Iis Sunisih, Jalan Membuka Rahasia Robusta
Kopi robusta dari Pangandaran kini unjuk gigi. Lama tersembunyi di antara biji kopi daerah lain, kenikmatannya muncul dari tangan Iis Sunisih dan kawan-kawannya.
Seperti stigma pada kopi robusta, hidup Iis Sunisih (35) pernah terpuruk. Lewat kreasi dan latihan berkomunikasi, Iis dan robusta yang ia kembangkan kini menjadi kebanggaan dari Pangandaran.
Stan kopi Silalabak di Lapangan Paamprokan, Pangandaran, Jawa Barat, ramai konsumen, akhir Agustus 2022. Dari balik meja, Iis ikut sibuk dibuatnya. Alat pengolahan kopi hingga biji kopi dalam kemasan berbagai ukuran ada di atas meja.
Tanpa banyak bicara, Iis cekatan memenuhi pesanan berbagai minuman kopi racikannya. Tidak lama, satu per satu kopi dalam gelas itu berpindah tangan.
Segelas kopi itu diterima Sumardi (55). Meskipun masih mengepulkan asap, dia tidak sabar segera mencicipinya.
Sruput....
Dia tertegun sejenak. Sumardi lalu bertanya kepada Iis.
”Ini kopi apa?” kata Sumardi.
”Robusta, Pak,” jawab Iis.
”Robusta? Enak, ya?” kata Sumardi lagi.
Iis tersenyum. Dia menjelaskan, robusta bisa sangat nikmat apabila diproses dengan benar. Rasanya sangat kaya, tidak kalah dengan arabika.
Sumardi menganggukkan kepalanya. Dia tidak bertanya lagi. Mulutnya sibuk menikmati sajian wine robusta sajian Iis hingga tandas.
”Saya mau, ya, bijinya yang 1 kilogram. Berapa harganya?” katanya.
”Silakan, Pak, Rp 250.000 per kg,” kata Iis dengan senyumnya yang semakin lebar.
Iis dan kopi robustanya kini bukan nama asing di Pangandaran. Dia punya kebun sendiri seluas 1 hektar di Sidamulih, Pangandaran. Setiap panen, dia bisa menghasilkan 2 ton buah kopi atau sekitar 400 kilogram biji kopi.
Biji kopinya selalu tandas setelah rampung diproses. Pembeli utamanya adalah 19 kedai kopi di Pangandaran. Jika sebelumnya Pangandaran didominasi kopi dari daerah lain, robusta dari tanah sendiri giliran unjuk gigi.
”Minat ini tumbuh sekitar setahun terakhir. Dulu, jangankan mencoba meminumnya, hanya menawarkan biji kopi saja saya sudah ditolak,” katanya.
Baca juga : Hadiat Kelsaba, Menambal Karang Pangandaran
Ditolak
Iis awalnya tidak akrab dengan biji kopi. Dia hanya tahu kopi dari suaminya yang gemar menyeduhnya sendiri. Hingga tahun 2019, dia masih disibukkan menjalani pekerjaannya sebagai penjaga kantin sekolah. Tanaman kopi sebatas ia kenal dari suaminya, Suparman, yang menggemari kopi seduhan sendiri.
Hingga akhirnya pandemi Covid-19 datang. Wabah itu membuat kegiatan belajar-mengajar di sekolah dihentikan. Akibatnya, kantin ikut ditutup. Dia kehilangan pendapatan Rp 1 juta per bulan. Namun, dari sana, Iis dan kopi kian dekat.
”Jauh sebelum itu, suami saya banyak belajar dari internet. Kebetulan, saat beli kebun tidak butuh waktu lama untuk praktik. Pohon kopi sudah berusia delapan tahun dan saat itu sebentar lagi panen,” katanya.
Di kebun baru, Iis dan suaminya mulai berkarya pada pertengahan 2020. Mereka mencoba tata cara panen ideal. Hanya memetik kopi yang sudah berwarna merah menjadi patokan utamanya.
Dibantu Herman, teman sekaligus barista yang pernah mengolah kopi Gayo, Iis dan suaminya juga mencoba mengolah kopi robusta dalam berbagai proses. Setelah menghabiskan hingga 2 karung biji kopi, mereka sepakat dengan empat proses.
Selain robusta wine, ada juga proses aerob, anaerob, dan anaerob termal. Tidak sekedar pahit, aneka rasa setelah diseruput muncul, seperti aren, durian, hingga nangka.
Akan tetapi, perjalanan mempromosikan kreasi itu sempat tidak mulus. Ia pernah merugi hingga jutaan rupiah. Sekitar 50 kg yang sudah dipesan salah satu kedai di Yogyakarta, misalnya, batal dibayar. Kedai kopi itu tutup akibat pandemi Covid-19.
marketing
”Jangankan meyakinkan calon konsumen, untuk bicara dengan orang lain saja saya masih takut,” kata Iis.
