Bambang F Wibowo Pejuang Literasi bagi Anak dan Petani
Dia banyak bergaul dengan wartawan dan fotografer kemudian tertanam bahwa cara kerja jurnalistik bisa dia terapkan untuk pemberdayaan perempuan dan anak. Inilah salah satu bekal dia mendirikan yayasan.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·5 menit baca
ARSIP BAMBANG F WIBOWO
Bambang F Wibowo
Pengalaman masa kecil hidup di jalanan memicu Bambang F Wibowo memberdayakan anak-anak dan perempuan di Kota Medan lewat literasi. Dia ingin mereka mampu mengumpulkan informasi untuk dijadikan dasar pengambilan sikap dan keputusan dan terhindar dari kekerasan. Untuk menjaring anak-anak dan para perempuan itu, dia mendirikan Yayasan Fajar Sejahtera Indonesia.
Puluhan anak duduk bersila membaca buku lalu dilanjutkan dengan bermain bersama di Rumah Pintar Yayasan Fajar Sejahtera Indonesia (Yafsi) pertengahan Desember tahun lalu di Jalan Pengilar Medan Amplas, Kota Medan, Sumatera Utara. Anak-anak usia sekolah dasar itu tampak riang gembira dikelilingi buku dilanjutkan dengan diskusi.
Pada kesempatan lain di akhir Desember lalu, para petani di Desa Semangat, Kecamatan Merdeka, Kabupaten Karo, menata wortel, tomat, dan beberapa sayuran lain untuk difoto. Mereka tengah belajar cara memasarkan sayuran secara digital. Pemahaman baru itu mereka peroleh dari pelatihan yang digelar Yafsi. Para petani mulai paham dasar-dasar fotografi, edit foto, sampai pemasaran secara digital. Ini salah satu cara Yafsi membangun kemandirian petani dan pemuda desa.
Dua contoh tadi merupakan aksi nyata Yafsi yang didirikan Bambang F Wibowo pada Mei 2015. Yayasan ini bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan anak secara partisipatif. Sasarannya adalah kelompok perempuan dan anak yang rawan secara sosial dan ekonomi sehingga mereka mampu menggali potensi diri untuk lebih mandiri.
Kunci pemberdayaan tersebut, kata ayah tiga anak yang akrab disapa Bambang ini, adalah literasi. ”Literasi bukan sebatas membaca dan menulis, melainkan bagaimana memberikan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Masyarakat diajak memaknai fakta, menganalisia informasi, lalu menjadikannya untuk menyelesaikan masalah,”” kata Bambang, Kamis (5/1/2023).
Masa kecil
Bambang lahir dan tumbuh di kompleks Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan (TMP-BB) Medan di Jalan Sisingamangaraja, Medan, salah satu jalan tersibuk yang menghubungkan Medan dengan banyak kota lain. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, ayahnya meninggal, tinggal ibunya yang mengasuh dia dan dua saudaranya. Ketika SMP, Bambang tergerak membantu ibunya dengan menjadi tukang semir sepatu dan jualan kue di sepanjang Jalan Sisingamangaraja tersebut. Di situ dia melihat dan mengalami beragam kekerasan, mulai dari pemalakan hingga pemukulan. Untuk membentengi diri, Bambang tergabung dalam salah satu perguruan bela diri hingga tahun 1995.
Tapi baginya itu saja belum cukup untuk bekal hidup sehingga dia memutuskan kuliah di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung (sekarang Poltekkessos). Di sinilah dia menimba ilmu dan pengalaman terkait perlindungan anak dan perempuan ”Pengalaman masa kecil membuktikan dua kelompok ini yang sangat rentan mengalami kekerasan,” ujarnya.
