Politik Moral Buya Syafii Maarif
Pemikiran dan kesederhanaan Ahmad Syafii Maarif menjadi keteladanan bagi bangsa Indonesia. Sosok guru bangsa yang telah menjadi simbol politik moral di negeri ini.
Setiap mendengar namanya, barangkali kita semua sepakat, ia layak menjadi guru bangsa bagi negeri ini. Gagasan-gagasan kebangsaan yang ia sampaikan hampir selalu menggugah kesadaran kita sebagai anak bangsa.
Gagasan-gagasannya pun tercatat rapi, tidak saja dalam bentuk buku, tetapi ratusan artikel opininya juga kerap menghiasi media cetak, termasuk Kompas. Jika ditelusuri lebih detail, nama Ahmad Syafii Maarif atau kerap disapa Buya Syafii ini pertama kali menjadi perbincangan pada 1998 saat ia menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Gagasan-gagasan kebangsaan yang ia sampaikan hampir selalu menggugah kesadaran kita sebagai anak bangsa.
Salah satu buku fenomenalnya, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1993), pertama kali dibedah di harian Kompas. Ini adalah buku yang menandai dan turut meramaikan diskursus pemikiran Islam. Sejumlah pemikiran Buya Syafii ini semakin menegaskan, ia adalah cendekiawan Muslim yang berpengaruh dalam perkembangan Islam dan Indonesia.
Buya Syafii juga masuk dalam deretan tiga nama besar pemikir Islam yang kemudian disebut sebagai generasi pertama cendekiawan Muslim jebolan Universitas Chicago. Selain Buya Syafii, dua lainnya adalah Nurcholish Madjid dan Amien Rais. Abdurrahman Wahid menyebut ketiganya sebagai ”tiga pendekar Chicago”. Ketiganya memiliki kekhasan tersendiri dalam pemikiran, khususnya dalam mengusung isu Islam dan politik.
Nurcholish Madjid dikenal sebagai pemikir yang menggaungkan Islam yang sarat dengan nilai universal. Tidak heran jika kemudian Cak Nur, demikian panggilan akrabnya, lebih menekankan pentingnya mencari persamaan di antara semua agama dan semua kebudayaan sebagai bagian dari peradaban manusia.
Bagi Cak Nur, formalisme agama cenderung justru melemahkan Islam itu sendiri. Ungkapan ”Islam Yes, Partai Islam No” yang melekat dalam diri Cak Nur menjadi gambaran pemikirannya soal Islam dan politik.
Buya Syafii adalah cendekiawan Muslim yang berpengaruh dalam perkembangan Islam dan Indonesia.
Pendekatan budaya Cak Nur ini sedikit berbeda dengan pemikiran Amien Rais yang cenderung berorientasi pada relasi Islam dan politik sebagai sebuah pandangan yang tidak bisa dipisahkan. Islam memiliki kekhasan tersendiri dan mau tidak mau kekhasan itu dilakukan melalui pelestarian nilai-nilainya dalam sebuah sistem sosial yang utuh. Pada akhirnya, makna kekuasaan politik menjadi sangat penting sebagai alat upaya pelestarian itu.
Bagaimana dengan Buya Syafii? Buya sebenarnya cenderung berada di tengah-tengah di antara keduanya. Secara pemikiran, pandangannya cenderung lebih dekat dengan Nurcholish Madjid yang lebih mengutamakan aspek kultural.
Namun, Buya juga bukan sosok yang anti pada sistem politik dan kelembagaan formal politik. Sebagai sosok yang dibesarkan dalam sistem organisasi Muhammadiyah dan bahkan pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah, ia tentu tidak alergi dengan politik kekuasaan.
Namun, dalam kacamata Buya, sistem politik kekuasaan itu harus diimbangi dan diperkuat lebih jauh lagi dengan mengembangkan Islam sebagai ”budaya bangsa”. Baginya, problem panjang yang sedang dihadapi bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, adalah problem peradaban.
