Yusuf Ramli, Jalan Berliku Juragan Ikan Muara Baru
Yusuf Ramli meniti perjalanan yang tak mudah untuk menjadi pengusaha perikanan. Kini, dia sukses dalam bisnisnya dan tak pelit berbagi ilmu hingga para mantan pegawainya mengikuti jejaknya.
Yusuf Ramli tak pernah membayangkan perjalanan hidupnya sampai pada titik di mana penghidupan orang-orang bakal bergantung pada usahanya. Yusuf muda pernah terpaksa menumpang tidur di masjid Pasar Tanah Abang karena tak lagi punya rumah untuk pulang. Pada titik terendahnya, Yusuf pernah hidup dari belas kasihan para pemain judi biliar di Kota Padang.
Di tempat itu, Yusuf membantu mengocokkan kartu remi atau menata bola di meja bilier demi bisa mendapat sepiring mi instan. Saat itu, sekitar tahun 1996. Dia baru saja menyewa kapal untuk menangkap lobster di perairan Samudra Hindia, antara Pulau Nias dan Kepulauan Mentawai. Kapal sudah disewa, perbekalan melaut ada. Namun, nakhoda menolak kapal karena kapal dalam kondisi bocor. Tak mau rugi, Yusuf akhirnya nekat menakhodai sendiri kapal tersebut.
Kemampuan menakhodai kapal didapat Yusuf saat dia menuntut ilmu di Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Dumai dan Akademi Usaha Perikanan (AUP) Jakarta. Yusuf taruhan nyawa di Samudra Hindia dengan kapal bocor. ”Setiap malam saya terpaksa ikut menimba air dari kapal. Sesampai di Mentawai saya tak berani lagi membawa kapalnya. Kapal saya tinggal di Mentawai, terus saya kembali ke Padang,” ujarnya.
Sesampai di Padang, uang sudah tak ada. Namun, Yusuf enggan pulang ke kampung halamannya di Air Tiris, Kampar, Riau. Pantang untuk pulang ke kampung halaman seusai gagal di rantau. Untuk menyambung hidup, dia membantu para penjudi kecil-kecilan yang bertaruh di meja biliar. ”Itu titik terendah dalam hidup saya,” katanya.
Perjalanan hidup menempa Yusuf menjadi seperti sekarang. Salah satu pengusaha perikanan dengan omzet mencapai Rp 1,3 triliun.
Yusuf berasal dari keluarga biasa saja. Dia anak ke-7 dari 15 bersaudara. Orantuanya berdagang di pasar Air Tiris. Setelah menamatkan SMP di Air Tiris tahun 1987, Yusuf sempat tergoda merantau ke Malaysia seperti saudara-saudaranya. Namun, niat itu berubah seusai bertemu Kepala SUPM Dumai Makruf Maryadi Siregar yang tengah mencari calon siswa hingga ke Kampar. SUPM Dumai saat itu baru berusia 2 tahun.
”Saya angkatan kedua SUPM Dumai. Saya mau sekolah di sana karena gratis,” cerita Yusuf.
Tak seperti siswa SUPM Dumai lainnya yang tinggal di asrama, dia ditawari tinggal di rumah Ma’ruf. Di sana Yusuf harus ikut membantu semua pekerjaan rumah. Dari cuci hingga membersihkan rumah.
Setelah lulus SUPM Dumai, Ma’ruf yang mendorongnya untuk melanjutkan kuliah ke AUP (sekarang Politeknik Ahli Usaha Perikanan) Jakarta tahun 1989 dan lulus tiga tahun kemudian. Selepas dari AUP, Yusuf ditawari menjadi pengajar di bekas almamaternya, SUPM Dumai.
Tawaran tersebut ditampiknya. Yusuf merasa tak cocok jadi pengajar. Dia memutuskan melaut. Kapal ikan berbendera Kanada menjadi tujuan selama 2,5 tahun. Dengan modal bekerja di kapal ikan Kanada, Yusuf yang saat itu telah berkeluarga memutuskan membuka warung makan di daerah Pondok Pinang, Jakarta Selatan. ”Habis mau kerja dulu? Yang paling mudah dan tak perlu koneksi ya buka warung makan,” katanya.
Usahanya hanya bertahan dalam hitungan bulan. “Tiap hari selalu saja ada makanan basi karena bersisa,” ujarnya.
