Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif atau Buya Syafii telah berpulang ke haribaan Sang Khalik. Kini, perjuangannya untuk terus merawat Indonesia berada di pundak semua anak bangsa sebagai generasi penerus.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
Berpulangnya Ahmad Syafii Maarif pada Jumat (27/5/2022) merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. Kesahajaan, pemikiran, prinsip hidup, serta ketekunan dalam menjaga toleransi dan keberagaman merupakan teladan abadi bagi generasi negeri.
Kabar wafatnya Ahmad Syafii Maarif pertama kali disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005 itu meninggal di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada pukul 10.15 WIB.
Pria yang akrab dipanggil Buya Syafii itu kritis setelah beberapa hari dirawat karena gangguan jantung. Sebelumnya pada Maret lalu, Buya juga sempat dirawat karena mengalami serangan jantung ringan. Namun, karena kondisinya telah membaik, Buya diizinkan pulang ke rumah.
”Ini kehilangan besar bangsa Indonesia,” kata Haedar yang mendampingi Buya menjelang dipanggil Sang Khalik.
Jenazah tokoh bangsa berusia 87 tahun itu disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman, Kota Yogyakarta. Sejumlah tokoh dan pejabat berdatangan untuk memberikan penghormatan terakhir dan menshalati Buya, tak terkecuali Presiden Joko Widodo yang datang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Mewakili negara, Presiden melepas jenazah Buya Syafii menuju tempat peristirahatan terakhir di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah, Kulon Progo. ”Beliau adalah guru bangsa. Dan, yang saya lihat, beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan selalu menyuarakan tentang toleransi antarumat beragama,” kata Presiden sebelum pelepasan jenazah.
Wafatnya Buya tak hanya menorehkan duka mendalam bagi Persyarikatan Muhammadiyah, tetapi juga segenap anak bangsa. Para tokoh pun merasa kehilangan atas meninggalnya Buya, salah satunya Presiden ke-6 RI Megawati Soekarnoputri. ”Ketika kami menyampaikan berita wafatnya Buya ke Ibu Megawati Soekarnoputri, beliau terisak sangat sedih. Buya Syafii sosok yang menjadi sahabat Ibu Megawati dan bersama-sama di BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila),” kata Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Beliau adalah guru bangsa. Dan, yang saya lihat, beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan selalu menyuarakan tentang toleransi antarumat beragama.
Hubungan Megawati dan Buya memang cukup dekat. Keduanya bersama-sama memperjuangkan pembinaan Pancasila dengan menjadi Dewan Pengarah BPIP.
Wafatnya Buya membuat Megawati kehilangan sosok negarawan yang menjadi cermin kecendekiawanan. Sosok saleh yang rendah hati dan menjadi bagian kekuatan moral bangsa dan memberikan keteladanan dalam etika hidup berbangsa dan bernegara.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, sekarang ini tanggung jawab untuk melanjutkan visi dan idealisme Buya berada di pundak segenap anak bangsa.
Kehilangan
Kedekatan Buya Syafii dengan semua kalangan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan juga membuat para tokoh lintas agama merasa kehilangan.
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmojo mengenang Buya sebagai sosok yang membangun persaudaraan sangat kuat dengan semangat cinta Tanah Air dan merawat watak untuk saling peduli. Dalam berbagai pertemuan seminar dan diskusi lintas agama, Buya selalu membawa suasana yang cair dan penuh persahabatan. Ketulusannya bisa dirasakan dalam setiap perjumpaan.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom sampai memutuskan melayat ke Masjid Gedhe untuk menyampaikan dukacita dan penghormatan terakhir mewakili umat Kristen di Tanah Air.
Tak hanya itu, Buya dikagumi dan dihormati banyak kalangan karena kesederhanaannya. Meski dekat dengan para pembesar negeri, ia kerap menolak berbagai bentuk fasilitas yang ditawarkan. Buya lebih memilih mengayuh sepeda untuk membeli keperluan di lingkungan tempat tinggalnya di Nogotirto, Gamping.
Direktur Eksekutif Maarif Institute A Rohim Ghazali menyampaikan betapa Buya sangat mencintai bangsa Indonesia. ”Cita-cita beliau adalah negara ini tetap ada, minimal hingga satu hari sebelum kiamat,” ujarnya.
Besarnya kontribusi dan jasa Buya Syafii kepada bangsa membuat PGI berniat mengusulkannya menjadi Pahlawan Nasional. Namun, sejatinya, tanpa gelar Pahlawan Nasional pun Buya adalah pahlawan bagi banyak kalangan. Ia menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam menenun keindonesiaan. Pemikiran, gagasan, idealisme, teladan prinsip hidup merupakan suluh bagi negeri ini. Selamat jalan, Buya Syafii….