Erikar Lebang, Sehat untuk Semua
Pola hidup sehat adalah komitmen seumur hidup. Itu yang diyakini praktisi food combining dan pola hidup sehat Erikar Lebang dalam bincang-bincang hangat dan mencerahkan, pekan lalu.
Hidup sehat itu mahal? Ah masak sih? Pegiat food combining sekaligus praktisi kesehatan Erikar Lebang (47) meruntuhkan pandangan itu. Menjaga kesehatan sebenarnya mudah dan murah. Setidaknya sudah dua dekade dijalaninya tanpa rintangan dengan hasil tak diduganya. Inilah komitmennya seumur hidup. Tetap sehat.
Dua botol minuman segar berbahan serai tersaji dingin di atas meja. Pelepas dahaga di tengah cuaca yang terik pada Kamis (27/5/2021) siang itu. “Gimana enak, enggak? Apa coba itu rasanya?” sapa Erik sembari mengungkapkan dirinya membuat sendiri produk minuman berupa infused herbs dan juga jus berlabel Jus Erikar.
Tak hanya dipasarkan, minuman itu pula yang rutin dikonsumsinya tiap hari sebagai bagian dari pola hidup sehat yang getol dijalaninya. Namun bentuk minuman sehat dari rempah hingga jus buah dan sayur ini disebutnya tak akan banyak berdampak pada tubuh seseorang, jika hanya diasup sesekali tanpa perubahan gaya hidup.
“Enggak ngaruh kalau masih mengadopsi kebiasaan buruk. Gaya hidupnya enggak dijaga,” ujar pria yang namanya merupakan gabungan dari nama dokter kandungannya, yakni Eriyono dan nama kakeknya Kartoleksono.
Sulit dipungkiri, kian hari, gaya hidup sehat memang menggeliat menjadi tren urban. Orang berlomba-lomba tak mau ketinggalan dengan berbagai macam alasan. Dari yang ingin langsing, punya perut "kotak-kotak", sekadar fear of missing out, hingga yang benar paham dan berniat sehat.
Aneka tujuan itu pun mengerucut ke berbagai cara. Tidak hanya banting tulang olahraga. Masing-masing juga sibuk mengatur pola makan, termasuk memilih makanan berlabel organik yang harganya selangit dengan klaim begitulah cara hidup sehat dijalankan. Sejenak terasa hidup sehat seolah-olah hanya diperuntukkan bagi yang berduit dan mampu bayar.
Ini jelas tidak berlaku untuk Erik. Baginya, hidup sehat itu tidak memandang berapa penghasilan seseorang, tidak juga bergantung pada produk yang dikonsumsi. “Yang penting sesuai dengan ketentuan dan sesuai dengan tubuh kita. Itu bisa didapat di mana saja kok,” ujarnya.
Label organik yang sebenarnya bagus dari basis, katanya, menjadi jebakan karena salah kaprah dalam pemaknaan. Berdasarkan apa yang dirasakannya, ada dua problem yang menyertai. Pertama, semua yang diberi label organik mendadak harganya melonjak dan tak terjangkau semua kalangan padahal belum tentu pengelolaannya memenuhi standar organik.
Semua yang diberi label organik mendadak harganya melonjak dan tak terjangkau semua kalangan padahal belum tentu pengelolaannya memenuhi standar organik.
Hal ini pula yang memunculkan masalah selanjutnya. Tak ada standar baku untuk produk organik dan pengelolaannya, berbagai pihak bisa begitu saja mengklaim produknya organik meski pengerjaannya tidak organik. “Contoh, dibawa ke supermarket, ditanya dari mana. Pas disebut nama daerahnya, orang supermarket bilang ‘oh deket itu ya, berarti lu organik juga’. Validitasnya susah dibuktikan,” jelasnya bersemangat.
Bukan berarti dirinya anti pada produk organik. Namun, hasratnya lebih kepada mengajak semua orang untuk menyadari hidup sehat bukan sesuatu yang eksklusif. Seperti yang dilakukannya, bahan untuk lalapan yang dikudapnya sering berasal dari yang ditemuinya di jalan atau memetik sendiri dari yang ditanamnya.
Bahkan sambil terkekeh, ia mengungkapkan beberapa daun yang juga dijadikannya bahan jus diakuinya memetik di pinggir jalan. “Ada daun kelor, daun pepaya jepang. Ada juga yang tanam sendiri,” tutur pria yang dikenal juga sebagai pengusung isu Makan Sehat Menu Lokal Nusantara.
