Sanyo, ”Mantir” Adat yang Berjuang Menjadi Paralegal
Sanyo (52), ”mantir” adat dari Desa Kalumpang, merasakan bahwa pendekatan adat tidak cukup kuat untuk memperjuangkan hak-hak warga. Dia pun belajar untuk menjadi paralegal.
Proyek lahan gambut sejuta hektar menjadi titik balik perubahan lingkungan di Desa Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Perubahan kehidupan masyarakat di desa yang berada di tepi Sungai Kapuas ini terjadi terutama setelah larangan berladang diberlakukan sejak 2015.
Sanyo (52), mantir (tetua) adat Desa Kalumpang masih remaja saat alat-alat berat dari proyek lahan gambut sejuta hektar itu tiba-tiba datang ke sekitar desa pada tahun 1996. Kanal-kanal dibuat untuk menghubungkan Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan, mencabik-cabik lahan gambut dan menguras airnya agar bisa dicetak sawah. Kalumpang masuk dalam Blok A eks proyek lahan gambut (PLG).
”Ini bekas kanal air PLG itu. Dulu masih ada pintu besinya,” kata Sanyo saat menyusuri kanal buatan yang hanya berjarak sekitar 20 menit dari rumahnya.
Siang itu, Rabu (20/7/2022), Sanyo dan istrinya, Ambun Suteng (43), mengajak Kompas menjenguk ladang yang selama tujuh tahun tidak digarap lagi. Menyeberangi Sungai Kapuas yang tepat di beranda belakang rumah, Sanyo dan Ambun tiba di anak sungai kecil. Kelotok atau perahu kecil bermesin pun melaju ke arah hulu.
Sebagai mantir saja tidak cukup, karena adat tidak lagi didengar.
Kami kemudian menyusuri kanal-kanal bekas PLG yang dibuat di pengujung Orde Baru dan kini mangkrak, menyisakan lahan-lahan gambut yang rusak hidrologinya, menjadi sumber kebakaran setiap musim kemarau. ”Sebelum ada PLG, kebakaran memang kadang terjadi saat kemarau. Namun, kebakaran 1997 menjadi yang paling besar saya alami. Asapnya sampai masuk kampung,” kisah Sanyo.
Sejak saat itu, hasil hutan pun berkurang. Hewan buruan dan buah-buahan hutan menghilang. Namun, Sanyo dan warga Desa Kalumpang masih bertahan karena ladang masih menjadi sumber penghidupan.
Hingga pada musim kemarau tahun 2015, kembali terjadi kebakaran hutan yang hebat, bahkan menurut Sanyo lebih dahsyat dibandingkan tahun 2007. ”Kampung gelap oleh asap karena kebakaran di mana-mana, termasuk melanda perkebunan karet warga. Hampir 4.000 pohon karet saya juga terbakar. Sampai sekarang masih trauma,” ujarnya.
Sejak kebakaran itulah warga dilarang berladang karena pembukaan lahan dengan membakar dianggap sebagai sumber kerusakan lingkungan. ”Padahal, sejak awal, proyek-proyek itu yang menjadi sumber perusakan lingkungan,” kata Sanyo.
Ia mulai merasakan adanya ketidakadilan, tetapi tidak berdaya. ”Tidak tahu harus bagaimana,” ucapnya.
Namun, tiap waktu dia merasakan persoalan yang dihadapi warga kian berat. Beberapa warga yang masih membuka ladang dengan membakar pun ditangkap. Tradisi ribuan tahun yang berlangsung turun-temurun itu pun berakhir.
Baca juga : Larangan Bakar dan Solusi Masih Belum Ketemu
Sebagian besar pria di kampungnya keluar dari kampung untuk mencari mata pencarian lain. Kebanyakan menjadi buruh perkebunan sawit, lainnya bekerja sebagai penyedot emas. Sanyo juga pernah melakoni pekerjaan itu.
Namun, sebagai mantir adat, Sanyo tidak bisa mengelak saat banyak warga datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Sebelum berhenti berladang, masalah yang kerap diadukan warga untuk diselesaikan dengan sidang adat umumnya terkait masalah perceraian hingga persoalan peliharaan yang merusak tanaman. Saat ini berubah, masalah yang ia hadapi jauh lebih kompleks, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, penyerobotan lahan, hingga konflik dengan perusahaan.
Banyaknya orang bekerja di perusahaan juga membuat konflik bertambah. Sanyo ingat betul, saat ia dihadapkan dengan kasus warganya bernama Suwanto yang dituduh membakar lahan perusahaan karena membuang puntung rokok, Suwanto dibawa ke kantor polisi dan jadi tersangka.
Sanyo pun menggelar sidang adat untuk mengundang perusahaan. Namun, perusahaan mengabaikan undangan untuk menyelesaikan masalah itu secara adat. Sanyo mulai merasakan keterbatasan ”hukum adat”. ”Tapi, istri dan mertuanya datang ke rumah mohon bantuan, nangis-nangis. Saya tidak tahu harus bagaimana,” ungkap Sanyo.
