Daniel Kho, Jalan Seniman Pengembara
Daniel Kho adalah seniman pengembara. Sejak tahun 1977, dia tinggal di Jerman dan menjelajahi berbagai belahan dunia. Kini, dia juga berkarya di Spanyol dan Bali. Semua itu membuatnya merdeka berkarya apa saja.
”Siapa ingin menjadi gila dan kegilaannya bisa dimaklumi, bahkan dirayakan, maka jadilah seniman. Kegilaan seniman itu sering dianggap sebagai bagian dari proses kreatif.”
Begitu kira-kira jawaban Daniel Kho (67) saat ditanya, mengapa dia memilih untuk menjadi seniman. Memang, perjalanan hidup dan proses kreatif sosok ini dipenuhi petualangan, tikungan, juga kejutan yang bisa dibilang ”gila”. Namun, perilaku ”ndugal” itu justru meresapkan gairah dalam dirinya untuk terus meniti jalan pedang kesenian.
Kami ngobrol di Kafe Bentara Budaya Jakarta, Selasa (17/1/2023) sore. Ditemani sahabat karibnya yang juga seorang seniman, Ito Joyoatmojo, Daniel betah ngobrol sampai malam. Dia bercerita dari A zampai Z tentang berbagai kegilaan selama pengembaraannya menjelajahi dunia. Sesekali kami bertiga menyeruput es kopi. Malam itu, Daniel menyiapkan Pameran Tunggal bertajuk ”OwALAH” di Bentara Budaya Jakarta, 19-26 Januari 2023.
Tiba giliran pembukaan pameran, Kamis (19/1/2023) malam lalu, ”kegilaan” Daniel sengaja diumbar. Dia mengenakan semacam jubah penuh ornamen warna emas, kalung besar, dan kacamata berlampu hijau yang menyala kerlap-kerlip. ”Owalah...,” katanya beberapa kali yang sontak disambut tawa penonton.
Saat kasih sambutan, Daniel mempersilakan pengunjung untuk langsung menikmati karya-karyanya. ”Hidup kita susah, jangan bikin karya seni yang berat-berat. Begitu lihat karya seni di pameran ini, saya ingin semua bisa tertawa senang,” katanya.
Berbeda dengan pikiran dan perilaku Daniel yang cenderung ”gila”, karya-karyanya justru menggembirakan. Happy art alias seni yang membahagiakan, begitu dia menyebutnya.
Baca juga: ”Seni Bahagia” Menjawab Kecewa
Di ruang pamer utama Bentara Budaya Jakarta, dipajang 50-an karya seni, kebanyakan lukisan, serta beberapa patung dan instalasi. Sebagian besar karya menggambarkan segerombolan alien berpenampilan ganjil dari antah berantah. Ada alien mirip belalang dengan kuping bak antena. Ada yang seperti iguana dengan mata melotot dan lidah menjulur panjang atau serupa ayam dalam besek bambu. Ada juga yang kayak naga dengan mulut terbuka dan lidah bercabang.
Alih-alih menyeramkan, alien-alien aneh itu justru lucu menggemaskan. Semua karya digarap dengan finishing halus, bersih. Warna-warnanya cerah ceria. Kuning, hijau, merah, oranye, atau pink. Kehadiran makhluk-makhluk itu menyadarkan bahwa manusia hidup tak sendirian. Di luar Galaksi Bima Sakti yang kita huni, ada galaksi-galaksi lain yang juga punya kehidupan. Daniel menggoda kita untuk mengeksplorasi dunia.
Beberapa karyanya juga menggambarkan pohon. Pohon-pohon itu berbatang gendut dan meliuk-liuk. Di atas dahan-dahannya, menggelantung para alien warna-warni. Dalam kehidupan kita, pepohonan berperan penting karena menyerap karbon dioksida (CO²) sekaligus memproduksi oksigen (O²) yang penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Kita jadi ingat pohon kehidupan (hayat) dalam kisah-kisah pewayangan yang dalam segitiga gunungan. Daniel mencoba mempertemukan rasionalitas modern dengan tradisi etnik Jawa. ”Karya saya berlandasan pikiran Jawa yang kemudian dimodernkan. Semacam etnik pop art,” katanya.
Pengembaraan
Daniel leluasa mempertemukan Barat dan Timur setelah melalui pengembaraan panjang. Dia lahir dari keluarga pedagang di Solo, Jawa Tengah, tahun 1956, tumbuh dan dibesarkan di Klaten. Sejak kecil, dia sangat kritis terhadap segala hal. Saat di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), dia berpindah-pindah sekolah.
”Saya suka bertanya, kenapa langit itu biru? Kenapa manusia hidup di atas Bumi? Tidak puas dengan jawaban guru, saya pindah sekolah,” kenangnya.
Di luar sekolah, dia menggemari bermacam ekspresi seni budaya Jawa, seperti membatik, mengukir, dan melukis. Seni membuat dirinya serasa berbeda dari lazimnya anak seusianya. Tebersit hasrat untuk serius menekuni seni.
Tahun 1975, saat berusia 19 tahun, Daniel nekat ke Australia melalui jalur laut dari Papua. Di Sydney, dia bekerja menggali kabel telekomunikasi. Dapat uang lumayan, dia beli mobil dan bersama temannya yang asli Aborigin, dia menjelajahi kawasan suku asli Australia itu.
Mobil itu dijual. Uangnya dia gunakan untuk terbang menuju Perancis demi belajar seni, tahun 1977. Dalam penerbangan, dia berkenalan dengan seorang Jerman. Saat transit di Frankfurt, kenalan itu menawarinya tinggal di Stuttgart, ibu kota Negara Bagian Baden-Württemberg di selatan Jerman. Daniel pun tinggal di kota industri pabrik Mercedes Benz itu.