Di tengah usaha warung makannya yang bangkrut, rumah tangganya pun retak. Yusuf ditinggal istrinya. Praktis dia yang sebelumnya menumpang hidup di rumah mertua, tak lagi punya tempat tinggal.
Yusuf kemudian mengadu nasib di Pasar Tanah Abang. Namun, karena tak punya modal, dia hanya menjual daster milik para pemilik kios pakaian. Dia jajakan keliling pasar. Jauh dari kios para pemilik daster tersebut. Sabtu Minggu menjadi hari yang dia tunggu karena para pemilik kios biasanya tidak membuka lapaknya. Sepulang menjajakan daster dia tinggal di masjid.
Tahun 1997 oleh seorang temannya, dia dikenalkan dengan dokter Lukas yang tengah mencari sopir. Saat menjadi sopir, dokter Lukas memperkenalkan Yusuf kepada pengasuh Pesantren Al Islah Bondowoso, Kiai Maksum. Mengetahui bahwa sopirnya pernah kuliah di AUP, dokter Lukas dan Kiai Maksum memodali Yusuf menjual ikan di Pasar Muara Baru Jakarta.
”Seperti Pak Ma’ruf, dokter Lukas dan Kiai Maksum itu orangtua angkat saya,” ujar Yusuf mengenang orang-orang yang paling berjasa dalam perjalanan hidupnya.
Selama setahun pada 1998, Yusuf berjualan di Pasar Muara Baru. Dia berjualan dari pukul 18.00 hingga 24.00. Malam hari dia bergaul dengan sesama pedagang ikan. Siang hari, Yusuf bergaul dengan para tauke ikan di Muara Baru. Masa-masa itu dianggap Yusuf sebagai salah satu sekolah terbaik dalam hidupnya. Dia mulai mengenal bisnis perikanan secara riil dari hulu ke hilir, dari penangkapan sampai ke distribusinya.
Diancam preman
Namun, bukan perkara mudah berdagang ikan di Muara Baru. Dua kali Yusuf hampir mati diancam preman yang saat itu menguasai kapal-kapal ikan yang sandar di Muara Baru. ”Dulu tiap kapal ikan yang datang ke Muara Baru itu masing-masing sudah ada penguasa premannya. Kalau mau beli ikan dari kapal-kapal itu, ya, harus lewat preman tersebut,” katanya.
Suatu ketika, Yusuf sudah membeli ikan dari salah satu kapal. Namun, tiba-tiba seorang preman mendatanginya dan mengancam membunuh apabila dia bertransaksi tanpa melewati preman tersebut. Yusuf melawan. ”Pikiran saya hanya satu. Kalau tak dilawan, saya tak bakal bisa kembalikan uang untuk modal berdagang,” kata ayah satu orang putri ini.
Keberaniannya melawan preman membuat Yusuf mulai disegani. Kali kedua dia melawan preman saat mulai berkongsi dengan orang lain. Ketika itu Yusuf sudah membayar panjar ikan dari kapal Korea. Namun, seusai kapal bersandar di Pelabuhan Muara Baru, sudah banyak preman yang disewa oleh para pesaingnya menunggu di dermaga. Yusuf tak gentar. Dia tetap berada di kapal.
”Ada preman yang bilang kalau saya bakal tak selamat keluar dari Muara Baru. Itu kan artinya saya mau dibunuh. Tapi saya enggak takut. Orang saya punya dokumen jual belinya,” katanya. Persoalan selesai setelah aparat turun tangan dan Yusuf mau bernegosiasi soal hasil tangkapan kapal Korea tersebut dengan para pesaingnya.
Baca juga:Rio Waida, Membumikan Selancar Indonesia
Pada tahun 1999, seorang tauke di Muara Baru yang biasa mengekspor ikan layur ke Korea memberi Yusuf kesempatan menjadi pemasok. Yusuf mencari ikan layur hingga ke Pelabuhan Ratu Sukabumi dan Binuangeun Banten. Dari sini dia mulai belajar dan pengolahan ikan untuk diekspor.
