Silvester Alvon Ditya Arudiskara, Merangkul Seni dari Pinggiran
Semangat Silvester Alvon Ditya Arudiskara untuk mengenalkan seni seperti tak ada habisnya. Baginya, belajar musik tak lagi harus tersekat-sekat, tetapi justru merakyat dan terasa dekat.
Semangat Silvester Alvon Ditya Arudiskara untuk mengenalkan seni terus membara. Berawal dari kendala mengikuti kursus musik saat remaja, ia pun tergerak mendirikan sanggar seni untuk melatih siapa pun yang berminat musik secara gratis. Baginya, belajar musik tak lagi harus tersekat-sekat, tetapi justru merakyat dan terasa dekat.
Sorot mata Alvon berbinar saat menyambut sahabatnya dari komunitas teater ke rumah masa kecilnya di Notoyudan, Pringgokusuman, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta, Jumat (29/4/2022) sore. Di ruang tengah, mereka asyik berdiskusi tentang kolaborasi teranyar ”kelas keaktoran” yang masih tergabung dalam sanggar seni yang didirikannya. Rumah tua itu seolah tak pernah sepi, memiliki magnet tersendiri.
”Sejak tahun 1970-an, rumah sering untuk berbagai kegiatan seperti latihan kor gereja atau latihan teater. Dulu ibu sering mengajari para tetangga di halaman rumah,” ucap Alvon.
Almarhumah ibunya, RNgt E Sri Supiyati, dikenal sebagai sosok yang serba bisa, mulai dari memasak, menjahit, hingga merias pengantin. Keahlian tersebut tak disimpannya sendiri, tetapi dibagikan kepada para tetangga melalui pelatihan singkat yang diadakan di halaman rumah. Kala itu, rumah seluas 400 meter persegi ini dikenal sebagai rumah dengan halaman paling luas di kampung tersebut.
Rupanya semangat berbagi dari sang ibu mengalir deras dalam diri Alvon. Pada November 2017, ia mendirikan sebuah tempat belajar seni secara gratis bernama Sanggar Seni Notoyudan. Penamaan Notoyudan tak lepas dari nama kampung yang menjadi tempatnya berproses hingga menjadi sekarang.
Napasnya masih sama, menjadikan rumah Notoyudan sebagai tempat ternyaman untuk terus bertumbuh. Di sanggar itu para peserta yang mendaftar tidak perlu membayar sepeser pun. Bukan tanpa alasan karena dia tahu betul perasaan mereka yang ingin kursus musik, tetapi tak punya uang.
Sejenak dia bernostalgia. Sekitar tahun 1989, ia pernah mengikuti les drum dengan biaya Rp 30.000 untuk empat kali pertemuan. Ia menyadari dirinya tak bisa melanjutkan kursus itu karena keterbatasan biaya.
Ia tidak ingin membebani sang ibu, yang merupakan tulang punggung keluarga setelah kepergian sang ayah, RM A Mulyanto, pada 1981. Selain Alvon, ibunya juga membiayai ketiga kakaknya yang kuliah. Keterbatasan itu tak lantas menghalangi gairahnya belajar musik. Dia justru mempelajarinya dari ”akar rumput”, yakni pengamen dan musisi jalanan di sekitar Malioboro.
Menurut dia, ada kebahagiaan tersendiri setiap kali bersentuhan dengan musik. Perasaan ini yang mendorongnya kian cinta pada musik. Karena belum bisa bermain instrumen, dia hanya bertugas membawa kaleng uang saat mengamen keliling. Drum menjadi instrumen pertama yang dipegangnya. Perlahan, dia mulai tertarik belajar biola.
Hasratnya menyelami musik kian membara saat SMA. Setelah pulang sekolah, dia berlatih musik untuk persiapan ngamen pada sore hari. Bagaimana dengan tugas sekolah? Dikerjakan di sela-sela istirahat ngamen. Jalanan dan trotoar turut menjadi saksi perjuangannya dalam urusan sekolah.
Baca juga : Agus Setyo Suharto Bukan Badut Biasa
Berbagi
Tak mudah untuk membagi waktu antara sekolah dan mengejar renjananya. Bahkan, dia kerap kali dihukum oleh pihak sekolah karena sering telat masuk kelas. Bagaimana tidak, ia baru pulang dari ngamen sekitar pukul 01.00 dini hari, otomatis bangun kesiangan. ”Semua jenis hukuman di sekolah pernah kulalui. Itu gurunya sampai bingung mau menghukum apa lagi karena saking bosannya ngeliat, kok, saya lagi yang dihukum, sih,” ujarnya sambil tertawa.
Selain belajar musik, ngamen turut mengasah kepekaan sosialnya. Terkadang upah yang didapat setiap kali mengamen tak sepenuhnya dibawa pulang. Dalam perjalanan, dia biasanya bertemu dengan anak-anak komunitas, seperti Girli (Pinggir Kali Code), yang belum makan seharian.
Uang itu dia pergunakannya untuk mentraktir mereka makan, sisanya untuk mencicil instrumen. Bersama komunitasnya, ia kerap mengadakan penggalangan dana bagi korban musibah atau bencana di suatu daerah.
