Viktor Manbait, Mencerahkan Warga Perbatasan RI-Timor Leste
Viktor Manbait, sosok yang tidak asing bagi masyarakat Timor Barat. Selama 22 tahun mendampingi masyarakat perbatasan RI-Timor Leste, termasuk pemda setempat.
Selama 22 tahun, Viktor Manbait melakukan sejumlah terobosan di perbatasan RI-Timor Leste. Ia mendorong sistem perizinan satu pintu yang cepat dan transparan di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Juga mengadvokasi masyarakat sipil terkait kesewenang-wenangan penguasa dan tindak kekerasan dari aparat keamanan.
Ketertarikan Manbait melayani orang kecil, miskin, dan tertindas muncul sejak di bangku kuliah. Saat itu ia sudah terlibat sebagai aktivis kemanusiaan bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kupang.
Selesai kuliah hukum, 1999, ia bersama tiga rekan mendirikan Lembaga Advokasi Anti Kekerasan terhadap Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi NTT. Lakmas lahir terinspirasi dari gerakan mahasiswa menentang Orde Baru (1998-1999).
”Berpisahnya Timor Timur dari Indonesia saat itu melahirkan sejumlah persoalan kemanusiaan di perbatasan RI-Timor Leste. Itu juga mendorong kehadiran Lakmas,” kata Manbait di Kupang, Rabu (21/9/2022).
Baca juga : Kesetiaan Warga Eks Timor Timur
Lakmas beroperasi mulai Januari 2000. Manbait bersama tiga rekannya bekerja di kamar kos salah satu rekan mereka di Oeipoi, Kota Kupang. Mereka duduk di tikar lantai kamar kos. Dalam perjalanan, tiga rekannya mengundurkan diri. Manbait sendiri mengelola Lakmas.
”Saya suka dengan kerja-kerja kemanusiaan ini. Meski ditawari menjadi PNS dan diajak bekerja di perusahaan milik negara, saya tolak. Masalah perbatasan yang mencuat saat itu yakni adanya jalan tikus di sepanjang perbatasan RI-Timor Leste. Dari Wini di Timor Tengah Utara sampai dengan Oepowli di Kabupaten Kupang terdapat 15 titik pintu masuk-keluar atau jalan tikus. Belum termasuk puluhan jalan tikus di Kabupaten Belu dan Malaka saat itu,” kata Manbait.
Melalui jalur itu, warga kedua negara di perbatasan ini saling kunjung. Ratusan orang ditangkap, kemudian dideportasi ke negara asal. Bahkan ada yang diintimidasi dan mengalami tindak kekerasan. Padahal, mereka sangat kangen bertemu anggota keluarga yang tercerai-berai pascareferendum.
”Lakmas kerja sama dengan Fondacao Fatusinae Organicacaodi Timor Leste melakukan kunjungan ke lapangan. Kemudian kami memberikan dua rekomendasi penting ke pemerintah masing-masing negara. Segera diadakan kartu pas lintas batas bagi warga di sepanjang perbatasan kedua negara dan diadakan pasar tradisional di perbatasan itu,” kata Manbait.
Baca juga : Pertarungan Terbuka di Timor Tengah Utara
Pas lintas batas kemudian diterbitkan. Warga kedua negara tidak lagi kesulitan melakukan kunjungan kepada anggota keluarga di sepanjang perbatasan. Kemudian dihadirkan lima pasar perbatasan. Mungkin program ini sudah diagendakan pemerintah kedua negara, Lakmas turut mendorong.
Pendampingan terhadap masyarakat adat pun dilakukan. Kawasan hutan adat di tiga titik wilayah Timor Tengah Utara (TTU) diambil alih salah satu perusahaan pertambangan mangan secara sepihak. Manbait melalukan pendampingan terhadap masyarakat adat tersebut. Hutan adat seluas 50 hektar itu pun kembali ke masyarakat sampai hari ini.
Persoalan izin di sejumlah instansi teknis pemda TTU pun bermasalah. Selain lama dan berbelit, warga juga harus dipungut biaya yang tidak wajar. Manbait menginisiasi pembangunan sistem pelayanan satu pintu di lingkungan pemda TTU.
Pada awalnya usaha itu ditertawakan. Manbait tidak patah semangat. Sejumlah anggota staf pemda TTU dikirim studi banding di Bandung, Jawa Barat, soal sistem pelayanan satu atap ini. Upaya itu berhasil. Proses perizinan yang berbelit-belit berhasil dipangkas.
Baca juga : Pembunuhan Usnaat di Dalam Tahanan Polsek Nunpene Timor Tengah Utara
Pemda dan Lakmas sepakat. ”Jika sebuah izin telah diajukan, tetapi batas waktu sampai lima hari pun tidak segera keluar izinnya, maka hal itu dianggap disetujui. Kegiatan dijalankan dulu, surat fisik izin menyusul. Juga izin-izin yang menjadi kewenangan bupati diserahkan ke instansi teknis agar tidak berlama-lama,” katanya.
Soal izin satu pintu pun sukses dibangun. Sejak saat itu, PNS yang dinilai sukses diberi reward dan yang gagal diberi punishment. Masyarakat puas atas kinerja pelayanan pemda saat itu. Tahun 2012, Lakmas mengundurkan diri dari pelayanan satu pintu.
Lakmas beralih ke Kabupaten Belu. Setelah berhasil di Belu, Lakmas menyerahkan kerja sama dengan pemda itu, dilanjutkan Yayasan Bentara Sabda Atambua, Belu.
