Luddy Wullur, Kumandang Kolintang dari Lembean
Seniman Luddy Wullur merupakan pemain, pelatih, pembuat, dan pemerhati alat musik kolintang dari Minahasa, Sulawesi Utara. Dia terus melestarikan kolintang.
Mencintai kolintang sudah ada dalam darah Luddy Wullur (60) sejak lahir. Seniman ini menjelma sebagai pilar yang mendukung pengembangan dan pelestarian kolintang sebagai alat musik tradisional kayu dari rakyat Minahasa, Sulawesi Utara. Bagi dirinya, bunyi kolintang harus terus berkumandang.
”Bisa dibilang sejak buka mata saya sudah mengenal kolintang. Orangtua, saudara, dan opa oma saya menekuni kolintang jadi ada transmisi ke saya,” kata Luddy mengenang masa kecilnya saat ditemui di Kota Manado, Sabtu (17/12/2022).
Meskipun lahir di Kediri, Jawa Timur, Luddy dan keluarganya berasal dari Desa Lembean, Kauditan, Minahasa Utara. Sejak kecil, ia sudah bergabung dalam kelompok kolintang Karia-Ria pimpinan seniman Maxi Luntungan, adik dari ibunya. Sejak itu, kiprahnya di dunia kolintang semakin dalam seiring umur bertambah.
Sepanjang hidupnya, Luddy telah eksis sebagai pemain, pengajar, pembuat, dan pemerhati kolintang. Sebagai seorang pengajar, peran anak pertama dari tiga bersaudara ini sangat krusial dalam melakukan transfer pengetahuan tentang kolintang ke generasi muda di Tanah Air.
Luddy merupakan pemilik Grup Kolintang Sinar Kaki Dian yang berdiri pada 2008. Sinar Kaki Dian merupakan anak-anak Desa Lambean dan sekitarnya di mana anggota aktif sekitar 20 orang saat ini. Mereka biasa berlatih di sanggar dekat rumahnya mulai dari sore sampai malam hari.
Selain itu, dia juga terlibat dalam pembentukan grup kolintang lainnya, misalnya New Kadoodan, Maleosan, dan Triple L (Lembean, Lawid, dan Laley). ”Awalnya kolintang itu identik dengan musik orangtua. Namun, saya berpikir kenapa tidak mengajak anak-anak bermain kolintang jadi saya mulai merekrut mereka dari tahun 2006. Mereka sudah tampil dimana-mana sekarang,” tutur ayah empat anak ini.
Tak hanya itu, Luddy telah mengajar lebih dari 25 kelompok kolintang dari berbagai sekolah, kampus, gereja, dan instansi. Tampil dalam berbagai acara dan perlombaan, sedikitnya sudah 20 gelar juara yang direbut beberapa kelompok asuhan Luddy tersebut.
Sejak 2006, Luddy mengajari kolintang sebagai bagian dari kurikulum sekolah di Manado Independent School (MIS). Ada 400 anak lebih yang mengikuti pelajaran tersebut. Pada 2016, sekitar 40 pelajar SMP dan SMA di MIS bermain kolintang di Denver, Amerika Serikat, dalam acara Socio-Cultural Fieldtrip, 1st Kawanua Convention.
”Yang menjadi tantangan itu kolintang masih dianggap sebagai musik kampung. Ini tentang bagaimana kita bisa meyakinkan anak muda untuk menyadari kolintang sama bernilainya dengan alat musik lain sehingga mereka mau belajar. Di Lembean, Tomohon, dan Tondano, kolintang sudah mendarah daging sehingga tidak perlu dijelaskan lagi dibandingkan anak-anak di daerah lain,” ujar Luddy.
Ia berharap, keberadaan kelompok-kelompok kolintang serta prestasi yang sudah terukir bisa mengikis keraguan anak-anak zaman sekarang. Mereka bisa melihat langsung bahwa bermain kolintang dapat membuka kesempatan untuk berkarya, pergi keliling negeri dan mancanegara, serta tampil di acara penting.
Demi kian menggaet minat mereka, metode pengajaran Luddy pun beradaptasi. Tidak melulu lagu daerah atau agama, laki-laki ini juga mengajar kolintang menggunakan lagu kontemporer kepada murid-muridnya. Sebutlah ”Croatian Rhapsody” dari Maksim Mrvica, ”Penasaran” karya Rhoma Irama, ”Dance Monkey” milik Tones and I, hingga ”Secret Love Song” dari Little Mix.