Menu makanan pun sederhana saja. Bahkan ia menyebutnya dengan menu hemat. “Nih, makanan yang gue makan,” ungkapnya sambil menunjukkan foto nasi berlauk tempe dan sayur labu siam, juga nasi dengan lalapan dan potongan kacang panjang disertai bunga telang.
Baca juga:
Ratna Ayu Budhiarti, Seirama Kata dan Raga
Berjalan dari keluarga
Beralihnya Erik pada menu makanan yang dia pamerkan itu sejalan dengan pola makan food combining yang ia lakoni sejak akhir 1999. Perkenalannya dengan pionir food combining Andang Gunawan membawanya pada babak baru kehidupannya. Meski niat awalnya tentu berasal dari kehidupan pribadinya.
Mencari nafkah sebagai pekerja kreatif di salah satu agensi saat itu menuntutnya menjadi orang yang gila kerja. Gaya hidupnya tak teratur. Begadang menjadi kebiasaan, makan juga ngawur, ditambah konsumsi teh dan kopi tiada henti. Di sisi lain, ia dihantui juga dengan penyakit diabetes yang menyebabkan kedua neneknya berpulang.
“Dulu kan ada mitos tuh, elu tuh generasi ketiga, elu tuh bakal yang paling parah nanti. Sampai pernah, bangun tidur kok rasanya ngantuk lagi, kerja enggak excited, abis begadang badan rasanya dingin. Semua kayaknya salah. Di situ mulai ketakutan, ini nih generasi ketiga nih, diabet nih,” jelasnya.
Perspektif lain dari keluarganya juga membuatnya berpikir. Ibunda Erik merupakan seorang dokter spesialis okupasi dan kakek Erik adalah ahli radiologi tersohor. Namun di akhir masa hidupnya, kakek Erik harus bertahan selama 20 tahun dengan kondisi stroke. Ibunda yang baru berpulang sekitar dua minggu lalu juga menghabiskan 10 tahun mengatasi kanker paru.
“Mereka dokter. Di bidang kesehatan dan secara ilmu, mereka kompeten. Tapi ada yang bolong, khususnya untuk merawat kesehatan, nilai mereka merah. Padahal bagaimana supaya enggak sakit? Kuncinya, ya, gaya hidupnya diperbaiki. Sehat itu dari apa yang kita makan dan kita minum. Dari situ gue mulai food combining,” tutur pria yang sudah menerbitkan 11 buku tentang kesehatan ini.
Menjajal lalap di warung betawi Mpok Nana yang berada di dekat kantornya pun menjadi hobi. Perlahan, ia mulai mengenal lalapan di luar selada, timun, dan tomat. Bermacam bahan seperti daun poh-pohan, daun kenikir, daun kecipir, hingga terong lalap masuk radarnya. Nyaris tak ada yang terlewat. “Jengkol mentah agak traumatis gue. Ha-ha-ha,” ungkapnya.
Untuk menu lalapan lainnya, ia mengkombinasikan dengan sambal. “Bisa play around. Pakai sambal bawang, sambal matah, sambal dadak. Sampai ada orang Kanada yang tidur di rumah gue waktu zaman couchsurfing itu ketagihan makan lalap dicocol sambal. Enak, dan yang terpenting murah,” katanya.
Ia pun merasakan dampak dari perubahan pola makannya. Tubuhnya dirasa lebih ringan, walau berat badannya tetap stabil. Penyakit yang semula kerap menyambanginya juga tak lagi mampir. Bahkan penyakit tukak lambung yang dideritanya sejak umur 10 tahun akhirnya lenyap. Ia tak lagi ketergantungan pada antasida yang dulu harus selalu dibawanya.
Kuncinya, ya, gaya hidupnya diperbaiki. Sehat itu dari apa yang kita makan dan kita minum. Dari situ gue mulai food combining.
Energinya pun tak berubah, tetap berasa muda. Bahkan ia berseloroh kulitnya pun tetap kencang. “Eh, tapi itu yang selalu gue bilang lho kalau pas ngisi acara terus audience-nya ibu-ibu. Gue suruh itu ibu untuk pegang kulit gue. Mereka kaget sendiri setelah gue bilang kalau umur gue udah hampir 50. Dari situ gain respect kan? Mereka jadi dengerin dan percaya, deh. Ha-ha-ha,” tuturnya.
Belakangan, ibundanya yang divonis kanker paru pada 2012 dengan perkiraan hidup hanya enam bulan pun menengok ke putranya dan ikut menerapkan pola makan serupa. Sang ibu menerapkan konsep raw food yang diejawantahkan dalam bentuk lalap atau jus. Ibundanya pun juga menjalani yoga bersama putranya.
