Dewi Nurjanah, Cinta untuk Pejuang Kanker
Dewi Nurjanah atau akrab disapa Ambu, kini setia mendampingi penderita kanker. Lewat Rumah Pejuang Kanker Ambu, dia mendampingi ratusan orang tidak mampu untuk tidak putus asa.
Dewi Nurjanah (47) pernah kehilangan segalanya saat anak keduanya meninggal dunia akibat kanker mata. Kini, ia menerima banyak cinta dan menyalurkannya untuk meringankan beban penderita kanker.
Lilis Lasmini (33) langsung memperkenalkan diri saat Dewi Nurjanah tiba di salah satu ruangan milik Rumah Pejuang Kanker Ambu di Sukajadi, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (26/9/2022).
Ia menyodorkan tangannya dan langsung disambut hangat oleh Dewi, yang kerap disapa Ambu oleh orang-orang terdekatnya. Ambu adalah bahasa Sunda yang berarti ibu dalam bahasa Indonesia.
"Saya yang dari Majalengka. Ini anak saya Sabitha," kata Lilis.
"Ini yang baru masuk kemarin. Semoga betah dan sehat-sehat ya anaknya?" kata Ambu.
“Terima kasih sudah dibantu,” kata Lilis lagi.
Lilis dan anaknya adalah penghuni baru di di Rumah Pejuang Kanker Ambu (RPKA). Dia datang bersama anaknya, Sabitha Laskar Fatiha (5), yang divonis menderita leukemia sebulan lalu.
Sabitha lantas dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung (RSHS) untuk menjalani kemoterapi selama 12 minggu. Akibat terkendala biaya, ibu rumah tangga ini disarankan salah satu perawat di rumah sakit itu, datang ke RPKA.
RPKA hanya berjarak sekitar 700 meter dari RSHS. Sejak tahun 2012, tempat itu menjadi rumah singgah bagi penderita kanker dari keluarga tidak mampu.
Lilis, misalnya, jadi tulang punggung keluarga. Bekerja jadi buruh di pabrik rokok, dia dibayar Rp 71.000 per hari.
Akan tetapi, RPKA lebih dari sekadar tempat berteduh. Biaya makan minum, obat-obatan yang tidak ditanggung negara, hingga ongkos transportasi ikut ditanggung RPKA. Semuanya gratis. Biayanya diambil dari para donatur yang baik hati.
“Saya pernah ada di posisi mereka, merawat anak menderita kanker mata, di tengah kondisi ekonomi yang berat, kurang lebih 2,5 tahun,” kata Ambu, pendiri sekaligus pengelola RPKA.
Baca juga : Teladan Besar Itu Muncul dari Gang Sempit
Menahan lapar
Perjuangan Ambu bermula di tahun 2009. Muhammad Rizki Ramadhan, anak keduanya, saat itu mengalami pembengkakan kelenjar getah bening.
Selain benjolan di leher, mata anaknya yang kala itu baru berusia sembilan bulan itu menonjol. Setelah perawatan medis selama enam bulan, benjolan itu mengempis.
Akan tetapi, belum tuntas pengobatannya, Rizki tidak sengaja terbentur tembok. Sejak itu, tonjolan matanya kian membesar. Kondisi kesehatannya anjlok.
Dibawa ke Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, dokter menyarankan agar Rizki dioperasi. Namun, Ambu mengurungkannya. Dia tidak tega bila anaknya harus kehilangan mata. Masih minim ilmu kesehatan ideal, dia memilih pengobatan alternatif.
“Padahal, bila ditangani lebih awal, ada harapan sembuh,” katanya.
Pilihannya menunda operasi berakibat fatal. Mata Rizki pecah pada suatu malam. Saat dirujuk lagi ke RS Cicendo, Rizki divonis retinoblastoma atau kanker mata menyerang retina. Kali ini, tidak ada jalan lain. Rizki harus kemoterapi di RSHS sebab nyawa adalah taruhannya.
