Ratna Ayu Budhiarti Seirama Kata dan Raga
Ratna Ayu Budhiarti menyelaraskan cerpen dan puisi dengan kelenturan yoga.
Penulis Ratna Ayu Budhiarti (40) mendapati kelenturan kata dalam puisi bertalian dengan kelenturan raga dalam yoga. Kata-kata adalah buah permenungan. Peran domestik tak semestinya menerungku penulis perempuan.
“Ini sedang mood bercerita. Maaf, ya, kalau mengobrolnya jadi ke mana-mana,” kata Ratna setelah perekam menunjukkan angka dua jam. Roti croissant di hadapannya utuh menyimak obrolan pada Kamis (20/5/2021) petang di kafe Morning Glory di tepi selatan Kota Bandung, Jawa Barat. Segelas kecil machiato sudah tandas duluan.
Permintaan maafnya tak perlu ditanggapi serius. Kami betah mendengar kata demi kata dari pencerita yang telah membukukan dua kumpulan cerpen dan enam kumpulan puisi ini. Cerita yang ia tulis sama runutnya dengan caranya bertutur. Di kafe yang lengang itu, subyek ceritanya adalah dirinya sendiri, bukan tokoh fiktif, maupun refleksi berbalut diksi.
Hasratnya bercerita lisan pada petang yang basah itu bisa jadi merupakan kompensasi dari jeda yang ia ambil seusai dia meluncurkan buku kumpulan cerpen Perempuan yang Berhenti Membaca—cetakan keduanya keluar Desember 2020. Buku itu berisi 18 cerita pendek yang pernah dimuat di berbagai media massa, umumnya media cetak. Ada pula 16 cerita mini.
Cerita-cerita pendek di dalam buku itu merupakan karya yang ia bikin dalam periode 2012 hingga 2020. Salah satu cerpennya, Warung Padang Tetangga bisa jadi adalah yang paling mutakhir karena dimuat di harian Kompas pada edisi 11 Oktober 2020. Lebih istimewa, ilustrator sampul buku berwarna dasar jingga itu adalah putri tunggalnya Khanza Janeeta Rahman yang kini berusia 11 tahun.
Berapa lama jeda itu akan berlangsung, tak bisa dia jawab secara pasti. Satu hal yang diyakini penulis kelahiran Cianjur, 9 Februari 1981 ini, “panggilan” untuk kembali mengiba pada kata-kata akan kembali datang. Dia punya penggemar—“Ya, paling seratusan oranglah”—yang menyemangatinya, merindukan karya-karyanya.
Sedangkan, renjana untuk menulis, ujarnya, telah teruji sejak lama. Absen menulis, terutama puisi, justru “memperbesar” lubang dalam jiwanya. Lubang itu “menuntut” diisi terus.
“Sekarang sudah jadi bagian dari diri, suka ada yang menarik-narik, ‘Hey, kamu belum menulis puisi’. Di momen ini, dorongan itu harus diwujudkan dalam bentuk puisi, bukan cerpen, bukan esai. Walau tidak harus selesai saat itu juga, walau tidak dimuat (di media massa), walau tidak jadi buku. Ketika (puisi) itu selesai. Haaahh, legaaa,” ujarnya, yang sejak SMP sering ditawari jadi foto model, tapi dilarang ayahnya.
Sebelum menghasilkan cerpen, puisi adalah langkah pertama yang ia jalani. Dia ingat betul, dan nyaris ada di semua kolom profil dirinya, mulai menulis puisi sejak kelas 6 SD di Cibatu, Kabupaten Garut, Jabar. Cibatu adalah kota kecamatan yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Garut, jauh dari keramaian. Keluarganya pindah ke Cibatu dari Cianjur.
Keluarganya, dia bilang, terpapar cukup bacaan, baik buku maupun koran. Kakeknya dari pihak ayah pernah bekerja di Kementerian Perdagangan, sementara sang nenek yang berdarah Belanda mengakrabi buku-buku. Tak heran, rumah di Bandung itu banyak buku. Setiap berlibur ke rumah nenek, Ratna kecil melahap buku-buku petualangan karangan Enyd Blyton, maupun cerita detektif Agatha Christie. Kecintaannya pada buku terpupuk baik di sini.
Pengaruh ayah
Kesukaannya pada buku berlanjut setelah pindah ke Cibatu. Sang ayah, sempat membuat taman bacaan di rumahnya. Ratna kecil pernah menang kuis (dengan mengirimkan jawaban pakai kartu pos) yang hadiahnya adalah berlanggan koran. Kebetulan, koran itu ada rubrik puisi untuk anak. Pengirim puisinya, kata dia, kebanyakan anak-anak dari kota besar.
