Partinah, Emak bagi Alam dan Manusianya
Partinah menanam ribuan pohon kopi di lahan telantar di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Perempuan yang akrab disapa Emak ini ikut menghidupi alam dan kesejahteraan warga sekitarnya.
Sekitar 22 tahun lalu, Partinah (57) atau biasa disapa Emak, menjadi pionir penanam kopi robusta di Cibulao, Tugu Utara, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kini, dia menjadi ibu bagi alam sekaligus hidup manusia di sekitarnya.
Kedua kaki Emak kembali membawanya ke salah satu lembah di kaki Gunung Baeud di Cibulao, Kamis (29/9/2022). Usianya mendekati senja, tetapi langkahnya terlihat kokoh.
Jalan tanah naik turun di antara perkebunan teh bukan halangan. Lereng curam dengan dasar sungai deras jadi tujuannya.
Di sana, Emak seperti melepas rindu pada ratusan pohon kopi robusta. Daun tua ia petik. Dia lantas membersihkan sebagian lantai kebun dari sampah hijau.
”Semua pohon di sini saya tanam sejak tahun lebih dari 20 tahun lalu. Semua sudah seperti anak sendiri,” kata Emak.
Emak bercerita, kawasan itu dulunya hanya semak-semak. Tidak banyak pohon hidup di sana. Sebagian tidak bertahan lama akibat dijarah. Minim pohon, kawasan itu mudah longsor terutama saat musim hujan.
Longsor jelas membuat Emak cemas. Jika terus terjadi, tanah akan merusak kualitas air sungai. Padahal, air sungai menjadi andalan mendapat air bersih warga.
Tidak hanya itu, jika dibiarkan, permukiman warga, termasuk rumahnya yang ia tinggali sejak 1989, juga rentan terdampak. Longsor hingga banjir bandang sewaktu-waktu sangat rentan muncul.
Emak pun mencoba memutar otak meminimalkan dampaknya. Dia menyimpulkan, lahan telantar itu harus dihijaukan. Namun, hidup pas-pasan sebagai buruh teh membatasi kreativitasnya.
Hingga akhirnya, ide itu terwujud saat pulang kampung ke Krengseng, Kecamatan Krengseng, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar tahun 2000. Di sana, dikenal sebagai sentra kopi robusta. Banyak warga melakukan pembibitan di rumahnya masing-masing.
Dia lantas meminta beberapa bibit kopi kepada kerabatnya. Semua akan dibawa ke Bogor dan ditanam kembali untuk mencegah longsor di Cibulao. Awalnya, dia hanya bawa 50 batang. Usia pohonnya sekitar setahun.
”Semua dibawa dibungkus kulit batang pisang agar lembab. Maklum, butuh 12 jam dengan ganti lebih dari 10 bus dari Temanggung sampai ke Cibulao,” katanya.
Tiba di Cibulao, bersama suaminya, Nardi, dia menanam kopi itu. Sesuai rencana awal, sasarannya lahan curam di pinggir jurang. Kala itu, tidak ada pikiran bakal menghasilkan rupiah. Toh, dia tidak terlalu paham cara budidaya kopi. ”Kami menanam siang atau sore setelah bekerja di kebun teh. Suami membersihkan semak. Tugas saya menanam,” katanya.
Hasilnya memuaskan. Kopi tumbuh subur di lereng curam. Akar kuat menancap di tanah melindungi pohon-pohon besar yang sudah ada di sana sebelumnya, seperti saninten hingga rasamala. Longsor tidak terjadi lagi di kawasan itu.
Puas dengan itu, mereka ingin menambah luasan penghijauan. Karena Temanggung terlalu jauh, mereka membeli ratusan bibit dari kenalannya di Bogor. Harganya Rp 100 per pohon. Mereka juga mulai melakukan pembibitan.
”Sebagian tetangga bilang, keluarga kami boros. Uang sedikit, tapi beli kopi. Tapi kami jalan terus karena niatnya baik,” katanya.
Baca juga : Dewi Nurjanah, Cinta untuk Pejuang Kanker
Pada 2011, bukan gunjingan tetangga yang membuat duet Partinah-Nardi tidak lagi menanam bersama. Nardi dipanggil yang kuasa tahun 2011 karena sakit.
”Selepas suami meninggal, saya masih melanjutkan. Kata dia, ’jangan berhenti menanam demi anak cucu kita hidup lebih baik nanti’," katanya.
Pendampingan
Seperti asal kopi pertama yang dia tanam, Emak adalah pendatang dari Temanggung. Tahun 1989, dia datang bersama suami dan dua anaknya ke Cibulao. Saat itu, mereka bagian kecil dari rombongan bedol desa dari Kecamatan Kandangan.
”Kami berangkat tiga bus besar dan bekerja di kebun teh,” katanya.
Emak mengatakan, desakan ekonomi menjadi pendorong utama merantau hingga ratusan kilometer. Upahnya di Temanggung sebagai pengangkut kayu terlalu kecil untuk keluarganya.
Dalam seminggu, ia hanya dibayar Rp 750. Pekerjaannya terbilang berat karena harus mencari kayu sendiri. Dia juga tidak dibayar setiap hari. Upah lebih besar didapatkan apabila bekerja di kebun teh di Bogor. Dia dibayar minimal Rp 1.200 per minggu. Jam kerjanya lebih jelas karena pasti bekerja di kebun teh.
