Salah satu substansi yang dikehendaki ada dalam RUU Masyarakat Adat di antaranya terkait penyederhanaan mekanisme pengakuan hak-hak masyarakat adat serta resolusi penyelesaian konflik.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA, DIAN DEWI PURNAMASARI, SUCIPTO, RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan aturan yang melindungi masyarakat adat membuat mereka masih rentan terhadap berbagai ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi. Kehadiran Undang-Undang tentang Masyarakat Adat sangat mendesak agar masyarakat adat mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara.
Ketiadaan pengakuan negara membuat ruang hidup komunal mereka sulit mendapatkan dasar hukum. Ketika ruang hidup itu dibebani konsesi atau menjadi lokasi pembangunan infrastruktur, dan warga berupaya mempertahankannya, kerap kali lalu terjadi konflik tenurial. Pada akhirnya, situasi itu acap kali berujung kriminalisasi.
Menurut catatan akhir tahun 2021 dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sepanjang 2021 terdapat laporan 13 kasus perampasan wilayah adat seluas 251.000 hektar dan berdampak pada pada 103.717 jiwa. Pada Januari-Mei 2022 ini terekam 11 konflik masyarakat adat.
Semua syarat sudah terpenuhi oleh RUU Masyarakat Hukum Adat sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak segera dibahas.
Konflik bisa semakin parah menyusul pelaksanaan berbagai perundang-undangan yang dinilai menitikberatkan investasi, seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyampaikan, konflik yang menimpa masyarakat adat tidak hanya terkait lahan, tetapi juga wilayah dan sumber daya. ”Kriminalisasi terjadi ketika negara, perusahaan, atau pihak mana pun menggunakan peraturan yang ada untuk membungkam dan mengintimidasi masyarakat adat,” ujarnya, Rabu (1/6/2022).
Salah satu tuntutan utama AMAN terhadap negara untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Salah satu substansi yang dikehendaki ada dalam RUU Masyarakat Adat terkait penyederhanaan mekanisme pengakuan hak-hak masyarakat adat serta resolusi penyelesaian konflik.
Masuk Prolegnas
Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Usep Setiawan menyatakan, pemerintah masih terus membahas dan menyusun peraturan ini dengan DPR. Posisi terakhir RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022.
Ia pun mengatakan, tim kerja di KSP yang dibentuk untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dan pengakuan wilayah adat secara formal telah selesai bekerja. Laporan itu telah dikirimkan kepada presiden dan kementerian/lembaga terkait.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas, Senin, mengatakan, RUU Masyarakat Adat sudah masuk dalam Prolegnas 2022. RUU itu menjadi inisiatif DPR.
Baleg pun sudah selesai menyusun naskah akademik dan draf RUU tersebut. Sekarang, Baleg sedang menunggu alokasi waktu dari pimpinan DPR agar RUU tersebut disetujui untuk dibahas bersama pemerintah dalam rapat paripurna.
“Baleg mendorong agar RUU Masyarakat Adat ini bisa segera disahkan. Penyusunan dan harmonisasi sudah selesai,” kata Supratman.
Sementara itu, Ketua Kelompok Fraksi Nasdem di Badan Legislasi (Baleg) Taufik Basari mengatakan, legislasi RUU Masyarakat Adat, sangat dinantikan oleh masyarakat adat. ”Semua syarat sudah terpenuhi oleh RUU Masyarakat Hukum Adat sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak segera dibahas,” katanya.
Pakar hukum agraria sekaligus pengajar hukum adat Universitas Gadjah Mada (UGM), Rikardo Simarmata, meyakini substansi RUU Masyarakat Adat yang disampaikan akademisi ataupun organisasi masyarakat sipil sejak beberapa tahun lalu sudah cukup kuat. Substansi itu, di antaranya, terkait proses pengakuan, upaya perlindungan, dan pelaksanaan aturan di daerah.
Ia menambahkan, untuk mengatasi masalah pengesahan RUU Masyarakat Adat yang dinilai stagnan, setiap pemda dapat mengeluarkan peraturan daerah (perda) pengakuan bagi masyarakat adat beserta wilayahnya. Hal ini, menurut dia, juga membutuhkan dukungan dan dorongan dari Kementerian Dalam Negeri untuk mengakselerasi pengesahan perda tentang masyarakat adat.
IKN Nusantara
Di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, lokasi yang ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, belum ada masyarakat adat yang diakui pemerintah. Masyarakat adat setempat dari suku Balik dan suku Paser sudah tersisih oleh program transmigrasi dan pemberian konsesi kehutanan.
Kepala Adat Suku Balik Kelurahan Sepaku Sibukdin (60) berharap pemerintah tak terburu-buru membangun IKN di daerahnya. Ia berharap pemerintah melakukan pendataan, pengakuan, dan pelindungan hak masyarakat lokal terlebih dahulu. Mereka khawatir bakal tersingkir dari tanah kelahirannya sendiri.
Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara Pitono menyatakan, pihaknya sedang melakukan harmonisasi peraturan bupati tentang identifikasi masyarakat hukum adat.