Melukis merupakan impian yang pernah dibuang oleh Yulianto Eko Sunugroho (67). Ia tak pernah mencicipi pendidikan formal seni, tetapi bisa mewujudkan impiannya di usia senja, saat di mana ia menepati janji pada cintanya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·6 menit baca
Ribuan kilometer ditempuh Yulianto Eko Sunugroho atau Eko YES dari Yogyakarta menuju Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sekitar 42 tahun yang lalu untuk mengadu nasib. Tidak hanya nasibnya membaik, ia juga berhasil mengejar impian lamanya sebagai pelukis.
Di kota itu ia mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Selama menjadi guru, Eko menemui banyak momen yang membuatnya kembali ke kanvas. Oleh Pemerintah Kota Palangkaraya, Eko kerap dikirim untuk mengikuti pertemuan guru-guru se-Indonesia lengkap dengan pergelaran seni. Setelah itu, ia menjadi wakil berbagai pameran mewakili ”Kota Cantik”. Momen itu membawanya kembali ke Yogyakarta, tempat kelahirannya, di mana ia dibuat terkesima dengan seni lukis.
Ia mengenang kembali saat masih remaja, Eko mengayuh sepedanya sejauh 15 kilometer dari rumah hanya untuk menikmati lukisan Affandi. Ia beruntung masih bisa melihat maestro lukis Indonesia itu menggores kanvas dengan cat warna. Ia juga mengingat saat pergi bermain dan menginap di galeri lukis milik Amri Yahya di Yogyakarta.
Selama ”bermain” di galeri Affandi dan Amri Yahya, Eko melahap ilmu seni dari kedua pelukis hebat itu. ”Goresan Affandi di kanvasnya itu memengaruhi lukisan saya saat ini,” ujar Eko saat ditemui di galeri lukisnya pada Selasa (24/1/2023).
Sejak saat itu, sebelum kuliah, Eko terus-menerus menggores kanvasnya ke sana kemari. Namun, momen ia tak lagi memiliki uang sekadar membeli cat air membuatnya berpikir dua kali hidup jadi pelukis.
Dua kali ia kuliah di dua jurusan yang jauh dari melukis, bahkan seni. Pertama, ia mengambil jurusan administrasi negara, lalu kuliah lagi menjadi guru Bahasa Indonesia. Keadaan yang membuatnya menjadi guru dan merantau ke Kota Palangkaraya mengikuti kerabatnya. Di tempat ini ia dipanggil Eko YES karena teman-temannya kesal dengan nama Eko yang begitu panjang. Semua inisial dari namanya disingkat menjadi YES.
Eko hampir melupakan seni lukis. Ia sibuk mengajar memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarga. Ada beberapa momen yang membuat Eko kembali ke seni lukis. Sebagai guru, Eko kerap diminta Pemerintah Kota Palangkaraya untuk menghadiri beberapa pertemuan guru di luar Kalimantan. Dalam setiap pertemuan itu setiap daerah diminta untuk menunjukkan kesenian.
Palangkaraya mengirim penari dan pemusik tradisional terbaiknya. Eko jadi satu-satunya yang menawarkan diri untuk melukis dalam pergelaran seni tersebut. Sekali ia sambut kesempatan datang terus. Hal itu membuat Eko dikirim bersama seniman Kalteng lainnya ke Bandung, Jawa Barat; Jambi; Banjarmasin di Kalsel; hingga Jayapura, Papua.
Momen itu ditangkap istrinya yang kemudian mendesak Eko kembali melukis. Namun, kali ini tidak sekadar melukis, tetapi juga edukasi agar ia tak lagi jadi satu-satunya seniman yang melukis di Kalteng. Bersama istrinya, Eko kemudian membangun Padepokan Seni Lukis Parei pada 2010 sampai saat ini.
Ratusan anak sekolah sudah diajarkannya melukis. Murid-muridnya bahkan masih melukis dan membuat beberapa pergelaran lukisan di Kalteng. Upayanya mengenalkan seni lukis di Kalteng membuatnya mengampu salah satu program di stasiun TVRI, yakni ”Kuas” Kreativitas Anak Sekolah. Di program TV nasional itu, Eko mengajarkan dasar-dasar melukis.
”Bukan soal melukis, tetapi ini soal riang gembira, ini soal senang. Saya mengajarkan anak-anak bukan untuk jadi pelukis, tetapi melakukan segala sesuatu dengan senang karena yang dilakukan dengan dasar senang dan cinta tentu mereka akan jadi baik,” kata Eko.
