Satu dekade terakhir, Alexander Tanjaya membantu pembangunan berbagai rumah ibadah. Ia tidak ambil pusing rumah ibadah untuk agama apa yang ia bantu. Yang penting ia bisa berbagi untuk sesama, apa pun latar belakangnya.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Sejak bocah, Alexander Tanjaya (45) selalu diajarkan berbagi oleh kedua orangtuanya. Ajaran itu selanjutnya menjadi laku hidup Alex. Selama satu dekade terakhir, ia giat membantu pembangunan berbagai rumah ibadah di Kendari, kampung halamannya.
”Sebenarnya tidak usah disebut membantu karena kita tidak punya apa-apa. Kita hanya perpanjangan Tuhan untuk berbagi,” kata Alex, Senin (23/1/2023), di Kendari, Sulawesi Tenggara. Seperti keluarga Tionghoa lainnya, ia baru saja merayakan Tahun Baru China atau Imlek bersama keluarga besarnya.
Seperti keluarga Tionghoa lainnya, ia baru saja merayakan Imlek bersama keluarga besarnya. Ia berkumpul dan berdoa untuk keberkahan di tahun Kelinci Air ini. Ia merayakan syukuran akan berkat dan nikmat yang diperoleh tahun sebelumnya.
Apa yang dilakukan Alex mendapat apresiasi. Terakhir, ia mendapat penghargaan dari Ikatan Alumni Ummusshabri Kendari pada pekan kedua Januari lalu. Ia disebut sebagai salah satu orang yang berjasa pada pengembangan pesantren tersebut dan kemanusiaan secara luas. Meski begitu, ia tidak mau menyebutkan apa yang telah ia berikan ke pesantren modern itu. Ia merasa apa yang dilakukan hanya hal biasa dan bukan hal yang perlu untuk disebarluaskan. ”Takut jadi sombong,” ujarnya singkat.
Alex bercerita, kebiasaan berbagi untuk pembangunan rumah ibadah sudah dilakukan sekitar satu dekade terakhir. Awalnya, ia menerima tamu yang meminta bantuan pinjaman untuk pembangunan gereja. Alex yang berprofesi sebagai pengusaha bahan bangunan, properti, dan studio foto menyanggupi permintaan itu. Setelah itu, berkali-kali orang datang untuk meminta bantuan pembangunan rumah ibadah lainnya. Ia merasa seperti ditunjukkan sebuah jalan oleh Tuhan untuk berbagi dan bermanfaat bagi sesama.
Saat itu, suara sumbang terdengar dari mana-mana. Upayanya dianggap tidak bermanfaat. Namun, keluarga mendukung Alex untuk terus berbagi. ”Apa yang saya keluarkan itu dari Tuhan juga. Lagian kalau saya hitung-hitungan, apa yang saya dapatkan dalam kehidupan ini tidak ada apa-apanya. Coba napas saja hitung, itu sudah tidak ternilai,” ujarnya.
Sejak saat itu, ia makin giat berbagi, khususnya untuk pembangunan rumah ibadah. Ia merasa ada yang mengganjal di hatinya setiap ada orang yang datang meminta bantuan dan ia tidak bisa membantu. Berbagi menjadi jalannya untuk hidup dan saling menghidupi. Pada 2019, misalnya, ia mulai membangun sebuah masjid di Ranomeeto, Konawe Selatan. Masjid yang selesai pada 2022 tersebut diberi nama Rahmatan Lil Alamin yang berarti rahmat untuk semesta alam.
Dengan berbagi tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, dan perbedaan lainnya, membuat kebersamaan makin tinggi. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan ruas jari-jari tangan. Ia mencontohkan saat tangan akan memukul, maka jari jemari harus menggenggam erat, dan tidak boleh ada yang terbuka. Saat ada satu jari yang terbuka, baik itu jari kelingking, maka kekuatan akan rapuh. Seperti itu pula ia menggambarkan kebersamaan di antara sesama manusia.
Ia sadar bahwa nilai yang ia pegang ini tidak tumbuh dalam sekejap. Alex belajar banyak dari kedua orangtua dan keluarga lainnya yang selalu mengajarkan kebaikan, keharmonisan, dan selalu bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, ia rutin mengkaji buku dari berbagai agama, dan berdiskusi dengan para ahli.