Selepas kuliah dia menambah pengalaman hidup termasuk mencari kerja. Tahun 2004 dia terlibat membantu korban gempa dan tsunami Aceh. ”Momen ini menjadi titik balik perjalanan saya berpindah dari satu kota ke kota dan provinsj lain, seperti Sumatera Barat, Pulau Mentawai, Nias, Simeulue, Sulawesi Tengah, dan Papua. Misinya sama, yaitu untuk kegiatan humanitarian di sektor kebencanaan, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan,” ujarnya. Tahun 2012 saat kembali ke Medan, dia banyak bergaul dengan wartawan dan fotografer kemudian lambat laun tertanam dalam benaknya bahwa cara kerja jurnalistik bisa dia terapkan untuk pemberdayaan. Baginya, kemampuan narasi seorang jurnalis itu sangat esensial dalam hidup.
Akhir tahun 2012 diajak terlibat dalam AL Kala Project untuk pelestarian Sungai Deli. Al Kala Project kemudian berubah menjadi Save Our River Consortium dengan melibatkan 9 organisasi. Setahun kemudian, konsorsium ini vakum.
Bambang kemudian merancang pembentukan Yafsi dengan beberapa relawan Sungai Deli. Pelan-pelan dia mengajak mahasiswa agar dilatih dalam program jurnalisme lingkungan dan pariwisata yang masing-masing kelas sampai 30 orang. Mereka diajari teknik dasar fotografi dan menulis feature (soft news) dengan mendatangkan para praktisi.
Hingga kini sudah lima kali angkatan tetapi belum berlanjut karena pandemi. Lulusan kelas ini diajak untuk turut memberdayakan anak dan perempuan. Salah satu programnya adalah Sungai Deli Membaca, yakni mengajak anak-anak yang tinggal di sepanjang Sungai Deli untuk lebih banyak membaca buku. Dalam program yang berjalan sejak November 2015 ini, Bambang dan para relawan menaiki perahu karet dan membawa ratusan buku untuk kemudian dibagikan kepada anak-anak. Selanjutnya, mereka dilibatkan untuk membersihkan sampah. Salah satu tujuannya adalah membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga kebersihan sungai.
Program ini terinspirasi oleh dua hal, yakni praktik yang mirip di Kali Code Yogyakarta dan sejarah Majapahit. Bagi Bambang, sebagaimana yang dia baca tentang Kerajaan Majapahit, Sungai merupakan urat penting dalam peradaban. Jika dia dijaga dengan baik, peradaban manusia akan baik pula. Semangat inilah yang dia tularkan kepada warga yang hidup di tepi Sungai Deli. Sungai sepanjang 73 kilometer ini membelah Kota Medan, yang pada zaman Kerajaan Deli menjadi urat nadi jalur perdagangan ke daerah lain. Sekarang kondisinya tercemar, utamanya oleh limbah domestik.
Pada tanggal 15 Mei 2015, Yafsi resmi berdiri dan memiliki badan hukum. Yafsi masih menggunakan pendekatan literasi, yaitu Rumah Pintar (RUPIN), Pojok Literasi, Kemah Remaja dan Literasi Pariwisata, Go You Lead, dan masih ada beberapa kegiatan literasi yang berbasis masyarakat. Bambang kini duduk sebagai pembina Yafsi dan Ketua Yafsi dipegang Badriyah, istrinya.
Belakangan, kegiatan Yafsi meluas hingga Kabupaten Karo. Mereka mengajak para petani untuk sadar teknologi dan menggunakannya dalam mengembangkan diri, misalnya dalam memasarkan hasil panen. Para petani ini mereka latih memotret, mengedit, dan menulis. Tahun 2019, Yafsi terpilih menjadi Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Teladan 2019.
Bambang berharap kegiatan sosialnya ini mampu meningkatkan kemandirian anak dan perempuan. Di Medan, dia mencatat setidaknya masih ada 480.000 perempuan rawan sosial ekonomi. ”Memprihatinkan,” kata pria yang bertahun-tahun bekerja di lembaga nonpemerintahan bidang kemanusiaan ini.
Bambang F Wibowo
Lahir : Medan, 5 Februari 1977
Istri: Badriyah
Pendidikan:
SMPN 3 Medan lulus 1992,
SMAN 13 Medan (sekarang jadi SMA 14) lulus 1995
Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung lulus 2000
Prestasi:
Inovator terbaik tingkat nasional dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2019)