Selain padepokan melukis, Eko juga pernah membuat Sanggar Sketsa. Lagi-lagi tujuannya mengajarkan anak-anak, melengkapi seni lukis di padepokan dengan ilmu khusus sketsa wajah.
Sejak saat itu, Eko kerap menjadi dewan juri di acara kesenian, seperti Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) yang diadakan tahunan. Lalu menjadi juri dalam berbagai ajang seni. Ia kemudian mulai berani menggelar berbagai pameran sendiri. Beberapa judul pameran ia buat dan ikuti, mulai dari Pameran Seni Rupa Lintas Borneo, Pameran Merdeka Berkarya Palangkaraya, hingga Pameran Seni Rupa Art Tropica.
Impian itu mulai terwujud di usianya yang kian senja. Saat istrinya meninggal, Eko kian teguh untuk menunaikan janjinya kepada istri untuk membuat rumah mereka menjadi galeri lukis. Pada 12 Januari 2023, Eko meresmikan Galeri Seni Lukis Eko YES, yang merupakan galeri seni lukis pertama di Kota Palangkaraya, bahkan Kalteng.
Letak rumahnya hampir di tengah jantung Kota Palangkaraya, terletak di Jalan Dahlia Nomor 10. Siapa pun bisa datang. Tidak hanya itu, anak-anak usia sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas juga bisa belajar di padepokan yang sudah hampir 13 tahun berjalan ini.
”Ini janji saya sama istri. Tujuan besarnya, ya, edukasi karena seni lukis tidak populer di sini,” ujar Eko.
Bangunan itu memang luas, dua lantai rumah Eko semuanya jadi galeri lukisan, mulai dari garasi sampai kamar-kamar di dalam rumah disulap menjadi galeri lukisan. Lantai dua rumah itu merupakan tempat ia mengajar anak-anak melukis. Terlihat berbagai kanvas lukis, mulai dari ukuran besar, sedang, hingga kanvas kecil, lengkap dengan palet lukis tergeletak di mana-mana.
Setidaknya terdapat 80 lukisan terpajang di lantai satu dan puluhan lainnya terpajang di lantai dua. Jumlah itu belum termasuk lukisan yang ditumpuk di loteng.
Dua sejoli
Eko berani bermain warna. Ekspresionisme Affandi memang terasa kental, tetapi lukisan Eko penuh detail yang tidak bisa disebut abstrak. Seperti saat ia menggambar nelayan yang melintas di sebuah sungai, Eko menggambar awan di atas nelayan itu dengan warna hijau!
Atau lukisan lewu atau kampung Dayak di pinggir sungai. Eko menoreh senja dengan sangat energik. Semuanya merah menguning hingga ke sungai di bawah awan. Ekspresi dalam lukisannya memang tak terduga.
Salah satu yang sangat ekspresif juga lukisan tentang gerhana matahari. Melihat lukisan itu hati dirundung gelap. Ada sosok raksasa yang digambar dengan penuh merah. Kengerian. Namun, di sampingnya terlihat sosok perempuan Dayak yang sedang menari, menyeruak di antara kegelapan tubuh penari itu meliuk penuh warna.
Dari sekian banyak lukisan di rumah itu, ada pola yang tersusun. Eko gemar melukis sejoli. Ada ikan mas yang Digambar sepasang, jantan dan betina. Ada ikan cupang hias yang juga sepasang, lalu ada sepasang burung enggang gading (Rhinoplax vigil) seperti hikayat terciptanya manusia Dayak dari pertempuran suci burung enggang di pohon kehidupan batang garing. Lalu ada lukisan penari Dayak yang juga sejoli. Goresan cat akrilik itu ditebar begitu saja sehingga membuat seperti naungan di atas kepala sepasang penari itu.
”Semua yang saya lukis tentunya pengalaman dan ekspresi saya selama hidup bersama orang Dayak, kekaguman saya terhadap mereka dan lingkungan atau alamnya,” kata Eko.
Dua sejoli di banyak lukisan milik Eko memang jadi bukti cintanya terhadap istri dan keluarga. Rumah galeri itu ia persembahkan untuk keluarganya. Segala rasa sedih dan gembira bisa dinikmati dengan mudah saat melihat lukisan Eko YES. Rasa cinta itu muncul dari atas kanvas.
Yulianto Eko Sunugroho
Lahir: Yogyakarta, 26 Juli 1955
Istri: Dewi Supadmi
Pendidikan:
SD (lulus 1966)
SMP (1970)
SMA (1973)
Sarjana Muda Jurusan Administrasi IKIP Negeri Yogyakarta (1976)