Meskipun ada pandangan beragam, ketiga tokoh ini, Cak Nur, Amien Rais, dan Buya Syafii, sama-sama bersepakat membangun semangat Islam dan kebangsaan yang tidak bisa terpisahkan.
Baca juga : Ahmad Syafii Maarif
Peradaban
Isu peradaban inilah yang diangkat Buya Syafii dalam bukunya, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Dalam buku tersebut ia menjelaskan keprihatinannya yang cukup mendalam terhadap krisis peradaban. Itulah ide sentral tesisnya yang menyebutkan bagaimana dunia telah mengalami krisis peradaban.
Sebuah peradaban dalam spektrum global dan juga krisis pada dunia Islam dan juga agama secara umum, baik pada kondisi eksistensi sosial-kemasyarakatannya maupun kondisi intelektual, pemikiran, dan getaran idenya (Kompas, 23/1/1994).
Tidak heran jika banyak tulisan Buya Syafii yang kerap diulang-ulangnya mengenai krisis peradaban ini. Dalam artikelnya, ”Kesantunan dalam Politik”, yang dimuat Kompas, 3 Juli 2012, Buya Syafii mengingatkan kita bagaimana krisis peradaban juga menjangkiti panggung politik kita. Namun, Buya sekali lagi tetap mengobarkan semangat pada kita semua untuk tidak putus asa terhadap problem peradaban bangsa ini.
”Namun, sebagai bangsa dan negara yang ber-Pancasila, kita jangan sekali-kali menyerah pada tatanan dan perilaku politik amoral ini. Seluruh energi nurani dan stamina akal sehat yang masih dimiliki bangsa ini harus bangkit serentak untuk menyatakan ’tidak’ kepada segala bentuk kultur hitam yang lagi berada di atas angin kekuasaan,” tulisnya.
Bagi Buya, menyemangati bangsa untuk tidak cepat putus asa terhadap problem kebangsaan ini penting agar api semangat untuk perubahan tetap menyala.
Bagi Buya, menyemangati bangsa untuk tidak cepat putus asa terhadap problem kebangsaan ini penting agar api semangat untuk perubahan tetap menyala. Hal yang sama ia utarakan soal pentingnya kehadiran organisasi kemasyarakatan, seperti halnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai modal sosial bangsa ini sekaligus memperkuat tali ikatan sosial guna menghadapi problem peradaban.
Hal itu pula yang ia tuangkan dalam salah satu artikelnya, ”Pesan untuk Muhammadiyah dan NU”, di Kompas, 5 Januari 2021. Bagi Buya, dua organisasi ini adalah jantung bagi masyarakat Indonesia. Keduanya menjadi benteng pertahanan, tidak saja bagi Islam, tetapi juga bagi bangsa Indonesia.
”NU dan Muhammadiyah adalah arus utama Islam Indonesia yang harus semakin menancapkan jangkarnya di samudra Nusantara sedalam-dalamnya,” tulis Buya.
Dalam artikelnya tersebut, Buya Syafii juga berharap besar, khususnya pada generasi muda, bahwa Muhammadiyah-NU harus tampil dan berfungsi sebagai tenda besar bangsa dan negara.
Tulisan Buya ini kemudian viral di media sosial. Tercatat sejumlah tokoh, terutama tokoh-tokoh muda, baik dari NU maupun Muhammadiyah, banyak yang mem-posting tulisan Buya ini di media sosialnya. Hal ini menjadi gambaran pemikiran Buya memang diakui menjadi realitas dari kebutuhan bangsa ini.
Baca juga : Haedar Nashir: Ini Kehilangan Besar Bangsa
Kesederhanaan
Selain melalui pemikiran dan gagasan, Buya Syafii juga memberi teladan melalui tindakan dalam hidupnya sehari-hari. Gaya dan pola hidupnya yang sederhana menjadi kekuatan tersendiri bagi sosok Buya. Bukan hal yang aneh bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang ada di Yogyakarta, tempat tinggal Buya.