“Suatu ketika ada anak kelas 5 SD dari Bandung yang puisinya dimuat. Sebagai anak kelas 6 SD, saya nggak mau kalah. Saya menulis puisi dua sekaligus. Satu yang dimuat. Di sekolah namaku disebut-sebut waktu upacara bendera. Setelah itu keterusan. Ternyata asyik ya menulis,” kata bungsu yang berjarak sembilan tahun dari kakaknya ini.
Meski pernah dimuat di koran, Ayahnya tak begitu antusias dengan capaian yang membuat Ratna girang itu. “Jangan lupakan pelajaran lain, biar wawasanmu makin luas,” pesan mendiang sang ayah yang masih ia kenang.
Pun begitu, kesukannya pada puisi kadung menjadi-jadi. Dia rajin mengkliping rubik puisi di koran. Dia juga mulai akrab dengan buku puisi, melengkapi novel petualangan remaja dan cerita detektif ala Agatha Christie. Buku puisi pertamanya adalah Sang Nabi karya Kahlil Gibran. Buku yang sama masih ia simpan dan berulang kali dibaca hingga sekarang.
Menulis puisi bagi Ratna remaja adalah pelarian dari aturan ketat yang diterapkan ayahnya. “Papa melarang ke luar rumah di setelah maghrib. Pasti ditanya-tanya mau ke mana, ngapain, sama siapa. Saya protesnya lewat puisi, nggak berani ngomong langsung,” katanya.
Peran ayah, kata Ratna, terasa dominan bagi kehidupannya, dan kelak memengaruhi perjalanan karirnya. Sang ayah tidak mengijinkan Ratna mengambil jurusan sastra. Prestasi gemilang di sekolah memberinya pilihan masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) lewat jalur PMDK. Ratna bergeming. Dia maunya kuliah di Bandung, yang lagi-lagi ditentang dengan beragam alasan.
Jenjang S1 yang ia sasar menemui kompromi di Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, yang masa itu masih berstatus kampus swasta. Dia dapat fasilitas masuk tanpa tes. Tapi memilih Fakultas Sastra belum dicabut. Sementara Fakultas Teknik di sana belum terakreditasi. Ratna ogah masuk Fakultas Ekonomi karena sama dengan kakaknya. Pilihan tersisa adalah Fakultas Pertanian, yang sebelumnya pernah dia tolak di IPB. “Dilema banget waktu mau masuk (pertanian), tapi itu pilihan terakhir,” katanya.
Sebagai kompensasinya, Ratna bergaul dengan anak teater dan sering menyambangi Gedung Kesenian Tasikmalaya, yang letaknya tak jauh dari kampus. Di saat bersamaan, geliat seni dan budaya di kota itu sedang bergairah. Hampir setiap akhir pekan ada acara budaya, mau itu seni rupa, pentas teater, musik, baca puisi, atau diskusi kebudayaan. Ratna pengunjung tetap. Sesekali juga tampil membacakan puisinya.
Koleksi buku puisinya makin banyak, karena uang kiriman dari ayah diam-diam dia pakai untuk membeli buku sastra. Biaya kuliahnya disokong beasiswa, karena dia tergolong mahasiswa gemilang.
“Saya lulus kuliah empat setengah tahun dengan IPK 3,7, padahal saya nggak suka dengan (ilmu-ilmu) pertanian, hahaha,” katanya. Bertambahnya referensi bacaan, juga ilmu pertanian, Ratna makin lentur memilih diksi bagi puisinya. Puisi getir tentang persahabatan, misalnya, disisipi kosa kata pertanian.
“Apa yang terjadi pada sebuah persahabatan/ketika daunan tinggal tulang terserang nekrosis—meranggas/dan air tak mampu lagi memberi daya turgor pada sel segi enam yang kita bangun/” begitu petikan dari puisi “Surat untuk Sahabat: Rina Kusmiati” yang ditulis tahun 2001.
Remedi
Jalan puisinya melebar di masa kuliah. Atmosfer seni dan budaya yang menggeliat di Tasikmalaya banyak membantunya lebih berani tampil. Ratna mulai menerbitkan puisinya dalam antologi penyair Tasikmalaya lewat buku berjudul Orasi Kue Serabi (Sanggar Sastra Tasik, 2001). Hingga 2020, ada 53 judul antologi puisi yang memasukkan karyanya.
Sementara buku kumpulan puisi pertamanya lahir pada 2008 dengan judul Dusta Cinta. Buku pertama ini kelak menjadi cetak biru gaya berpuisinya. Tema cinta—termasuk cinta terlarang—adalah topik sepanjang masa. Diksinya pun akrab bagi pembaca puisi awam. Kedalamannyalah yang makin berkembang di setiap tulisannya.
