Pijar Terang Baskara Putra Hindia
Dengan memilih Hindia sebagai nama panggung, Baskara disebut-sebut mampu menyuarakan keresahan dan kegelisahan banyak generasi muda saat ini terhadap kehidupan
Popularitas sekejap mengubah roda hidup seorang Baskara Putra (27). Itu jauh dari angan-angannya semula. Pilihan kiprah untuk bermusik, suka tidak suka, membawanya pada momen-momen pembelajaran tiada henti. Dari evakuasi, dehidrasi, hingga evaluasi terus ditapakinya.
Meski bersua secara virtual, Jumat (7/5/2021) pagi, Baskara tak enggan mengajak berkeliling rumah yang baru ditempatinya, sekaligus untuk mencari lokasi sesi foto terbaik. Di rumah yang berada di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan ini, rangkaian proses kreatif menjelma menjadi aneka karya bersama teman-temannya.
Dari bersama kelompok musik .Feast, menjadi Hindia, menghidupkan Lomba Sihir, hingga berada di balik layar para musisi muda seperti Aldrian Risjad, Agatha Pricilla, Mantra Vutura, Mothern, dan masih banyak lagi. “Tapi ini gue sendirian, anak-anak belum pada dateng,” ujarnya sambil memosisikan sudut pengambilan gambar yang sesuai untuk sesi foto virtual.
Semula semuanya hanya perjalanan menjajal berbagai rencana yang dibuatnya setelah lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi. “Gue fresh graduate tapi bukan first jobber. Sebelum lulus, udah sering ikut proyek dosen di luar kampus. Bikin agensi kecil-kecilan juga di luar UI, sampai agak muak sama agensi, capek. Gue berhenti dan gue bilang ke diri gue sendiri enam bulan ke depan mau coba cari kerja bidang ini, ini, dan ini aja. Kalau enggak dapet tiga itu, nyoba karier musik setahun. Kalau karier musik gue gagal, balik lagi ke peragensian. Ha-ha-ha,” tuturnya.
Namun, jalannya terbuka. Salah satu targetnya terpenuhi saat diterima bekerja di British Council di Divisi Seni dan Budaya. Jaringannya pun meluas, sembari masih berkecimpung dengan .Feast yang awalnya dibentuk dari acara kampus dan terus berlanjut.
Lebih dari setahun, Baskara memutuskan pindah dan bergabung dengan Double Deer, sebuah label rekaman independen atas ajakan Kimo Rizky dan Kukuh Rizal Arfianto. Di tengah perjalanan, .Feast tiba-tiba meledak. Waktunya untuk merampungkan pekerjaannya dengan membesarkan .Feast dirasa tak cukup. Baskara memberanikan keluar bersamaan dengan Kukuh. Hingga akhirnya tercetus mendirikan Sun Eater, label rekaman dan usaha rintisan di bidang musik yang tak hanya menaungi .Feast tapi juga sejumlah musisi muda lainnya.
“Untungnya momentumnya belum ilang. Satu keputusan gue saat itu untuk men-snowball album .Feast, Beberapa Orang Memaafkan, yang jadi pondasi ini semua, yang sekarang gue dan anak-anak bangun. Gue selalu ngebayangin, so far, Sun Eater itu kayak Indomaret tapi buat musik, apa yang lu butuhin kecil-kecil untuk musik itu ada di sini semua,” ungkapnya.
Menjadi Hindia
Satu per satu rencana yang dicatatnya untuk diri sendiri mewujud, termasuk memiliki proyek solo. Dengan memilih Hindia sebagai nama panggung, Baskara disebut-sebut mampu menyuarakan keresahan dan kegelisahan banyak generasi muda saat ini terhadap kehidupan. Berbeda dengan .Feast yang secara satir menyindir persoalan sosial politik di negeri ini.
Nggak tau ini overextending my ego atau enggak, tapi sekarang kalau ngetik Hindia keluarnya muka gue, udah bukan bendera VOC lagi
“Banyak masalah yang pengen gue bicarain, tapi bukan masalah bersama. Jadi, enggak bisa di .Feast. Milih nama, tadinya banyak ide. Tapi alasan paling banyak ya Hindia ini. Enggak tau ini overextending my ego atau enggak, tapi sekarang kalau ngetik Hindia keluarnya muka gue, udah bukan bendera VOC lagi. Ha-ha-ha,” tuturnya.
Lewat album pertamanya Menari Dengan Bayangan yang dirilis akhir 2019, Baskara serasa mengikis tembok batasan agar sebagian kisah dirinya dapat dilihat banyak orang. Bahkan bekas silet di pipi yang diperolehnya secara tidak sengaja saat bermain di kamar sang kakak pada usia 2 tahun pun disinggungnya.