Sudah pemandangan biasa jika banyak orang melihat Buya di angkringan, belanja kebutuhan sehari-hari di warung, bahkan jika di Jakarta naik KRL dan selalu duduk di kelas ekonomi saat terbang dengan pesawat. Tidak hanya itu, kebiasaan sabar mengantre saat memeriksakan diri di rumah sakit milik Muhammadiyah, yang turut dibesarkannya, juga menjadi cerita kesederhanaannya.
Boleh jadi, inilah bagian dari strategi Buya mengambil peran ketika krisis peradaban yang ia kemukakan dalam bukunya, tidak cukup dihadapi dengan memperkuat barisan dalam formalisme kelembagaan atau memperkuat budaya Islam dalam politik, seperti halnya diskursus yang melekat dalam diri ”tiga pendekar Chicago”.
Sejumlah kesempatan untuk masuk kekuasaan pun, termasuk tawaran menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, tidak ia ambil. Padahal, publik tentu paham bagaimana Buya Syafii termasuk salah satu tokoh yang mendukung kepemimpinan Jokowi. Namun, boleh jadi berada di luar kekuasaan inilah cara Buya merawat moralitas politiknya.
Kritisisme tetap melekat dalam diri Buya Syafii sebagai seorang intelektual.
Hal ini ia buktikan, sebagai kekuatan moral, Buya juga setia melakukan kritik dan kontrol terhadap jalannya kekuasaan. Artikelnya di Kompas yang dimuat bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 2021, berjudul ”Mentereng di Luar, Remuk di Dalam”, adalah pembuktian bagaimana kritisisme tetap melekat dalam dirinya sebagai seorang intelektual. Artikel ini juga sempat viral di media sosial.
Ada kegelisahan dalam tulisan Buya tersebut, di antaranya terkait sebuah ironi ketika Indonesia menjadi pemain di dunia, terutama ketika dipercaya dalam Presidensi G20, di dalam negeri masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
”Namun, di sisi lain, dalam negeri yang menjadi dapur Republik, masalah sosial, ekonomi, budaya, dan politik jauh dari keadaan nyaman, jika bukan berantakan. Korupsi tetap menggurita, narkoba seperti tak bisa dibendung, ulah oknum polisi dan aparat lain sangat menusuk perasaan kita semua terus saja terjadi,” ungkap Buya dalam tulisannya tersebut.
Tulisan ini menjadi penting karena sosok Buya yang selama ini dikenal sebagai pendukung Jokowi, inilah adalah kritik terhadap jalannya pemerintahan. ”Selamat buat Presiden Jokowi yang semakin dihargai di tingkat global, tetapi tengok jugalah suasana dapur republik kita yang masih kocar-kacir dengan wajah suram,” begitu Buya menulis.
Ini adalah sikap Buya sebagai seorang cendekiawan yang sudah memilih jalan hidup untuk selalu merawat kritisisme dan kesederhanaan.
Bagi Buya, sebenarnya beban Presiden akan semakin ringan jika para menteri dan pejabat di bawahnya mau bekerja dengan baik, jujur, dan penuh rasa tanggung jawab.
”Namun, nilai inilah yang terasa semakin mahal sekarang ini!” Begitu kegeraman Buya yang terekam dari tulisannya. Tentu, ini adalah sikap Buya sebagai seorang cendekiawan yang sudah memilih jalan hidup untuk selalu merawat kritisisme dan kesederhanaan.
Jalan hidup itu pula yang menjadi ujung dari kehidupannya. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan pesan terakhir Buya Syafii sebelum berpulang. ”Beliau selalu berpesan agar menjaga keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah, dan keutuhan umat, itu yang selalu diulang,” ujar Haedar.
Sebuah pesan politik moral yang semakin dalam dan bermakna bagi kita yang ditinggalkan untuk terus semangat menghadapi tantangan peradaban. Terima kasih, Buya Syafii. Selamat jalan, Sang Guru Bangsa! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Nyala Abadi Suluh Bangsa