Puisi bertema percintaan ini, bagi penulisnya sendiri, adalah remedi. Patah hati berkepanjangan, terlebih ketika pernikahannya kandas, dia pahat menjadi puisi, terutama di buku kumpulan Dada yang Terbelah (Metafor Production, 2014). Kelak, problem ini membawanya menemukan yoga.
“Awalnya psikolog menyarankan saya menjalani terapi, tapi saya enggan karena merasa baik-baik saja. Di saat bersamaan, saya berlatih yoga. Ketika bertemu lagi dengan psikolog itu, dia bilang saya sudah jauh lebih baik,” katanya, kali ini dengan nada melirih.
Pada 2016, dia makin serius berlatih yoga, sama seriusnya ketika jadi atlet taekwondo masa SMA. Saat mengambil pelatihan sebagai pelatih yoga, cakranya terkuak; luka hatinya ternyata begitu dalam. Pelan-pelan bebannya terangkat berkat ketekunan beryoga. “Ketika puisi tak lagi menyembuhkan (baginya), yoga adalah jawabannya,” ujarnya.
Tak lagi merutuki nasib
Kegiatan menulis diselaraskan dengan beryoga. Dia merasa fisiknya lebih sehat sehingga daya kreatifnya mengalir. Dia membekukan ide tulisan di pagi hari sebelum mengajar yoga di sanggar rumahnya di Cibatu. Membandingkan—meskipun kurang bijak—karya puisi Ratna sebelum mengenal yoga dan setelahnya menunjukkan perubahan.
Puisi-puisi mutakhirnya terasa lebih reflektif. Ini bisa disimak dalam buku kumpulan puisi perjalanannya ke Eropa, Sebelas Hari Istimewa (Jualan Buku Sastra, 2019). Urusan rindu jadi punya makna yang lebih luas. Misalnya di bait terakhir puisi “Pertanyaan-pertanyaan di Udara”.
Begini petikannya, “Aku ingat suara gagak di Brussel/Matanya menatapku tajam/saat hinggap dekat tong sampah//Isyarat kematian apa yang singgah kali ini?/Hatimu masih samakah seperti dulu?//”
“Mungkin bisa dibilang dulu (puisi saya) untuk merutuki nasib, banyak mengeluh. Sekarang jadi berbeda, ada (ajakan) melihat sisi positif dari setiap peristiwa. Ada daya renungnya, begitu,” ucapnya, seraya mencontohkan puisi lainnya, “Pelatihan Menarik Rejeki Online” yang dimuat Mata Puisi, yang ditulis di masa pandemi.
Baca juga : Tiza Mafira: Mencintai Lingkungan Dengan Logika
Tak jarang, dia takjub dengan rangkaian kata-kata yang pernah dia susun sendiri, misalnya di salah satu puisi yang dinyanyikan Happy Salma untuk teater musikal Inggit. “Kok bisa ya? Siapa sih ini yang bikin? Jangan-jangan saya lagi kesurupan pas bikinnya. Bisa nggak ya, saya bikin lagi,” kata penulis naskah untuk pentas yang jadwalnya masih tertunda pandemi ini.
Bentuk apresiasi diri sendiri itu memicu berkarya lagi. Jelas, jalan sastra Ratna masih jauh dari tubir. Dia belum berencana pensiun dari dunia penulisan karena ada misi yang perlu digaungkan.
“Tak bisa dipungkiri, ada banyak penulis perempuan yang harus vakum karena (diharuskan) mengurus rumah tangga sehingga susah meluangkan waktu menulis. Boleh saja vakum dulu, tapi niatkan untuk kembali lagi,” ujar dia yang sehari-harinya tak cuma menulis, tapi juga mengurus anak, melatih yoga, mencari penghasilan tambahan, membawa mobil ke bengkel untuk servis rutin, “Sampai betulin genteng.”
Ratna Ayu Budhiarti
Lahir: Cianjur, 9 Februari 1981
Pendidikan terakhir: Magister Manajemen Pascasarjana, Universitas Siliwangi
Buku tunggal:
- Kumpulan Puisi Dusta Cinta (Gaa Publishing, 2008)
- Kumpulan Puisi Surat Menjelang Lepas Lajang (Leutikaprio, 2011)
- Kumpulan Cerpen The Untold Stories Cerita Kita: Aku, Kamu, dan Mereka (Nulis Buku, 2012)
- Kumpulan Puisi Dada yang Terbelah (Metafor Production, 2012)
- Kumpulan Puisi Bintang di Alir Hujan (Metafor Production, 2014)
- Kumpulan Puisi Magma (Penerbit Gambang, 2017)
- Kumpulan Puisi Perjalanan Sebelas Hari Istimewa (Penerbit JBS, 2019)
Kumpulan Cerpen Perempuan yang Berhenti Membaca (Langgam Pustaka, 2020)