Beruntung harapan itu tidak mati. Awal tahun 2021, peluang muncul saat mendengar kabar ada program Petani Milenial dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Program ini mendampingi proses usaha petani usia muda di berbagai bidang, seperti pertanian, perkebunan, hingga perikanan.
Aktif di komunitas UMKM Baraya, Iis didorong mendaftar. Ketua komunitasnya, Saeli, yakin Iis dan kopinya punya potensi berkembang. Oleh karena itu, ia tidak segan ikut membantu Iis menyiapkan proses administrasi, seperti nomor induk berusaha hingga sertifikat halal.
”Di awal pelatihan, saya sempat tidak percaya diri. Waktu sesi perkenalan ditanya tentang latar belakang pendidikan, saya tidak berani langsung menjawab, saya cerita tentang perjuangan merawat kopi,” kata lulusan SMP ini.
Mengenali diri
Seiring waktu, ia mulai menemukan ritme yang tepat. Perkenalannya dengan Budi Jatnika, narasumber pelatihan dan salah seorang pendamping di Petani Milenial, membuatnya tahu kekurangan yang harus diperbaiki.
”Ternyata hambatan terbesar saya adalah rasa percaya diri. Hal itu membuat saya lupa punya empat proses mengolah robusta yang tidak dimiliki orang lain,” ucapnya.
Baca juga : Kunkun Herawanto, Bangga Memuliakan Kapulaga
Pengalaman dari Petani Milenial pun lantas diterapkan saat menawarkan kopi ke kedai. Kali ini, ia menyertakan proses penanaman hingga pascapanen kopi saat bertemu calon konsumen.
Iis bahkan mempersilakan calon konsumen untuk datang langsung ke kebun. Dia ingin memberikan bukti menerapkan proses terbaik untuk hasil panen yang konsisten.
Usahanya berhasil. Pendekatannya berhasil meyakinkan konsumen. Penawarannya diterima. Sejak itu, pesanan mulai berdatangan hingga sekarang.
”Itulah alasannya saya namakan kopi ini Silalabak. Dalam bahasa Pangandaran, sila diartikan ’ada di dasar’. Labak kurang lebih artinya ’bangkit’. Kalau digabung, ’bangkit dari keterpurukan’,” katanya.
Nurkholik (28), salah satu barista kedai kopi di Pangandaran, sudah beberapa kali ikut panen di kebun Iis. Dari pengalaman itu, ia tahu kopi Silalabak diperlakukan dengan baik. Ujungnya, saat diseduh, hasilnya selalu konsisten.
Ikut ke kebun, kata Nurkholik, juga memberi banyak manfaat baginya. Dia memiliki banyak narasi yang ia ceritakan kepada konsumennya. Mulai dari cara kopi ditanam hingga diproses sampai siap saji. Dia yakin, kopi enak tidak hanya enak saat dicicipi di mulut, tetapi juga ketika orang tahu kisah di balik biji kopi itu sendiri.
”Kopi robusta dari Silalabak yang paling banyak penggemarnya,” ujarnya.
Ke depan, mimpi Iis masih panjang. Selain menambah lahan karena permintaan biji kopi yang semakin banyak, dia juga ingin berbagi ilmu. Selain menjadi motivator bagi calon petani muda lain, ia kini tengah mendampingi sedikitnya 20 petani kopi Pangandaran.
Kata Iis, masih banyak petani Pangandaran yang belum terlalu paham bagaimana memperlakukan tanaman kopi. Ia mencontohkan, petani masih sembarangan mengambil biji kopi saat panen.
Tidak hanya yang merah, biji belum matang berwarna hijau dan kuning ikut diambil. Karena hal itu rentan mengganggu kualitas kopi, mereka pasrah menerima harga jual maksimal Rp 15.000 per kg dari potensi minimal Rp 35.000 per kg.
Pengetahuan pascapanen juga masih minim. Padahal, apabila diproses dengan benar, biji kopi robusta dari Pangandaran bisa berharga sangat tinggi.
”Pernah ada petani tanya, ’Kok, bisa menjual biji kopi dari yang biasanya Rp 30.000 per kg menjadi Rp 140.000-250.000 per kg?’ Saya jawab, ’Rahasia. Nanti, saya beri tahu kalau mau ikut belajar bersama-sama,’” tuturnya.
Biodata
Nama: Iis Sunisih
Tempat, tanggal lahir : Ciamis, 11 Agustus 1987
Suami: Suparman (39)
Anak: Syla Sulistia (13)
Pendidikan: SMP Negeri 1 Sidamulih, Pangandaran (lulus 2013)
Baca juga : Encih, Racikan Kehidupan Pindang Gunung