlibat mulai dari pengolahan hingga pemasaran. Dengan cara itu, generasi muda diajak membuat jagung titi, sebuah kebiasaan yang semakin tinggalkan oleh generasi masa kini.
Padahal, bagi kalangan tertentu dalam masyarakat suku Lamaholot, seorang perempuan dikatakan mandiri dan sudah boleh berumah tangga, salah satunya ukuran adalah bisa membuat jagung titi. Maknanya, perempuan diberi tanggung jawab mengolah makanan. Modal ini sudah harus dimiliki sebelum menikah.
Mereka juga diajak mengunggah produk dan cerita tentang jagung titi di media sosial. Tujuannya mempromosikan jagung titi sebagai kuliner khas daerah itu. Ketika banyak daerah di Tanah Air gencar memperkenalkan kuiner mereka, anak muda dari Adonara tidak mau kalah.
FRANSISKUS PATI HERIN
Oktavianus Beda Raran memperlihatkan produk jagung Titi dalam kemasan. Hasil penjualan jagung titi itu dipakai untuk kegiatan literasi.
Jagung titi dan kacang tanah itu kini beredar di berbagai kota di NTT bahkan sampai di Jakarta. "Kalau ditanya berapa keuntungannya, jawabannya sangat sedikit. Malah kadang rugi. Tujuan utama kami adalah mengangkat jagung titi dari Adonara," ucap Beda.
Kini, beberapa anak muda yang ia ajak, sudah membuat gerakan yang sama. Mereka bahkan membentuk kelompok untuk pengolahan jagung titi dan kacang tanah dengan berbagai varian rasa. Ada juga yang melebar ke usaha keripik ubi.
Beda ingin terus memperkenalkan jagung titi hingga ke level dunia. Selama lima tahun terakhir, ia meningkatkan kemampuan komunikasi dan berbahasa. Ia mendalami Bahasa Inggris dan kini ia bisa berbicara dengan bahasa tersebut. Lagi-lagi, ia belajar secara otodidak.
Untuk literasi
Beda tidak memiliki latar belakang pendidikan ekonomi ataupun manajemen bisnis. Juga tak punya pengalaman bekerja pada usaha kuliner. Ia lulusan guru olahraga di Kupang. Setelah diwisuda tahun 2017, ia memilih pulang untuk mengajar dan terlibat dalam gerakan literasi di kampung halaman, Pulau Adonara.
Suatu ketika mengikuti kegiatan temu literasi di Kabupaten Sabu Raijua, ia mendengar cerita dari peserta lain yang sudah lebih dahulu terjun ke usaha ekonomi kreatif. Ia tertarik. Uang harian sebesar Rp 300.000 yang diperoleh dari pengundang saat itu, dipakai sebagai modal awal.
Kini, sebagian uang yang dihasilkan dari penjualan jagung titi ia gunakan untuk mengembangkan pondok baca di kampungnya lewat pengadaan buku dan alat peraga. Banyak siswa khususnya di tingkat sekolah dasar mempuyai minat baca yang tinggi namun terkendala buku. Pondok baca yang berada di kampung Honihama, Pulau Adonara itu, kini memiliki 500 judul buku. Sayangnya, pondok baca itu masih menumpang di bangunan milik orang lain.
Keberadaan pondok baca selama lima tahun terakhir membawa perubahan bagi anak-anak setempat. Mereka sudah lancar membaca sejak duduk di sekolah dasar. Sebab, di NTT, banyak siswa sekolah menengah atas yang belum lancar membaca dan berhitung. "Mereka juga semakin lancar berbicara menggunakan Bahasa Indonesia," ucapnya.
Pencapaian yang paling membanggakan Bedaadalah ketika melihat anak binaannya mulai berani tampil di muka umum baik kegiatan di sekolah, membaca kitab suci di rumah ibadah, dan berbicara dalam acara di lingkungan tempat tinggal. Mereka punya perbendaharaan kata yang semakin banyak dan sering dilatih tampil.
Beda punya mimpi memiliki sebuah bangunan kecil untuk pondok baca sekaligus galeri penyimpanan pangan lokal. Kini ia sudah mendapatkan sebidang tanah, dan sedang menabung agar bisa membangunnya suatu ketika. Tak ada target, ia mengerjakannya sesuai kemampuan keuangan.
Maksimus Masan Kian, penggiat literasi sekaligus Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Kabupaten Flores Timur, mengatakan, Beda merupakan anak muda yang punya kemauan kuat untuk maju. "Dia belajar desain produk dan belajar Bahasa Inggris secara otodidak. Ia ingin maju," ucap Masan seraya mengajak anak muda di daerah itu agar mencontohi jejak Beda.
Di tengah keterbatasan, Beda melakukan dua hal penting. Pertama, setelah memberi nilai tambah, ia manggungkan kuliner lokal jagung titi. Kedua, uang yang dihasilkan dari kreativitas itu ia gunakan untuk memajukan gerakan literasi di sana. Jagung titi untuk literasi.
Oktavianus Beda Raran
Lahir: Honihama 17 November 1987
Pendidikan terakhir: Sarjana Guru Olahraga pada Universitas PGRI NTT tahun 2017.