”Kami memainkan lagu masa kini dan juga lagu kebangsaan. Intinya, semua lagu itu bisa dimainkan oleh kolintang,” katanya.
Refleksi Minahasa
Penggunaan kolintang awalnya untuk ritual, misalnya syukuran panen atau menang perang. Luddy mengenal kolintang yang telah digunakan dalam bentuk pertunjukan. Kolintang sekarang berkembang dalam bentuk ansambel, terdiri dari sembilan sampai sepuluh instrumen.
Kolintang dengan 10 instrumen terdiri dari melodi (tiga unit), pengiring arsis (lima unit), dan pengiring tesis (dua unit) sehingga ada total 297 bilah. Nama-nama unitnya ada yang disebut, antara lain Melodi 1 (Ina), Ukulele (Katelu), Banyo 1 (Uner), Gitar 2 (Karua-rua), dan Bass (Loway).
Di Lembean dan sekitarnya, muncul minat luar biasa terhadap kolintang sehingga sanggar dan tim kolintang menjamur di kampung-kampung. Pada tahun 1960-1970-an, kolintang meledak di Minahasa sehingga di setiap desa hampir pasti ada tim kolintang. Luddy pun ikut membuat tim kolintang sendiri.
Menurut Luddy, sebagai pemerhati kolintang, filosofi permainan kolintang itu merefleksikan kehidupan di Minahasa. Orang Minahasa tidak mengenal raja, tetapi pemimpin-pemimpin (tunduan). Dalam kolintang pun, melodi (tunduan) tidak berdiri sendiri karena diiringi pengiring arsis (wadian) dan pengiring tesis (teterusan).
”Kalau kita pegang gitar listrik, saya yang raja. Berbeda dengan kolintang, kolintang itu memerlukan kebersamaan, kompak, karena kolintang itu menunjukkan tatanan masyarakat Minahasa,” tutur Luddy.
Kolintang telah mendapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2013. Luddy tengah bergabung dalam tim penyusun naskah akademik kolintang yang mengupayakan agar alat musik ini mendapat pengakuan serupa dari UNESCO.
Baca juga: Yudhatama Fajar Nugroho, Energi Industri Animasi di Surakarta
Luddy menjelaskan, kolintang terkesan mirip dengan kulintang dari Filipina, tetapi sebetulnya berbeda dari sisi organologi musik. Sementara itu, kolintang pun sekilas serupa dengan balafon dari Afrika. Hal yang membedakan ialah kolintang menerapkan teknik memukul tongkat yang bervariasi, seperti teto dan cako, serta permainan kolintang tidak dicampur dengan alat musik jenis lain.
Dengan adanya pengakuan UNESCO, Luddy meyakini Indonesia akan memeroleh keuntungan secara budaya dan ekonomi. ”Kolintang itu unik dari segi cara bermain dan jiwanya. Dengan segala keunikannya, kolintang menjadi alat musik ansambel satu-satunya di dunia yang disebut kolintang itu,” ujarnya.
Biodata
Nama asli: Ludovicus Ibrahim Wullur
Lahir: Kediri, Jawa Timur, 3 November 1962
Pendidikan: Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi (1982-1989)
Keluarga: Memmie Sundah (istri) dan anak empat orang
Prestasi kepelatihan, antara lain:
- Kolintang Sinar Kaki Dian menjadi Juara I Kategori Pelajar SMA, Festival Minaesa, Bitung Sulut, 2013
- Kolintang Sinar Kaki Dian menjadi Juara I Kategori Umum Festival Klabat, 2013
- Kolintang Manado Independent School menjadi Juara Kategori Umum, Festival Bunaken, Manado Town Square, 2018
- Kolintang Winetin Teens menjadi Juara II Kategori SMA/Mahasiswa di Emporium, Jakarta, 2019
- Kolintang Winetin Excelsior menjadi Juara I Kategori Umum di Emporium, Jakarta 2019
Pengalaman:
- Asosiasi Musik Kolintang Sulawesi Utara (ASIK)
- Persatuan Insan Kolintang Nasional (Pinkan Indonesia) Minahasa Utara – Sulawesi Utara
- Ikatan Pelatih Kolintang Indonesia (Ipkolindo)