Ahmad Syafii Maarif
Hingga menjelang detik terakhir kehidupannya, daya kritis dan keberanian Buya Syafii Maarif tak surut. Kita kehilangan guru bangsa, kampiun demokrasi, dan tokoh yang keluar dari sekat-sekat denominasi dan sektarianisme.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F07%2F24%2FAhmad-Najib-Burhani_90646175_1595609668_jpg.jpg)
Ahmad Najib Burhani
Inilah tokoh guru bangsa
Berani berhadapan yang gila kuasa
Berani menepis yang mengguna agama
Karena keadilan mesti beraja
Demi keadilan berani berdiri
Berpihakkan itu tuntutan Ilahi
Agar tak ada yang mudah diinjaki
Yang teraniaya jangan lagi dizalimi
~Azhar Ibrahim Alwee (2022)~
Kematian pasti akan datang, terutama jika usia sudah senja. Meski berkali-kali menyebutkan bahwa usianya sudah sangat larut, rasanya tak terima dan ingin menolak kabar tentang wafatnya Buya Ahmad Syafii Maarif (lahir di Sumpur Kudus, Minangkabau, 1935) pada 27 Mei 2022. Buya wafat di hari Jumat, bulan Syawal, seusai menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tentu ini merupakan hari perpisahan yang sangat baik, dari sisi agama, bagi orang yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kemanusiaan. Namun, kita selalu tak mau ditinggal sosok yang menjadi mata air keteladanan seperti Buya itu. Kita kehilangan guru bangsa, kampiun demokrasi, dan tokoh yang keluar dari sekat-sekat denominasi dan sektarianisme. Buya adalah simbol kejujuran, kesederhanaan, persaudaraan, dan panutan kebangsaan.
Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-86 pada 31 Mei 2021 yang lalu, Buya menerbitkan artikel di Kompas dengan judul ”Lumpuhnya Pancasila”. Dalam tulisan itu Buya berharap agar Pancasila ”tak dibiarkan lagi terlunta-lunta di tangan anak bangsa yang tak mau belajar”. Buya yakin bahwa ”Kecuali kelompok sempalan sumbu pendek, tak seorang pun meragukan Pancasila adalah pilihan dan keputusan terbaik sebagai pedoman utama untuk mengawal perjalanan bangsa dan negara ini untuk masa yang tak terbatas”. Namun, dalam praktiknya, acap kali Pancasila hanya menjadi etalase atau lipstik politik dan tameng penguasa. Buya berpesan agar ”Pancasila jangan lagi dikhianati oleh siapa pun sehingga menjadi lumpuh dalam mengawal kemerdekaan bangsa”.
Karena sering sakit, Buya hanya sesekali menerbitkan artikel di tahun 2022. Namun, hingga menjelang detik terakhir kehidupannya, seperti tertuang dalam artikel di atas, daya kritis dan keberaniannya tak terlihat surut sama sekali. Syaraf takutnya sudah putus. Kekuatannya dalam menganalisis tetap tajam dan kepeduliannya pada persoalan bangsa sangat nyata. Sangat jarang orang yang seusianya yang masih produktif, salah satunya tentu saja adalah Franz Magnis-Suseno (lahir 1936).
Dengan wafatnya Buya, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari ”Muazin Bangsa” ini. Pertama, Buya adalah bukti bahwa tidak ada kata putus asa dan terlambat dalam sekolah dan karier. Ketika sekolah doktoral di Universitas Chicago tahun 1980-an, usianya lebih tua dari rekan-rekan seangkatannya. Namun, usia tua itu tak menjadi penghalang baginya untuk menyelesaikan studi di negara lain. Ketika memimpin Muhammadiyah tahun 1998, usianya sudah 63 tahun. Ia berbeda dari tokoh lain, seperti Amien Rais, Din Syamsuddin, dan Haedar Nashir yang menjadi ketua umum pada usia 50, 45, dan 57 tahun. Namun, Buya lama dan terus berkibar di puncak seusai memimpin Muhammadiyah.