Jatuh bangun
Alex kecil menetap di Kota Lama Kendari, sebuah daerah pertokoan awal di wilayah ini. Daerah tersebut adalah pusat perbelanjaan sekaligus pusat ekonomi pertama Kota Lulo ini. Orangtuanya memiliki usaha jualan sembako dan barang campuran di sana.
Di rumah, bungsu dari tujuh bersaudara ini selalu ditunjukkan kekuatan kasih oleh kedua orangtuanya. Mereka memberikan contoh kecil yang nyata dan tanpa banyak tanya. Mereka tidak terhitung memberi bantuan kecil, baik itu berupa makanan, cemilan kepada anak-anak di depan toko.
”Saya pernah lihat orangtua saya sampai kasih obat ke pembeli yang pucat. Ia lihat pembeli tersebut sakit dan langsung bergerak membantu. Hal-hal kecil begitu yang menjadi pijakan saya sedari dulu,” tuturnya.
Namun, jalan nasib tidak dapat ditebak. Usaha orangtuanya hancur menjelang ia lulus SMA, mendekati krisis moneter 1998. Ia pun tidak dapat melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Padahal, rekan-rekannya telah kuliah hingga di luar Sulawesi.
Satu pesan orangtuanya yang selalu ia pegang bahwa setiap orang harus mempunyai satu ilmu yang betul-betul dikuasai. Serupa kungfu dengan berbagai alatnya, maka seorang yang mendalami ilmu ini tidak perlu menguasai semua alat tersebut. Namun, penting untuk menguasai satu alat hingga tingkat akhir. ”Jadi master di salah satu alat tersebut saja,” katanya menirukan ucapan sang ayah.
Ia akhirnya nekat merantau ke Surabaya, Jawa Timur, berbekal segenggam uang tabungan. Di sana, ia kursus fotografi di Indonesian Press Photo Service (IPPHOS) selama enam bulan. Fotografi ia pilih karena tertarik dengan dunia baru ini.
Ia menetap di Surabaya selama dua tahun dan tinggal di sebuah wihara di daerah Rungkut. Ia tinggal di rumah ibadah ini karena tidak mampu membayar sewa kosan dan kebutuhan makanan sehari-hari.
Di wihara, ia belajar banyak hal, mulai soal kedisiplinan, kebatinan, hingga kebersamaan antarsesama. Total dua tahun menumpang sebelum memutuskan pulang ke Kendari untuk memulai usaha sendiri.
”Sebelum pulang, dari hasil tabungan dan pemberian orangtua, saya beli kamera Nikon FM2 dari Pasar Turi seharga Rp 850.000, dengan backdrop, dan peralatan fotografi lainnya. Itu yang saya jadikan modal awal bikin studio foto,” ceritanya.
Perlahan, usahanya berkembang, utamanya di awal 2000-an. Ia bisa mengembangkan usaha ke berbagai sektor lain, termasuk properti, hingga kini memiliki toko bahan bangunan, dan beberapa usaha lainnya.
Namun, ia merasa apa yang dimiliki saat ini hanya titipan Tuhan semata. Ia harus memanfaatkan untuk kebaikan bersama tanpa perlu melihat apa suku, agama, dan latar belakang dari orang yang ingin dibantu. Dengan membantu, ia merasa tenang dan kehidupannya terasa bermanfaat.
Semua ini, ia melanjutkan, adalah buah dari didikan kedua orangtua dan lingkungan. Sejak awal, kedua orangtuanya menekankan pentingnya memiliki nurani yang bersih dan selalu melihat kesulitan di sekelilingnya.
”Kata bapak saya, hati nuranimu itu seperti akar pohon. Kalau bersih dan kuat, akan menghasilkan buah yang baik dan harum. Kalau kotor, daun pun sulit untuk tumbuh,” katanya. Ia melanjutkan, “Itu adalah kompas yang ditunjukkan orangtua saja. Kami ini tinggal meneruskan dan menjaganya saja.”
Alexander Tanjaya
Lahir: Kendari, 11 Oktober 1977
Keluarga: Yanti (43)
Pendidikan: SMA 1 Kendari, Sulawesi Tenggara
Penghargaan: Tokoh Pelopor Toleransi dan Moderasi beragama di Provinsi Sulawesi Tenggara dari Kanwil Kemenag Sultra