”Saya masih ingat tugas pertama mengganti tanaman teh yang sudah tua,” katanya.
Tidak ada yang istimewa saat menanam teh dan kopi bersamaan. Teh tetap yang jadi mata pencaharian utama. Kopi yang ditanam sejak tahun 2000 hanya selingan.
Hingga kedatangan dua peneliti IPB University mulai mengubah segalanya jelang tahun 2016. Dari mereka, Emak tahu kopi punya nilai konservasi dan ekonomi sama besarnya.
”Pertemuan itu membuka banyak pintu. Peneliti dan pendamping kopi mulai berdatangan. Mereka memberikan banyak masukan kepada kami,” katanya.
Sempat kesulitan mencerna beragam ide pengembangan kopi, Emak beruntung punya tiga anak yang mau membantunya. Di tangan mereka, kopi Cibulao berkembang dan semakin berharga.
Jumpono (39), anak kedua, piawai mengurus kopi di hulu. Kiryono (42), si sulung, tenaga marketing yang andal. Adapun Dasimto (29), anak bungsu, kebagian tugas meningkatkan kualitas kopi di hilir.
Agar berdampak besar, mereka mencoba mengajak warga lain. Tidak mudah. Awalnya banyak penolakan karena melihat kopi belum menjanjikan. Budidaya sayuran hingga merambah hutan masih jadi alternatif paling mudah mencari rupiah.
Perlahan ajakan itu membuahkan hasil. Salah satu titik baliknya saat kopi robusta Cibulao menjadi yang terbaik nasional pada Kontes Kopi Spesialti Indonesia tahun 2016.
Acara itu digelar Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI). Pengakuan itu membuat banyak orang ingin belajar menanam dan mengolah kopi.
”Kopi juara itu dari pohon yang ditanam Emak," kata Dasimto yang kini punya titel sebagai barista dengan sertifikat ASEAN.
Kini, sekitar 300 warga bergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Tugu Utara. Mereka dipercaya mengelola areal hutan Perum Perhutani di Cisarua dengan total luas 610,64 hektar.
Hingga kini, sudah 250 hektar yang dihijaukan. Ada lebih kurang dari 500.000 batang pohon kopi dan pohon keras lainnya.
Inspirasi
Belakangan, dibantu Bank Indonesia Jabar, KTH Tugu Utara tengah menyiapkan tiga penginapan bagi wisatawan. Wahana yang akan ditawarkan mulai dari menjelajahi kebun kopi dan teh menggunakkan sepeda.
”Peran Emak sebagai pionir sangat luar biasa. Di balik ketangguhan KTH Tugu Utara, ada sosok perempuan hebat yang menjadi semangat dan ibu bagi beragam kegiatan konservasi di sini,” kata Kepala BI Jabar Herawanto.
Kiprah itu juga yang membuat banyak orang ingin belajar dalam dan luar negeri. Pernah ada mahasiswa dari Jepang, meski lebih banyak pelajar dan peneliti Tanah Air.
Mulyadi, misalnya, berencana tinggal di Cibulao hingga dua minggu ke depan. Dia adalah mahasiswa Pascasarjana Kehutanan IPB University yang tengah menyusun tesis tentang kemandirian konservasi warga menjaga kawasan di sekitarnya.
”Emak dan warga Cibulao memberikan inspirasi besar. Mereka menjaga lingkungan dan mitigasi kawasan sembari menyeimbangkan kebutuhan ekonomi. Cara-caranya harus diketahui dan jadi inspirasi,” kata Mulyadi.
Emak bersyukur dengan anugerah ekonomi yang diberikan kopi bagi keluarga dan warga sekitar. Namun, yang membuatnya bangga, adalah mimpinya menanam demi mencegah bencana, tercapai.
”Sejauh ini, tidak ada longsor di lahan kopi," kata dia
Kopi dan pohon tegakan juga melindungi debit mata air yang ada di sekitarnya. Air itu lantas dijadikan sebagai sumber air bersih bagi warga hingga menjaga pasokan air bagi Talaga Saat, hulu Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta.
Berperan dalam beragam manfaat, Emak mengatakan, belum ingin berhenti menanam kopi. Masih banyak lahan terlantar dan rawan longsor yang ingin ia tanami. Dia sudah menyiapkan ratusan bibit kopi.
”Sampai sekarang, kaki saya masih kuat naik turun tebing curam dan keluar masuk hutan. Doakan saya umur panjang biar tetap bisa terus begini,” kata Emak.
Jauh sebelum kopi kembali menjadi tren di negeri ini, Emak sudah paham benar potensi besar kopi. Lebih dari sekadar minuman nikmat, tapi bermanfaat menjaga bumi dan manusianya berumur panjang.
Baca juga : Iis Sunisih, Jalan Membuka Rahasia Robusta
Biodata
Nama : Partinah
Tempat/Tanggal Lahir : Temanggung, 10 Oktober 1965
Pendidikan Terakhir : SDN Banjarsari Temanggung
Anak :
- Kiryono
- Jumpono
- Dasimto
Cucu (6)