Kedua, Buya adalah contoh orang tua yang diberi kesehatan prima dan umur panjang. Usia 87 tahun adalah termasuk langka di Indonesia, apalagi dalam kondisi sehat walafiat dan terus produktif berkarya. Buya tak memiliki pantangan jenis makanan tertentu. Makan sate dan tengkleng adalah kebiasaannya. Apa rahasianya? Mungkin karena rajin puasa, banyak bersyukur, dan rajin bersepeda. Sebelum 2022, Buya selalu aktif menulis kolom Resonansi di Republika serta menulis opini di Kompas dan Suara Muhammadiyah. Mungkin setiap dua minggu sekali kita bisa membaca karya dan analisis Buya Syafii, mengalahkan produktivitas akademisi muda sekalipun. Tradisi itu barangkali berangkat dari latar belakang wartawan yang ditekuninya ketika masih muda sehingga menulis itu seperti menjadi napas baginya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F27%2F95aff506-8e38-4933-827c-38d8d23b086a_jpg.jpg)
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berdoa di makam mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah di Desa Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (27/5/2022).
Ketiga, Buya adalah model pemimpin yang hidup sederhana. Mungkin banyak aktivis yang jauh lebih muda yang memiliki rumah lebih bagus darinya. Sebetulnya, kalau Buya berkenan, ia bisa saja menjadi sangat kaya-raya. Namun, rupanya Buya ingin hidup sederhana with dignity. Dalam buku Orang-orang Muhammadiyah yang Bersahaja (2021), Hajriyanto Y Thohari, Dubes Lebanon, menceritakan tentang mobil dinas Buya Syafii ketika memimpin Muhammadiyah. Apa mobilnya? Kijang sederhana. Buya juga sering menyopir sendiri ke mana-mana atau naik taksi. Langganan makanannya adalah nasi kapau di Menteng yang kadang sekalian membawa sebungkus ke kantor Muhammadiyah untuk makan sahur.
Keempat dan paling penting, Buya adalah simbol bahwa tak ada istilah tidak bisa berubah pada diri manusia itu. Seorang aktivis HAM dan demokrasi bisa berubah menjadi tokoh gerakan radikal. Contohnya bisa ditemukan dengan mudah di sekitar kita. Demikian pula seorang Muslim fundamentalis dan radikal bisa mengalami konversi dan menjadi model dari Islam yang ramah, toleran, dan rahmatan lil ‘alamin. Contohnya adalah Buya Ahmad Syafii Maarif sendiri.
Seperti ditulis dalam otobiografinya, Titik-titik Kisar di Perjalananku (2009), dulu Buya adalah seorang fundamentalis yang mencita-citakan berdirinya negara Islam di Indonesia. Namun, semenjak belajar di Universitas Chicago dan berguru ke Fazlur Rahman, Buya berubah menjadi seorang neomodernis Muslim. Pendeknya, Buya adalah orang yang pernah mengalami proses konversi atau hijrah dalam hidupnya. Bukan dari agama satu ke agama lain, bukan pula seperti anggota-anggota kelompok hijrah saat ini, melainkan justru sebaliknya. Buya berhijrah atau mengalami konversi dari seorang fundamentalis menjadi Muslim progresif.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F27%2F04493ee2-384c-4bb2-8527-90d001432f08_jpg.jpg)
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, dan istri Ahmad Syafii Maarif, Nurkhalifah (kiri ke kanan), berdoa bersama saat pemakaman Syafii Maarif, Jumat (27/5/2022), di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah di Desa Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Syafii Maarif meninggal pada Jumat pukul 10.15 WIB di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping, Kabupaten Sleman, DIY.
Terakhir, kata-kata yang beberapa kali disampaikan dalam pengaderan Muhammadiyah adalah bahwa istirahatnya seorang aktivis itu adalah ketika roh telah terpisah dari badan. Hidup ini bukanlah piknik, melainkan sebuah perjuangan dan pengorbanan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin sebelum kita menghadap Tuhan. Dalam Mars Muhammadiyah, ”Sang Surya”, disebutkan bahwa saingan kita dalam menerangi bumi adalah Sang Surya itu sendiri. Karena itu, jika ingin lebih baik dari sang surya dalam pengabdiannya, kita harus memulai bekerja sebelum sang surya terbit. ”Lihatlah matahari telah tinggi; di ufuk timur sana; seruan Ilahi rabbi, sami’na wa atho’na”. Itulah yang dicontohkah Ahmad Dahlan dan dilanutkan oleh Buya Syafii Maarif.
Buya Syafii kini telah beristirahat untuk selamanya. Tugasnya membimbing dan menjadi guru bangsa telah usai. Kita yang bertugas melanjutkannya. Meksi secara fisik Buya telah tiada, karya-karyanya akan terus menyertai kita dalam menjalankan roda bangsa ini. Selamat beristirahat dengan tenang, Buya! Semoga kami terus dan teguh menjalankan pesan-pesanmu.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)