Nama cinta monyetnya, kegamangannya terhadap tujuan hidup, jatuh bangunnya dalam hidup, gangguan kecemasan yang menghantuinya, hingga sekelumit kisah dari sang Mama tentangnya, ia rangkum dalam satu album. Bahkan jelang track akhir, ada satu pesan dari sahabatnya yang cukup menyentil.
Baginya memang album perdana ini sebagai salah satu terapi untuk dirinya sendiri. Tergerak setelah mendengar Mantra Mantra milik Kunto Aji, Baskara membuka diri dan berkisah lewat Hindia. Di beberapa wawancara, Baskara mengaku mengalami mental breakdown pada awal 2019, sejalan dengan kesuksesan .Feast yang mengubah hidupnya.
Private space gue tergerus. Dibilang itu konsekuensi dari pekerjaan, tapi argumentasi itu enggak fair juga. Karena kenal juga enggak tapi lu ngata-ngatain
“Private space gue tergerus. Dibilang itu konsekuensi dari pekerjaan, tapi argumentasi itu enggak fair juga. Karena kenal juga enggak tapi lu ngata-ngatain. Bohong kalau bilang enggak kepikiran. Sekarang sih udah terbiasa. Learn to live with it aja,” ujarnya yang mendirikan Bagikata sebuah aplikasi berbagi informasi yang juga bergerak di bidang kesehatan mental.
Keluarga dan teman-teman dekat diakuinya sebagai sistem pendukung utama yang membantunya bangkit dan tetap diterima. “Gue bersyukur punya privilege orangtua dan orang-orang dekat yang suportif dan melek dengan hal seperti ini. Sedangkan masih ada orangtua yang ngeliat first sign of mental illness ini adalah simptom kemalasan aja, bukan dari sesuatu yang berat,” ujarnya.
Keluarga dan Seni
Keluarga memang berperan besar untuknya, termasuk mengenalkannya pada musik. Bungsu dari tiga bersaudara ini mengaku sempat enggan terjun ke musik. “Gue dari kecil ditawarin belajar musik enggak pernah mau. Karena gue ngeliat dua kakak gue tuh kayak tertekan gitu dengan musik. Eh tapi kalau yang kakak cowok gue, lebih tertekan dengan piano karena sukanya gitar,” ungkapnya.
Saat minatnya ke musik mulai tumbuh, pria yang pernah bermimpi sebagai astronot ini justru sering digoda oleh kakaknya yang lebih dulu terjun ke dunia musik. “Tiap kali mau belajar sendiri di rumah, genjreng gitar, fals terus dicengin, apaan tuh begitu. Jadinya, gue belajar itu nyicil kayak KPR 25 tahun. Ha-ha-ha,” tuturnya.
Hingga saat SMA, ia dan teman-temannya membentuk band yang berhasil main di Pentas Seni dan dibayar walau saat itu hanya memainkan lagu orang. Berlanjut saat kuliah yang tak disangkanya bertahan dan sukses hingga saat ini. Tak sekadar main gitar, Baskara pun didapuk menyanyi.
“Kenapa gue yang nyanyi? Jadi lebih karena lu kan yang nulis, lu aja yang nyanyi. Karena juga semua awalnya emang busuk semua nyanyinya. Ha-ha-ha. Sekitar 1-2 tahun belakangan baru secara teknis bisa bener vokalnya,” katanya yang sempat membuat orangtuanya kelimpungan karena ia memilih karier di dunia musik.
Melihat upaya dan capaiannya, orangtua dan kakak-kakaknya kini menjadi garda terdepan yang berbangga dengannya. “Kakak cowok gue beberapa kali malah bilang, kalau ada perlu apa-apa, gue aja yang bantu ngerjain. Dulu gue banyak belajar dari dia lingkungannya gimana, sekarang saat dia mau reunian, gue bisa jadi penghubung untuk melancarkan,” ujar penggemar John Mayer ini.
Selain musik, Baskara juga piawai membuat desain. Tujuan utamanya setelah lulus SMA dulu adalah jurusan Desain Visual di Institut Teknologi Bandung. Beberapa beasiswa ke luar negeri di bidang seni rupa juga sempat ditawarkan kepadanya. Namun, pilihannya jatuh pada Universitas Indonesia dengan peminatan periklanan yang juga mempelajari desain visual.