Kehidupan Eropa menyuntikkan semangat segar. Daniel sempat menggelandang ke Venezuela, Polandia, dan menyusuri negara-negara di Laut Tengah dengan menumpang mobil atau truk seadanya di jalanan. Nasibnya tak menentu. Saat naik truk di Jordania, dia berhadapan dengan orang-orang nomad berbadan besar dan bawa pedang panjang. Dia selamat setelah memasak enak untuk semuanya.
Di Kota Casablanca, Maroko, dia sempat dibuat mabuk oleh beberapa perempuan cantik agar mudah dirampok. Untung, dia masih sadar dan kabur. Giliran di perbatasan Israel, dia ditelanjangi di bawah todongan senjata sejumlah tentara. Setelah melalui interogasi menegangkan, barulah dia diizinkan jalan.
Baca juga: Pameran Tunggal Daniel Kho
Daniel kembali ke Jerman, bahkan mengenyam pendidikan seni dan desain di tiga kampus di kota berbeda. Berbekal ijazah dari tiga kampus itu, dia sempat bekerja sebagai desainer dan hidup baik. Namun, sejak tahun 1990-an, dia memutuskan untuk menjadi seniman bebas. Dia selalu mencantumkan dalam CV (curriculum vitae)-nya bahwa dia belajar seni dan desain secara otodidak.
Tak mudah membangun karier seni di Jerman. Saat frustrasi, Daniel pernah membakar patung kayu. Padahal, karya itu digarap dengan susah payah dan juga sudah ditawar mahal. Saking tertekan, dia ngomel-ngomel di jalanan sampai ditangkap polisi. Namun, tekadnya berkesenian tak padam.
Suatu ketika, lukisannya dibeli mahal oleh seorang kolektor berpengaruh di Jerman. Momen itu membukakan pintu berikutnya. Beberapa pengusaha rutin mengoleksi karyanya. Daniel punya studio di Jerman, negara yang dia tinggali lebih dari 45 tahun.
Sejak tahun 2012, dia bermukim di tiga tempat sekaligus: di Bali (Indonesia), Barcelona (Spanyol), dan Cologne atau Köln/Koeln (Jerman). Dia sewa studio di Ubud. Di Barcelona, di di-support oleh galeri seni. Di Köln, dia punya studio. Tiga tempat itu menjadi ground (tempat berpijak) bagi banyak kreasi seninya.
”Saya ingin menjaga pikiran terbuka. Di Barcelona, saya bicara bahasa Spanyol. Di Jerman, saya seperti orang Jerman. Di Bali, saya berpikir sebagai orang Indonesia,” katanya.
”OwALAH”
Pada pameran di Bentara Budaya Jakarta, Daniel mengusung tema ”OwALAH”. Ini ungkapan kaget saat menemukan kejutan, tapi kemudian memakluminya sebagai hal yang lumrah. ”OwALAH”, ternyata begitu saja.
Ambil contoh, kita kerap diajak hidup lebih sehat, konsumsi makanan organik dan dimasak secara alami, juga hindari junkfood. Kampanye itu seperti baru karena disuarakan masyarakat Barat. Padahal, sejatinya gaya hidup selaras dengan alam itu merupakan keseharian leluhur kita di Nusantara.
Baca juga: OwALAH Pameran Tunggal Daniel Kho
”OwALAH” merupakan dorongan agar kita siap menerima berbagai kejutan. Jangan mudah kaget. Jangan-jangan sesuatu yang dianggap baru itu malah merupakan sejarah kita sendiri yang terlupakan.
Kurator Asmudjo Jono Irianto mencatat, Daniel kerap menggunakan istilah-istilah nyeleneh dan cenderung ngeledek sebagai judul pamerannya, seperti ”Mboh”, ”Dobos”, dan ”OwALAH”. Makna di balik istilah-istilah tersebut menjadi dasar dari sikap berkarya seniman itu.
Daniel sosok yang apa adanya dan cenderung sinis melihat situasi dan perilaku manusia yang paradoksal. Manusia paling berakal, tetapi juga paling destruktif di dunia, baik pada sesamanya, makhluk hidup lain, maupun lingkungan.
”Kalau manusia mau menggunakan 100 persen akal sehatnya, kehidupan dunia akan baik. Tapi, manusia sering membuat sulit diri sendiri,” kata Daniel sambil tertawa.
Daniel Kho
Lahir di Jawa Tengah, 1956
Pendidikan:
- SD dan SMP di Jawa Tengah
- SMA di Bandung, Jawa Barat
- Belajar batik, patung, dan pahat secara otodidak
- Belajar desain cicin, desain interior, dan seni rupa di beberapa kota di Jerman
Penghargaan dan kegiatan seni:
- Sejak tahun 1977: hijrah dan tinggal di Jerman
- 1998: Scholarship from the Jacob Eschweiler Art Foundation
- 1999-2006: Mengajar seni di the ”MUS-E Artists in Schools” Project di Jerman
- 2002: mendirikan the ”Shadow Theatre Kho” di Cologne, Jerman
- 2009: merintis Djagad Art House di Bali
- Sejak 2012: tinggal in Bali (Indonesia), Barcelona (Spanyol), Cologne (Jerman)
- Beberapa kali pameran tunggal dan banyak pameran bersama di beberapa negara, seperti Portugal, Jerman, Indonesia, Korea Selatan
- Pameran terkini: ”OwALAH” di Bentara Budaya Jakarta, 19-26 Januari 2023