Untuk menjadi pengusaha perikanan, selain harus punya kapal tangkap dan kapal pengangkut, dia juga harus memiliki gudang berpendingin (cold storage) serta angkutan (truk) berpendingin. Dari dokter Lukas, dia dikenalkan dengan pemilik cold storage untuk ayam potong di Gunung Sindur, Bogor. Karena tidak lagi digunakan untuk bisnis ayam potong, cold storage itu disewakan ke Yusuf. Ia gunakan cold storage itu untuk menyimpan ikan layur yang dia beli dari Palabuhan Ratu dan Binangeun.
Tahun 2000, untuk pertama kalinya dia berhasil mengekspor ikan ke Korea. Sebanyak 25 ton ikan layur diekspor dalam satu kontainer 40 feet. ”Saya sampai baca doa dan shalawat keliling kontainer saking syukurnya,” katanya terkekeh.
Tiga tahun kemudian, Yusuf melihat peluang lain di dalam negeri. Usaha pemindangan ikan yang tersebar di seluruh Indonesia membutuhkan banyak bahan baku ikan laut, mulai dari tongkol, layang, salem, hingga kembung. Yusuf memperluas usaha. Dia membangun pabrik pengolahan ikan, antara lain di Bitung, Kendari, dan Banggai Laut untuk menyediakan pasokan ikan-ikan tersebut. Setelah diolah di pabrik tersebut, ikan dibawa ke Jakarta dan didistribusikan ke nomor sentra pemindangan di Pulau Jawa.
Saat ini perusahaan Yusuf, sedikitnya memiliki 11 pabrik pengolahan ikan di seluruh Indonesia. Dia memasok hingga 1.000 ton ikan per bulan untuk industri pemindangan ikan. Satu pabrik pemimpin bisa memiliki lima sampai 10 suplier. Setiap pemasok memiliki sedikitnya lima kapal ikan ukuran 50 GT.
Untuk pasar luar negeri, Yusuf mengekspor ikan layur, tuna, cumi, hingga layang umpan atau muroaji. Bahkan, Yusuf kini menjadi salah satu eksportir ikan terbesar di Indonesia. Tidak banyak pemain ikan asin di Indonesia yang memiliki pasar di luar negeri. Namun, perusahaan Yusuf menjadi salah satu pemasok ikan terbesar di Sri Lanka.
Selama setahun pada 1998, Yusuf berjualan di Pasar Muara Baru. Dia berjualan dari pukul 18.00 hingga 24.00. Malam hari dia bergaul dengan sesama pedagang ikan. Siang hari, Yusuf bergaul dengan para tauke ikan di Muara Baru. Masa-masa itu dianggap Yusuf sebagai salah satu sekolah terbaik dalam hidupnya. Dia mulai mengenal bisnis perikanan secara riil dari hulu ke hilir, dari penangkapan sampai ke distribusinya.
Sekarang di tengah kesuksesan bisnisnya, Yusuf tak lupa pencapaiannya berkat jasa dan doa banyak orang. Dia bercerita, sedikitnya ada 10 eks pegawainya yang kini sukses menjadi pengusaha perikanan. Yusuf membuka diri untuk siapa pun belajar bisnis perikanan dari hulu ke hilir. ”Saya tidak merasa tersaingi setelah mereka yang dulu bekerja dengan saya sukses menjadi pengusaha. Saya malah senang. Allah sudah mengatur rezeki setiap hambanya,” tuturnya.
Dia kini tercatat memiliki 1.200 pegawai. Belum termasuk pemindang dan pekerja di sektor ini yang bergantung pada pasokan ikannya setiap hari. Perusahaannya setiap tahun membuka kesempatan magang dan bekerja bagi lulusan SUPM maupun AUP. Dia juga ikut membina usaha yang dirintis lima pesantren, termasuk milik Kiai Maksum. Bahkan ada tiga pesantren di Jawa Barat yang rutin mendapatkan ikan pindang sebesar 1 ton untuk didistribusikan secara gratis ke masyarakat sekitar pesantren.
Baca juga: Silvester Alvon Ditya Arudiskara Merangkul Seni dari Pinggiran
Yusuf Ramli
Lahir: Air Tiris, Kampar, 15 Juni 1971
Pendidikan: SUPM Dumai (1987-1989)
Akademi Usaha Perikanan Jakarta (1989-1991)
Pekerjaan: Presiden Direktur Komira Grup
Istri: Astri Wita
Anak: Mariska Rahma Yusuf