Tiza Mafira: Mencintai Lingkungan Dengan Logika
Mencintai lingkungan hidup bukan perkara mudah, tetapi juga tak susah. Penggagas gerakan diet kantong plastik Tiza Mafira meyakini upaya besar seperti itu bisa dilakukan dengan tetap menjaga logika dan nalar.
Untuk bisa mencintai lingkungan hidup bisa dimulai dengan terus selalu menjaga nalar serta logika. Jika alam dan lingkungan sekitar sudah rusak, semua itu juga akan langsung berdampak dan dirasakan oleh manusia sendiri.
Begitu ujar Tiza Mafira (37), Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Indonesia, membuka percakapan saat ditemui di kediamannya di kawasan Pejaten, Jakarta, Selasa (27/4/2021).
Pakar hukum dan kebijakan lingkungan berspesialisasi bidang perubahan iklim dan pengelolaan sampah ini mendirikan GIDKP sejak 2013. Bersama lembaga nirlabanya itu, Tiza sukses mendorong lebih dari 50 kota melarang penggunaan kantong plastik sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membawa kantong belanja sendiri.
Akibat kiprahnya itu pada 2018, Tiza diganjar sebuah anugerah bergengsi dunia, penghargaan UN Ocean Hero oleh United Nations Environment. Setahun berselang, giliran GIDKP juga mendapat Anugerah Revolusi Mental dari Pemerintah Republik Indonesia.
”Saya ini dulunya bahkan bukan anak pencinta alam, apalagi suka naik turun gunung. Sejak sekolah saya ini geng anak kota biasa. Senangnya keluar masuk mal. Tapi, soal lingkungan hidup, saya tahu benar kalau alam sudah terancam, terancam pula kelangsungan serta keselamatan hidup kita sebagai manusia,” ujar Tiza.
Bersama dua pegiat lingkungan hidup lain, Gede Robi, vokalis band Navicula asal Bali, dan Prigi Arisandi, ahli biologi dan penjaga sungai asal Jawa Timur, Tiza terlibat dalam film Pulau Plastik. Film dokumenter ini disutradarai Dandhy Laksono dan Rahung Nasution.
Dalam film, Tiza, Robi, dan Prigi berperan menjadi para protagonis, yang coba menelusuri sejauh mana jejak sampah plastik menyusup ke rantai makanan. Juga tentang dampaknya ke kesehatan manusia serta upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk menghentikannya.
Setelah dimulai di Denpasar, 22 April 2021 lalu, film ini juga diputar terbatas bergiliran di beberapa kota, seperti Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Bandung, dan Jabodetabek.
Isu sampah plastik
Tiza memang sejak lama sangat intens dengan isu pengurangan sampah plastik dan diet penggunaan kantong plastik. Dia terinspirasi untuk fokus di isu plastik lantaran memahami selama ini tak banyak orang atau kalangan yang serius memperhatikan masalah itu.
Pada satu waktu tahun 2013 banjir besar melanda Jakarta. Tiza sempat terjebak di kantornya, ketika itu di kawasan Jalan Sudirman. Dari berita, dia mengetahui banjir terutama disebabkan oleh sampah plastik yang menggunung dan menyumbat banyak saluran air dan drainase di Jakarta.
Namun, dia heran lantaran kebanyakan masyarakat, terutama para warganet di media sosial, malah justru sibuk menyalahkan pemerintah. Padahal, menurut logikanya, sampah plastik yang justru berasal dari para warga sendiri. Mereka terbiasa memakai, lalu tak peduli ke mana sampah plastik bekas pakai tadi dibuang.
”Waktu kami (GIDKP) mendorong uji coba gerakan dan kebijakan kantong (belanja) plastik berbayar, terbukti sampah yang dihasilkan bisa turun sampai 55 persen! Bayangkan dampaknya kalau ada kebijakan melarang total pemakaian kantong belanja plastik. Hal itu saya paparkan saat diminta berbicara di Ocean Summit di Hongkong 2018, yang juga dihadiri perwakilan UN Environment. Mereka terkesan dengan gerakan kami,” ujarnya.
Sejak masih remaja, Tiza memang diajar orangtuanya agar berani kritis jika melihat ada ketidakberesan di sekitar dirinya. Tak heran, Tiza terbiasa menegur teman-temannya langsung jika sampai terlihat sembrono membuang sampah sembarangan.
Kalau sudah ditegur, jangan pula sekali-sekali membantah atau malah mengajak Tiza berdebat. Dia akan dengan senang hati meladeni lantaran debat adalah juga kesenangannya. Tak hanya asal debat kusir, Tiza kerap ikut lomba berdebat sejak bersekolah hingga berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Keberaniannya bersikap kritis, kemudian membawanya ke banyak prestasi serta petualangan hidup. Termasuk saat di satu masa dia merasa profesi dan apa yang dikerjakannya sama sekali tak mendatangkan kebahagiaan buat dirinya. Alih-alih justru menjadi dilema dan konflik batin serta moral.