Pengalaman itu membuat ia semakin paham tentang makna berbagi yang kerap dilakukan sang ibu. Ternyata berbagi tidak membuat seseorang jatuh miskin, tetapi justru semakin berlimpah. Hingga kini, hubungan persaudaraan mereka masih terjalin erat dan saling berkabar jika ada teman yang kesusahan.
Semula keinginan untuk menekuni dunia musik sempat tak didukung oleh ibunya. Bekerja di bidang seni dianggap memiliki masa depan yang suram. Akhirnya, dia mengambil kuliah jurusan teknik informatika dibandingkan sekolah musik. Dalam prosesnya, ia kerap mengambil cuti kuliah untuk mengamen di luar kota. Bagi Alvon, tidak mudah menjalani suatu pilihan secara terpaksa.
”Dulu pernah kerja kantoran sampai bikin usaha, tapi, kok, ngerasa tidak cocok. Justru yang benar-benar jalan itu yang berhubungan dengan seni, seperti manajemen artis, persewaan sound system, dan studio rekaman,” ucapnya.
Meski tak menuntaskan kuliahnya, tekad berkarier di bidang musik sudah bulat. Pada tahun 2011, ia bersama sejumlah temannya diminta untuk memberi pelatihan musik di Timor Leste. Di sana, anak-anak hingga remaja diberikan kursus musik gratis oleh pemerintah. Pengalaman selama enam tahun berkecimpung sebagai pelatih musik menjadi awal pembuktian akan pilihan hidupnya.
Sanggar seni
Sekembalinya ke Indonesia, dia berkeinginan membuat program serupa untuk anak-anak di Indonesia. Mimpi ini terealisasi bersama dengan sejumlah musisi di Yogyakarta melalui Sanggar Seni Notoyudan. Ada lima kelas yang dibuka, yakni biola, piano, gitar, vokal, dan keroncong. Meski tak berbayar, sanggar seni tetap digarap serius.
Peserta yang ingin bergabung harus mengikuti seleksi terlebih dulu, yakni tes solfegio (solmisasi hingga ketajaman musik) dan tes wawancara. Mereka juga tidak diperbolehkan membolos maksimal dua kali pertemuan, sebab bisa menghambat penyampaian materi di kelas. Tak perlu khawatir jika belum mempunyai alat musik, disediakan pula di sanggar.
Ujian kenaikan tingkat dilakukan lewat pentas seni di halaman rumah sanggar. Disebutnya mini concert. Mereka wajib menampilkan kemampuan yang didapat dari materi kelas. Para murid yang sudah piawai akan didorong menjadi mentor atau guru yang akan membimbing murid baru.
Lewat media sosial, segala informasi terkait sanggar dibagikan. Jangan disangka, les gratis ini hanya sekadar persinggahan. Bahkan, jumlah calon murid yang masuk daftar antrean (waiting list) kelas mencapai 200 orang. Selain itu, sejumlah prestasi juga diraih oleh para muridnya.
Semula biaya operasional sanggar dikumpulkan dari hasil bantingan para guru. Sumber lain berasal dari Alvf (Alvon & Friends) Music, sebuah manajemen yang didirikannya untuk menangani beragam kebutuhan suara, rekaman, dan kursus musik. Para guru di sanggar juga mengajar musik di sana.
Seiring waktu, sumbangan dan donasi berdatangan dari sejumlah kenalan, mulai dari sesama musisi, orangtua siswa, dan teman-teman ikatan alumni SMA. Saat ini, mereka tengah mengumpulkan dana untuk membeli set gamelan, wayang, dan alat musik keroncong.
Alvon bermimpi untuk mengembangkan Sanggar Seni Notoyudan sebagai sekolah gratis untuk belajar beragam seni dan budaya Indonesia. Tak hanya berfokus pada musik, tetapi juga teater (keaktoran) dan pedalangan. Perkembangan zaman tak semestinya menghanyutkan budaya lokal, melainkan memadukannya agar tetap lestari.
Baca juga : Mateus Suwarsono, Pengabdian untuk Seni Etnis
Perjalanan kreativitas Alvon tak selamanya mulus. Banyak suara negatif yang menyudutkan dirinya karena dianggap ‘sok berjiwa sosial’. Tak ambil pusing dengan hal itu, ia justru terpacu untuk tetap berkarya dan berbagi ilmu yang dimilikinya. “Saya memberikan apa yang saya punya, yakni tenaga dan talenta bermusik. Sampai sekarang, saya masih rutin menginisiasi pentas musik penggalangan dana untuk korban bencana atau teman yang kesusahan,” ucapnya.
Bagi Alvon, belajar musik bukan hanya untuk menguasai instrumen, melainkan juga melatih kepekaan sosial. Lewat musik, seseorang bisa menghargai perbedaan dan orang lain. Perjalanannya berbagi talenta musik masih panjang, tangannya selalu terbuka lebar untuk merangkul mereka yang ingin menyelami musik lebih dalam.
Silvester Alvon Ditya Arudiskara
Lahir: Yogyakarta, 16 Oktober 1977
Istri: Silvia Herpurnamasari
Anak: dua orang
Pendidikan: SMA Kolese De Britto (1996)