Luluk Sumiarso dan Hari Sulistyowati, Cinta bagi Budaya Nusantara
Luluk bersama Lies memilih nama Puspo Budoyo, yang berarti bunga kebudayaan, karena memang ingin mengembangkan seni budaya Nusantara. Budaya adalah bagian dari jati diri bangsa.
Oleh
Tri Agung Kristanto
·5 menit baca
Raja Mughal di India, Shah Jahan, begitu mencintai istrinya, Arjumand Banu Begum atau Mumtaz Mahal, yang berasal dari Persia. Saat Mumtaz wafat kala melahirkan anak keempatbelasnya, Sang Shah membangun makam sekaligus monumen mengenang cintanya di Agra yang dinamai Taj Mahal.
Kisah kebesaran dan ketulusan cinta Shah Jahan kepada istrinya, Mumtaz Mahal, tersebut menginspirasi Luluk Sumiarso (71). Dia pun sangat mencintai istrinya, Hari Sulistyowati Minardi (69) atau Lies, yang dinikahinya di Malang, Jawa Timur, pada 1 Desember 1977.
Setelah menikah, Lies yang sebelumnya menjadi penari tak bisa leluasa lagi menyalurkan bakat dan keterampilannya. Dia harus mendampingi suaminya berkarier di Jakarta. Ia pun beberapa kali mendampingi Luluk saat bertugas ke luar negeri atau ke luar kota. Lies nyaris tak menari lagi. Bahkan, tak bersentuhan lagi dengan kalangan penari.
Sebagai sepasang suami-istri baru, Luluk-Lies sudah memiliki sebidang tanah di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Di tanah itu, mereka menanam dua buah pohon sebagai lambang cinta, yang kini tinggal sebatang, pohon karet merah yang kini tinggi menjulang. Di tanah itulah, dengan pohon karet kebo (merah) yang menjadi penjaganya, kini berdiri megah kompleks Rumah Budaya Nusantara (RBN) Puspo Budoyo.
”Pohon ini sudah berumur lebih dari 45 tahun. Kami menanam pohon ini saat menikah,” kata Luluk, Desember tahun lalu. Pohon itulah lambang pertumbuhan cinta Lies dan Luluk hingga kini.
Namun, tak hanya pohon, cinta Luluk kepada istrinya diwujudkan pula dengan melahirkan Sanggar Tari Puspo Budoyo pada 6 Agustus 2003. Saat itu Lies berusia 50 tahun dan mulai bisa membagi waktu untuk menekuni kembali kegiatan menarinya. Ketiga anaknya pun sudah dewasa sehingga mampu mendukungnya pula mengembangkan seni budaya Nusantara, khususnya seni tari.
Kini sanggar tari itu berkembang dan dinamai RBN Puspo Budoyo. Perjalanan nyaris 20 tahun itu diisi dengan berbagai aktivitas seni tradisi dan modern, terutama tari, karawitan, musik, dan lintas budaya. RBN Puspo Budoyo juga menyediakan tempat bagi sanggar tari atau komunitas seni lainnya jika ingin berpentas. Sebelum pandemi Covid-19, beberapa kali penari RBN Puspo Budoyo pun bermuhibah ke luar negeri, seperti ke Italia dan Vatikan tahun 2013, serta ke Spanyol tahun 2011 maupun ke Jepang dan China.
Nama Puspo Budoyo itu sangat kental dengan Jawa. Sebab itu, kami memperbarui semangat sanggar dengan mengubah namanya menjadi Rumah Budaya Nusantara.
Menurut Luluk, semula sanggar tari yang didirikan bersama Lies berfokus pada tarian tradisional Jawa, khususnya Jatim, seperti daerah asal keduanya. Namun, dalam perkembangannya, sanggar tari itu juga mengembangkan tari dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, saat tampil di Spanyol tahun 2013, mereka menampilkan tari Saman dari Aceh.
”Nama Puspo Budoyo itu sangat kental dengan Jawa. Sebab itu, kami memperbarui semangat sanggar dengan mengubah namanya menjadi Rumah Budaya Nusantara. Tak hanya tari dari berbagai daerah, di RBN ini juga menjadi tempat berlatih angklung dan kolintang,” ujar Luluk, yang pernah menjabat komisaris PT Pertamina.
Luluk bersama Lies memilih nama Puspo Budoyo, yang berarti bunga kebudayaan, karena memang ingin mengembangkan seni budaya Nusantara. Budaya adalah bagian dari jati diri bangsa. Kebudayaan tak berada di ruang hampa, tetapi berinteraksi dengan sesama, termasuk dengan bangsa lain.
RBN Puspo Budoyo pun menerima kerja sama pengembangan seni dengan negara lain. Luluk menuturkan, di rumah budaya itu juga pernah ditampilkan kesenian yang merupakan perpaduan dari Jepang, Indonesia, dan China (Mandarin). Kini, dari RBN Puspo Budoyo pun merambah menjadi Lies Luluk Cultural Exchange (LLCE), tempat pertukaran budaya antarbangsa.
Lies pun menambahkan, melestarikan budaya, khususnya seni tradisional merupakan tanggung jawab bersama. Oleh sebab itu, ia mengajak berbagai kalangan untuk bahu-membahu menjaga dan melestarikan kebudayaan Nusantara.
Namun, Luluk mengakui, justru bangsa asing yang terlihat lebih serius menekuni budaya Nusantara, seperti memainkan gamelan. Ia pun khawatir, jika suatu saat bangsa Indonesia justru belajar memainkan gamelan dan alat musik Nusantara lainnya ke luar negeri. Apalagi, ia dan Lies merasakan, dalam beberapa muhibah budaya ke luar negeri, dukungan dari pemerintah dirasakan kurang.
Memasuki kawasan RBN Puspo Budoyo yang luas, Desember lalu, terasa betul suasana teduh. Apalagi, saat itu tengah berlangsung pergelaran tari dari sejumlah sanggar. RBN Puspo Budoyo juga menyediakan pelatihan tari dan karawitan, serta mendukung sanggar lain pentas di Pelataran Majapahit atau panggung lain di kawasan itu.
Luluk dan Lies pun rutin menyediakan waktu untuk menyaksikan pergelaran itu, sebagai bukti komitmen mereka untuk melestarikan budaya Nusantara bersama sejumlah anak muda yang peduli. Ketika pandemi Covid-19 mendera negeri ini, pergelaran seni tradisi, khususnya ketoprak dan wayang orang, masih dilakukan di RBN Puspo Budoyo dengan menerapkan protokol kesehatan. Pada masa pandemi itu mereka bisa memproduksi karya ke-100, yang disalurkan melalui media sosial: Youtube, setelah tidak bisa tampil di televisi atau panggung terbuka.
Justru bangsa asing yang terlihat lebih serius menekuni budaya Nusantara, seperti memainkan gamelan.
Luluk, yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tidak segan turun tangan untuk merekam pergelaran, serta mengunggahnya. Dia mengakui, kini media sosial menjadi panggung baru bagi pengembangan seni budaya. Lies tidak berdiam diri lagi. Ia juga terlibat langsung dalam pergelaran tari, terutama dalam mendampingi penari muda dan memberikan masukan. Ia tak lagi menari.
Lies dan Luluk mengakui hati mereka selalu bergelora sewaktu melihat sejumlah anak muda menari di RBN Puspo Budoyo. ”Taj Mahal” cinta mereka turut menjaga budaya Nusantara.