Kondisi macam itu terjadi saat dia bekerja selama beberapa tahun di sebuah firma hukum bergengsi, yang juga telah memberinya banyak kesempatan berkarier cemerlang. Sebagai seorang pengacara, Tiza merasa dirinya hanya bekerja untuk mewakili kepentingan orang lain.
Padahal, tak selalu pihak yang diwakilinya cocok dan sejalan dengan hati Nurani Tiza, terutama terkait dengan isu tertentu, seperti pelestarian lingkungan hidup. Kondisi itu kerap mengganggu pikirannya. Apa yang dilakukan hanya sebatas pekerjaan.
”Saya enggak pernah mikirin mereka (klien). Beda dengan sekarang. Segala macam bisa saya peduliin dan pikirin, sampai-sampai terbawa tidur. Selalu terbayang-bayang, aduh ini gimana itu gimana. Semua itu terjadi karena saya memang benar-benar peduli dengan apa yang saya kerjakan sekarang,” ujar penggemar karya-karya sastra klasik Inggris Raya ini.
Tinggalkan zona nyaman
Perasaan tak nyaman dan serba merasa dilematis seperti itu memuncak saat satu kali Tiza ditugasi mewakili klien membeli sebidang tanah luas untuk dibangun pabrik. Lahan luas itu berupa bidang persawahan subur, yang juga indah dipandang mata. Pemiliknya seorang petani berusia sepuh, yang terpaksa menjual lantaran alasan ekonomi.
Saat Tiza bertemu langsung dengan pihak pemilik tanah dan keluarganya, dia menjadi merasa masygul. Dalam hati, Tiza merasa sangat menyayangkan lahan subur nan indah itu bakal beralih fungsi menjadi sebuah pabrik.
Pengalaman sama terjadi saat ditugasi mendampingi klien lain mengurus perubahan status lahan hutan menjadi perkebunan. Walau secara hukum dibenarkan, Tiza saat itu merasakan konflik batin dan moral yang sangat kuat.
”Walau bagaimanapun, itu, kan lahan hutan, ya. Saya kok jadi mikir, bagaimana bisa saya malah ikut terlibat (membantu klien) membuka lahan hutan itu? Dari semua kejadian tadi, saya jadi semakin yakin tak mau lagi bekerja jika harus menanggung konflik batin macam begitu. Saya lebih ingin menjadi orang yang berguna,” kisahnya dengan nada kontemplatif.
Kini ibu dua anak usia enam dan dua tahun itu sangat enjoy dengan pekerjaan sekarang dan keluarganya. Dia bahkan kini tengah menanamkan nilai-nilai baik, terutama ke anak sulungnya, untuk bekal kelak pada masa dewasa. Selain untuk mencintai lingkungan hidup, Tiza juga mengajarkan anak sulungnya tak terlalu konsumtif lantaran itulah salah satu penyebab utama perusakan lingkungan.
”Mumpung masih umur segitu ya, mamanya masih bisa ngatur-ngatur, ha-ha-ha. Jadi, mulai sekarang daripada dia sekadar minta dibelikan mainan tertentu, saya ajak dia mencoba membuat sendiri terlebih dulu. Semisal kemarin minta rumah boneka, ya saya ajak saja dia bikin sama saya sambil lihat tutorialnya di media sosial,” ujar Tiza.
Dari kegiatan bersama seperti itu, Tiza bisa berbagi kegembiraan bersama keluarga kecilnya itu tanpa harus selalu bergantung pada mal dan pusat-pusat hiburan. Apalagi dia meyakini perilaku konsumsi berlebihan (over consumerism) oleh masyarakat adalah salah satu akar persoalan lingkungan hidup.
Biodata:
Nama: Tiza Mafira, SH., LL.M
Tempat/ tanggal lahir: Jakarta, 21 Januari 1984
Pendidikan:
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia (angkatan 2002)
- Harvard Law School (2010)
Pengalaman Kerja:
- Pendiri dan Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) (2013-sekarang)
- Associate Director, Climate Finance Climate Policy Initiative, Jakarta (Indonesia) (2014-sekarang)
- Dosen Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat (Juni 2020-sekarang)
- Dosen Pelita Harapan University, Jakarta (Juni 2013-Juni 2014)
- Senior Associate Makarim & Taira S, Jakarta (Januari 2008-Maret 2014)
- Analis di Kantor Staf Khusus Kepresidenan untuk Urusan Luar Negeri (November 2006-Januari 2008)
Penghargaan:
- Penghargaan UN Ocean Hero oleh United Nations Environment (2018)