Dia lalu berinisiatif mendatangi perusahaan untuk mencari informasi tersebut. Sanyo bukan pengacara, ia tak paham hukum, tetapi ia mengumpulkan sendiri informasi dan keterangan dari perusahaan tempat kawannya itu bekerja. Sampai akhirnya semua data itu ia gunakan untuk mencari bantuan hukum.
Baca juga : Masyarakat Adat Belum Punya Payung Hukum
Selama mengurus itu, Sanyo hampir tak pernah di rumah. Ia berangkat pukul 04.00 dari rumah dan pulang larut malam. Ia jadi kian sibuk ketika sidang berjalan. Pada akhirnya Suwanto dinyatakan bersalah oleh pengadilan, tetapi tidak di mata Sanyo dan masyarakat Desa Kalumpang.
Suwanto yang harus mendekam di penjara terpaksa meninggalkan anak dan istrinya di kampung. Lalu, Sanyo kembali lagi ke perusahaan untuk meminta perusahaan membayarkan gaji Suwanto dan pesangon untuk diberikan kepada anak dan istrinya.
Belajar hukum
Setelah kasus Suwanto, Sanyo merasakan pentingnya untuk belajar tentang sistem hukum di negeri ini. Akan tetapi, dia bukan sarjana. Pendidikan terakhirnya hanya sekolah menengah pertama (SMP). Akhirnya, ia mengikuti berbagai pelatihan paralegal dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya, juga lembaga lainnya.
Sekalipun sudah berumur, Sanyo sangat bersemangat mengikuti pelatihan paralegal ini. Walaupun paralegal hanya bisa memberikan bantuan hukum secara nonlitigasi, sesuai Undang-Undang Nomor 16 2011 tentang Bantuan Hukum, Sanyo kini memiliki kewenangan untuk melakukan penyuluhan dan konsultasi hukum, investigasi perkara, mediasi, negosiasi, hingga pendampingan di luar pengadilan.
Sekalipun sebagai paralegal bukan perkara mudah, karena semua itu merupakan kerja sosial dan tanpa gaji, Sanyo merasakan kepuasan batin. ”Istri kerap mengingatkan, untuk apa saya melakukan ini semua. Tetapi, saya merasakan inilah jalan hidup. Sebagai mantir saja tidak cukup, karena adat tidak lagi didengar,” katanya.
Sanyo mengatakan, adat sekarang lebih sering jadi alat politik. Para mantir adat yang di bawah sudah berjuang membantu menjaga adat, tetapi pimpinan adat di daerah, yang seringnya juga politisi, kerap menutup mata terhadap berbagai masalah masyarakat. ”Seperti pelarangan berladang itu, kan, mengancam kehidupan masyarakat adat, tetapi kenapa dibiarkan?” ujar Sanyo.
Sekalipun belum bisa melakukan perubahan besar, kini Sanyo merasa lebih berguna untuk menghadapi persoalan-persoalan sehari-hari yang dihadapi warganya. Dia merasa lebih percaya diri saat berhadapan dengan aparat atau perusahaan yang berhadapan dengan warga.
Baca juga : Pendidikan Kontekstual Lindungi Kearifan Lokal Masyarakat Adat
Ia paham betul, risiko hidup di desa yang dikelilingi perusahaan perkebunan besar itu artinya berdampingan dengan konflik, salah satunya soal lahan. Selama menjadi paralegal, ia sudah sering mendapatkan permohonan bantuan hukum karena lahan warga diserobot. Namun, tak jarang dirinya kecewa terhadap orang yang ia bela.
”Ada juga dulu yang datang ke saya minta tolong, setelah ditolong dan terbukti lahan itu milik dia, lalu dikembalikan, eh malah dijual lagi ke perusahaan yang ia tuntut pula. Sakit hati juga saya, tapi saya tidak akan berhenti menolong orang,” ungkap Sanyo.
Cerita-cerita itu kemudian ia tutup karena istrinya sudah meliriknya dan mengingatkan bahwa hari mulai senja. Sanyo pun bergegas, menyalakan mesin perahu dan kembali pulang.
Sampai di rumah, ia menikmati kandas atau sambal khas Dayak buatan Ambun. Sambil makan, beberapa ibu tetangga datang ke rumah untuk mengobrol dengan Ambun. Salah seorang perempuan itu bercerita tentang sulitnya kehidupan mereka sekarang, tentang beratnya bekerja di kebun sawit, anak-anak yang putus sekolah, dan jeratan utang.
Sanyo yang sedari tadi mencuri dengar kemudian berteriak, ”Sekarang zaman susah memang, tapi yang penting jangan jual tanah, karena kita nanti akan kembali ke tanah ini.”
Sanyo
Lahir: Kalumpang, 1 Januari 1970
Pekerjaan: Mantir adat dan paralegal
Pendidikan terakhir: SMP
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center.