“Saya bingung karena tidak punya biaya. Jaminan kesehatan daerah hanya Rp 5 juta per tahun. Padahal, biaya kemoterapi Rp 15-20 juta sekali seminggu dan dilakukan 6-7 bulan,” katanya.
Tiba di RSHS, Ambu melihat kenyataan yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Dia keliru menganggap kanker hanya penyakitnya orang kaya. Buktinya, banyak orang tidak mampu harus berjuang hidup didera kanker. Dia mulai belajar tabah menjalaninya.
“Karena tidak punya biaya, saya sempat tinggal di pelataran UGD rumah sakit sembari menunggu jadwal kemoterapi. Tidak berani pulang pergi Garut. Takut anak saya kondisinya anjlok,” katanya.
Akan tetapi, memaksakan tinggal di pelataran UGD bukan pilihan bijaksana. Dia lalu nekat menjual rumah di Garut seharga Rp 50 juta.
Anak sulungnya dia titipkan ke kerabatnya. Sebagian uang digunakan mengontrak kamar petak Rp 500.000 per bulan untuk tinggal bersama anak dan suaminya.
Akan tetapi, langkah itu belum menyelesaikan masalah. Tabungannya semakin menipis. Selama di Bandung, ia tidak bekerja. Untuk makan dan biaya kemoterapi, ia dan suaminya berutang ke berbagai pihak.
“Saya pernah merasa sangat lapar. Uang hasil utang hanya cukup untuk makan bergizi anak,” kata mantan buruh koveksi di Jakarta ini.
Hingga akhirnya, dalam doa, ia berkeluh kesah. Dia bertanya kapan semua cobaan ini akan berakhir. Dia menangis.
Tangisannya ternyata didengar Rizki. Dari mulut anak balita itu, dia mendapat penghiburan tidak terduga. "Ambu jangan nangis, adek aja enggak nangis," begitu kurang lebih kata-kata yang diucapkan Rizki.
Mendengar itu, Ambu menangis semakin kencang. Dia seperti ditampar. Bila anaknya masih ingin terus berjuang, kenapa ia justru menyerah. Semangatnya muncul lagi. Dia percaya ada hikmah di balik semuanya.
Hanya saja, takdir bukan urusan manusia. Ucapan Rizki itu ternyata yang terakhir kali didengar Ambu. Setelah itu, Rizki koma dan meninggal dunia tiga minggu kemudian pada 2011.
“Saya terpukul. Rizki meninggal dunia. Rumah dan pekerjaan pun tidak ada. Hampir setahun, saya dirundung kesedihan,” katanya.
Bangkit
Hingga akhirnya di tahun 2012, keterpurukannya dibangunkan panggilan telepon dari Ny Lisa. Dia adalah orang yang kerap menjenguk anaknya saat dirawat di RSHS.
Lisa menawarkan Ambu untuk mendirikan dan mengelola rumah singgah bagi penderita. Dana biaya rumah dan operasional bakal dibiayai Lisa dan kawan-kawannya.
“Ibu Lisa mengajak saya bangkit. Kata dia, banyak orang-orang seperti saya yang tengah berjuang untuk kesembuhan anaknya. Sempat ragu, tapi saya ingat lagi pesan Rizki. Ajakan itu saya terima dan kembali ke Bandung,” katanya.
Lisa menepati janji. Ambu dipercaya mengelola satu rumah kontrakan dengan tiga kamar di Jalan Sejahtera Dalam Nomor 11. Tempat itu dinamakan Rumah Cinta. Sejak awal berdiri, penderita kanker boleh datang tanpa dipungut biaya.
Ambu dan suaminya mulai bergerak mencari penderita yang terkendala biaya. Tata kelola gizi hingga kebersihan tempat itu sama seperti yang Ambu terapkan pada Rizki. Salah satu contohnya, makanan harus disiapkan bergizi dan tak berpengawet.