Manbait dengan empat anggota staf Lakmas terus didatangi para pencari keadilan. Selama 2000-2022, rata-rata satu bulan ada lima laporan masuk. Selama 22 tahun, sebanyak 1.320 laporan masuk. Laporan yang masuk terkait dengan korupsi, tindak kekerasan terhadap warga sipil, penyalahgunaan kewenangan oleh penguasa terhadap bawahan dan warga sipil, pemerkosaan, pembunuhan, perdagangan orang, dan penyelundupan barang.
Baca juga : Timor Tengah Utara Usulkan Tenaga Kontrak Diangkat Jadi PNS
Para pencari keadilan itu kebanyakan datang sendiri, usulan kepala desa, atau permintaan pendampingan oleh korban. Masyarakat dari desa-desa selalu mengadukan sejumlah masalah yang mereka alami.
”Belum ada penelitian soal berapa persen kasus itu sukses ditangani. Tetapi, hampir semua kasus mendapat tanggapan serius dari pihak berwajib, dan sebagian diproses sampai di pengadilan,” ujarnya.
Manbait dalam lima bulan terakhir bergabung sebagai pengacara di Kupang, di samping mengelola Lakmas. Ia mengatakan, masalah paling menonjol antara lain kasus pembunuhan tahanan di sel tahanan polsek. Paulus Usnaat (48) tewas di dalam tahanan Polsek Nunpene, TTU, 2007. Kapolsek dan penjaga piket Polsek Nunpene saat itu tidak dikenai sanksi apa pun sampai hari ini.
Selain itu, ada kasus kematian Marianus Oki (44) di dalam tahanan Pos Polisi Manamas, TTU, 2017. Saat itu dilakukan gelar perkara besar yang dihadiri anggota Kompolnas, anggota Propam Polri, dan Kapolda NTT. Gelar perkara merekomendasikan segera dibentuk tim penyidik baru untuk mengusut kasus Marianus Oki. Kematian Marianus dinilai tidak wajar.
Baca juga : Aksi 1.000 Lilin untuk Kematian Marianus Oki di Timor Tengah Utara
Rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti sampai hari ini. ”Kami mempertanyakan kelanjutan rekomendasi itu ke Polda NTT, bahkan sampai ke Mabes Polri. Semua diam dan menganggap kasus itu biasa-biasa saja. Keluarga mempertanyakan kelanjutan kasus itu,” kata Manbait.
Sementara itu, ratusan tenaga honorer dipecat sepihak oleh penguasa TTU, 2010-2020. Manbait melakukan pendampingan terhadap para korban. Ia membawa para korban kepada pihak berwenang, mempertanyakan masalah yang dihadapi. Kebanyakan dari mereka adalah guru honorer, camat, kepala puskesmas, sopir, dan tenaga pembersih kantor. ”Hampir 70 persen yang saya dampingi, tuntutan atas hak mereka terjawab. Itu pun tidak dicapai dengan mudah,” ucapnya.
Ia puas dalam karier selama 22 tahun itu. ”Para petani miskin yang datang dari desa-desa terpencil saat pulang tidak ada biaya transportasi. Saya bantu meski tidak banyak. Ini membuat saya puas karena bisa berbagi,” kata Manbait.
Para petani miskin di desa-desa makin paham soal hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Warga perbatasan itu mulai berani melaporkan kepala desa mereka yang terlibat korupsi dana desa kepada aparat penegak hukum. Mereka berani bicara di forum terbuka saat ada pejabat dan aparat keamanan berkunjung ke desa.
Baca juga : Dua Kepala Desa di Timor Tengah Utara Jadi Tersangka Korupsi Dana Desa
Manbait begitu puas. ”Mereka mulai cerdas dan kritis. Sebelumnya mereka diam saja dan terus diinjak. Mudah dibohongi. Sekarang mereka berani bersuara kalau hak mereka diabaikan,” ujarnya.
Akan tetapi, masalah paling krusial adalah saat Manbait berurusan dengan kasus tindak kekerasan, pembunuhan, dan pemerkosaan warga sipil yang melibatkan oknum anggota kepolisian. Kasus pemerkosaan tahun 2012, misalnya. Seorang remaja perempuan, NM (16), ditahan di Polres TTU.
Oknum anggota polisi di Polres TTU itu memerkosa NM, kemudian NM disuruh melarikan diri. NM kemudian ditangkap dengan tuduhan berupaya melarikan diri. ”Oknum anggota polres itu tidak diproses sampai hari ini. Hanya ada rekonstruksi kasus. Kelanjutan tidak ada. Kami sudah mendesak kapolda saat itu agar kasus ini diproses, tetapi semua diam,” tuturnya.
Selama 22 tahun memberi advokasi hukum terhadap masyarakat, sejumlah kasus yang melibatkan oknum anggota polisi tidak diproses hukum, termasuk sanksi indisipliner internal pun. Ini sangat disayangkan.
Berbeda dengan institusi TNI. ”Ketika ada pengaduan masyarakat terkait tindak kekerasan yang melibatkan oknum anggotanya, langsung ditindaklanjuti atasan. Pelaku diproses secara internal dan terbuka bagi umum. Masyarakat puas,” kata Manbait.
Baca juga : Guru Honorer Tersandera Kepentingan Politik di Timor Tengah Utara
Viktor Manbait
Lahir: Kefamenanu, 2 Maret 1971
Pendidikan terakhir: Sarjana hukum Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, NTT
Istri: Nina Purwiyantini
Anak: 2
Jabatan: Direktur Lakmas dan pengacara