“Suka desain, karena enggak punya privilege belajar musik tanpa digangguin kakaknya. Terus dulu suka bola, tapi pas SMP baru sembuh dari bronkhitis. Masuk lah gue ke fotografi, biar bisa ikut jalan tanding tanpa perlu ada di lapangan. Dari situ gue kenal desain. Suka bikinin poster dan artwork buat teman-teman. Kata nyokap gue, dari TK gue udah suka ngegambarin buat teman-teman dan mereka bayar Rp 100. Dari TK, udah ngejar deadline,” kisahnya sambil tertawa.
Peduli
Berkembang di lingkungan pendidikan yang tepat, diakuinya sangat membantu. Karyanya bersama .Feast dan juga berbagai pendapat yang disuarakannya tak bisa dilepaskan dari latar belakang yang dienyamnya. “Gue percaya nurture lebih kuat daripada nature. FISIP membantu gue untuk bisa punya pola pikir kayak sekarang, bisa nulis kayak sekarang,” ujarnya.
Lewat media sosialnya, Baskara kerap menyuarakan komentarnya terhadap peristiwa yang tengah ramai. Di lagu-lagu yang ditulisnya keluhannya terhadap yang terjadi di negeri ini juga dituangkan. “Terlatih menulis saat kuliah. Kalau di SMA sukanya baca, karena di era itu belum banyak gagasan,” ungkapnya yang tergila-gila membaca American Comic Book baik keluaran Marvel atau DC.
Dari membaca komik ini, ia mendadak paham berbagai istilah. “Sampai masuk ke apa itu judicial review. Banyak belajar dari situ,” ujarnya yang mulai mengombinasikan dengan hobi menulis saat kuliah.
Kepedulian pada isu sosial politik pun terpantik di sini. “Kalau ditanya, gini di kepala gue itu punya semacam kompartemen. Oo, ada musisi yang aktivis dan ada yang temannya aktivis. Nah .Feast ini teman-temannya aktivis. Jadi, apa yang kita bisa bantu, pasti kita bantu,” jelasnya yang kerap membantu pergerakan yang dihelat sesama rekan musisi.
Bentuk kepedulian lain juga ditunjukkan Baskara lewat anak bulunya, yakni Abang, Madu, Kyubon, dan Kosmo. Empat kucing yang juga turut mewarnai hari-harinya. Berawal dari tidak sengaja dan iba, Baskara justru merasa menikmati kesehariannya bersama para anak yang kerap ikut nampang di laman media sosialnya.
Selain yang dipelihara, ada sekitar 14 ekor lainnya yang diselamatkannya dan dibantunya hingga menemukan orang yang bersedia mengadopsi. Selama masa tunggu menemukan pengadopsi, Baskara merawat semua kucingnya. Bahkan ia memesan khusus kandang ukuran besar yang dapat ditempati belasan kucing itu.
Ia pun kerap kali bersuara untuk lebih baik mengadopsi. Bahkan hal ini ditulisnya dalam tugas akhir kuliahnya. Bedanya tema saat itu tentang anjing yang bertajuk Every Dog Has A Story. Baskara sendiri mengingat terakhir kali memelihara anjing bernama Kenzo dengan jenis Golden Retriever saat duduk di Sekolah Dasar.
Yang Nanti
Banyak rencana dari catatanya yang sudah dilakukan, tapi Baskara tetap menyimpan asa. “Salah satu cita-cita gue itu adalah ngajar. Jadi, salah satu Kepala Prodi gue, Hari Radiawan, itu lama di agensi periklanan, lalu ngajar juga dan bisa nerapin apa yang dia ajarin. Gagah banget buat gue. Kalau capek di musik dan udah jauh perjalanannya, gue pengen balik ke situ,” ungkapnya.
Sebelum menjejak ke sana, ia pun masih punya angan untuk bersekolah lagi. “S2 itu bukan sesuatu yang terlalu jauh buat gue. Dalam arti, sampai ada satu atau dua rilisan yang bikin gue puas banget dan sanggup membuat gue bertahan beberapa tahun ke depan, gue bakal S2. Tapi enggak sekarang, masih banyak utangnya nih saya. Ha-ha-ha,” tutupnya.
Pelan-pelan, besok mungkin kita sampai ya, Bas.
Daniel Baskara Putra
Lahir: Jakarta, 22 Februari 1994
Jenjang pendidikan:
- TK Tunas Harapan, Tangerang Selatan
- SD Don Bosco, Jakarta
- SMP Pangudi Luhur, Jakarta
- SMA Pangudi Luhur, Jakarta
- Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Album: Menari Dengan Bayangan (2019)
Penghargaan:
- AMI Awards kategori Alternative Artist Solo of the Year (2020)
- Anugerah Bangga Buatan Musik Indonesia Award Winner for "Secukupnya" as Song of The Year (2021)