Rumah Cinta dengan cepat menjadi oase bagi penderita kanker minim biaya. Dari mulut ke mulut kabar itu menyebar. Hingga tahun 2022, tercatat ada 700 orang yang datang dan pergi. Sebagian besar dari Jabar tapi ada juga yang datang dari Nusa Tenggara Timur.
“Ada yang tinggal hanya beberapa minggu dan bulan. Namun, ada juga yang hingga tujuh tahun, tergantung durasi dan kebutuhan pengobatan. Sekarang kami masih mendampingi sedikitnya 400 orang. Per hari ini, ada tercatat 28 orang yang menjalani kemoterapi,” kata kata Ambu yang tidak lulus SD akibat keterbatasan biaya.
Baca juga : Rumah Singgah Pertama di Kota Depok Hadir untuk Keluarga Pasien
Jembatan kebaikan
Kerja mulia itu diketahui semakin banyak donatur. Dari hanya Ny Lisa dan beberapa kawan, jumlahnya bertambah menjadi kurang lebih 3.000 donatur. Mereka menyumbang uang dan barang untuk para penderita yang membutuhkan setidaknya Rp 150 juta per bulan.
Keterlibatan banyak orang baik itu juga membuat Ambu bisa menambah rumah singgah. Kini, ada empat rumah singgah di Bandung dan satu di Garut. Semuanya bisa menampung sedikitnya 100 orang. “Saya kehilangan segalanya saat merawat Rizki. Namun, saya mendapat banyak cinta dari banyak orang dan bisa ikut memberikan lebih banyak pada orang lain,” katanya.
Akan tetapi, semuanya tidak berjalan mulus begitu saja. Dia sempat diragukan kerabatnya. Bagaimana bisa, Ambu yang kehilangan anak dan harta benda bisa membantu banyak orang. Namun, dia menepisnya dengan bukti nyata.
Bahkan, di tahun 2019, dia merasakan lagi kehilangan orang terdekatnya. Suaminya kepincut hati yang lain. Mereka pun akhirnya berpisah.
Keputusan itu membuatnya sempat limbung. Semua urusan administrasi dan keuangan Rumah Cinta terkendala karena dipegang mantan suami. Agar pelayanan bagi penderita tidak terganggu, dia memutuskan mengganti nama Rumah Cinta menjadi RPKA.
“Beruntung, donatur dan puluhan relawan masih percaya dan mau membantu saya mulai lagi dari nol. RPKA tidak kehilangan dukungan. Saya beruntung dikelilingi orang-orang baik,” kata dia yang kisah hidupnya akan menjadi inspirasi film berjudul Mata Dewi. Film itu bakal diluncurkan 24 Oktober 2022 bertepatan dengan Hari Dokter Nasional.
Ambu tidak asal bicara. Orang baik itu datang bersama getar telepon genggamnya. Identitas penelepon tidak tersimpan di dalam kontaknya.
Cukup lama ia berbincang. Ambu menceritakan kondisi RPKA. Salah satu bahasannya tentang kebutuhan dana membayar kontrakan lima rumah singgah yang jatuh tempo tahun depan. Biayanya Rp 10 juta hingga Rp 50 juta per unit per tahun.
Saat pembicaraan itu berakhir, Ambu mengatakan, di ujung telepon adalah calon donatur dari Banjaran, Kabupaten Bandung. Mereka tidak saling kenal sebelumnya.
“Dunia ini tidak kurang-kurangnya orang baik. Saya tidak pernah mengirimkan proposal bantuan pada swasta atau pemerintah tapi kepedulian terus berdatangan. Semoga kami bisa terus menjadi jembatan bagi penderita kanker,” katanya.
Baca juga : Yayasan Dana Kemanusiaan ”Kompas” Bangun Rumah Singgah Penderita Kusta di Asmat
Dewi Nurjanah
Lahir : Garut, 15 Maret 1975
Pendidikan Terakhir : SD Banyuresmi, Garut (tidak lulus)