Yoga Iyengar yang dipilihnya ini tak disangka juga diminati banyak orang. Sebagian besar yang datang ke studio yoganya yang berada di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, adalah orang-orang yang tengah berupaya untuk sembuh dari penyakit. Yoga yang dilakukannya ini berdampak positif pada kesehatan orang-orang yang berlatih di sana.
Baca juga:
Pijar Terang Baskara Putra Hindia
Estafet
Pola makan ini dilanjutkan kepada putra semata wayangnya Shaquille Skylar Kama (6). Sky terbilang terampil untuk makan sayur dan buah. “Pa, makananku habis nih,” ujarnya menghampiri ayahnya sambil menunjukkan piring makannya yang bersih tak bersisa.
Erik pun mengacungkan jempolnya. Ia tak pernah memaksa anaknya untuk makan sayur dan buah. Akan tetapi, apa yang dilihat sehari-hari oleh Sky adalah orangtuanya yang gemar makan sayur dan buah. Kebiasaan itu pun terbentuk dengan sendirinya. Sky juga rutin mengonsumsi jus buah dan sayur bersama Erik.
Bahkan suatu kali, Sky membuat es popsicle dengan isian sayur dan buah. “Lebih enak rasanya,” ujarnya sembari asyik bermain gawai dan duduk di atas tumpukan kursi yang semalam digunakan untuk ibadah mendoakan almarhumah ibunda Erik.
Gerakan yoga juga diturunkan kepada Sky. Di teras rumah yang berada di kawasan Kedaung, Tangerang Selatan itu, ada sebuah tali terpancang untuk berlatih yoga. Erik pun memanggil Sky untuk menunjukkan gerakan yoga. Dengan lincah, Sky bergelayut di atas tali dan mengambil posisi headstand.
Konsisten
Meski mengubah gaya hidupnya, Erik tak tercerabut dari akar sosialnya. Praktik food combining yang ia jalankan tidak lantas menghalanginya untuk makan enak. Apa yang disantapnya tetap wajar. “Itu enaknya food combining. Tetap makan biasa, tapi kombinasinya aja. Misal karbo enggak bisa dimakan dengan protein hewani. Sarapan juga eksklusif buah,” ujarnya.
Namun sekali lagi, ia mengingatkan bukan berarti bisa makan enak kemudian berlebihan. Lewat grup Food Combining Indonesia di Facebook yang beranggotakan 80 ribu pengikut ini, petunjuk pelaksanaannya diberikan secara detail sehingga tinggal dipraktikkan dan diikuti dengan seksama.
Tujuan juga menjadi yang terpenting. Selama ini, pandangan mengikuti food combining semata menurunkan berat badan atau mengembalikan berat badan sesuai dengan masa muda. Padahal, berat badan ideal itu menyesuaikan dengan kondisi tubuh sehat, bukan berat badan ideal sesuai pikiran pemilik tubuh.
Gue selalu bilang kalau tujuannya cuma buat kurus, cuma buat sembuh dari sakit tertentu, apalagi cuma ikut-ikutan. Jelas enggak akan bertahan.
Lagipula tujuan seperti itu justru membatasi. Karena itu, ia lebih senang menyebutnya pengaturan pola makan untuk investasi sehat dalam jangka panjang. Proses gaya hidup sehat ini juga perlu seimbang. Kadang orang sering lupa karena sibuk menjaga makanan, lalu membangun benteng dan pelan-pelan menjadi terpisah dari lingkungan sosial.
“Padahal, ya, enggak gitu amat. Yang penting itu konsisten dan komitmen. Makanya kembali ke tujuannya. Gue selalu bilang kalau tujuannya cuma buat kurus, cuma buat sembuh dari sakit tertentu, apalagi cuma ikut-ikutan. Jelas enggak akan bertahan. Tujuannya adalah terus sehat dan itu butuh komitmen dan konsistensi. Gue udah udah dua dekade dan ini sampai sisa hidup gue,” ujarnya.
Hidup sehat itu sejatinya untuk semua.
Baca juga:
Tiza Mafira, Mencintai Lingkungan dengan Logika
Nama: Erikar Lebang
Lahir: 13 November 1973
Pendidikan:
- Sarjana Komunikasi Visual Universitas Trisakti
Penghargaan:
- 50 Tokoh Inspirasi Penerobos Kebuntuan
- Indonesian Health Netizen Awards
Buku:
- Mitos dan Fakta Kesehatan (2012)
- Mitos dan Fakta Olahraga dan Yoga (2013)
- Food Combining di Bulan Ramadhan (2013)
- Mitos dan Fakta Kesehatan 2 (2014)